Senin, 01 Juli 2013

PENDEKATAN DALAM PENGKAJIAN ISLAM




PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM PENGKAJIAN ISLAM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Pendekatan Dalam Pengkajian Islam
Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Arifi, M. Ag





Oleh:
Qiyadah Rabbaniyah 1220411206



PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM PENGKAJIAN ISLAM


PENDAHULUAN
Dewasa ini banyaknya berbagai kegiatan keagamaan yang beragam yang mempunyai keunikan dan kekhasan dari pembawaan cara berdakwah, dan  misi yang dibawa. Dapat kita amati beberapa contoh seperti  (a) Arifin Ilham beliau mempunyai majelis dzikir dengan jamaah yang banyak. Beliau mengadakan acara dzikir bersama dilakukan secara rutin dalam rangka membersihkan hati, (b) Yusuf Mansur yang menganjurkan kepada jamaahnya untuk mudah bersedekah, dengan sedekah segala kesusahan kita menjadi lebih mudah. (c) Ustad Danu yang terkenal dengan solusi beliau kepada jamaahnya dalam menyelesaikan segala masalah dan kesulitan hidup dengan dzikir dan sholat (d) Ustad Jefri Albukhori yang membumikan kepada ummat islam untuk cinta Allah dan Rosul. (e) Ustad Haryono yang terkenal dengan terapi spiritual dengan dzikir. Maka muncullah pertanyaan ada apa dengan pemuluk agama? untuk menjawab pertanyaan tersebut dapat di dekati dengan kajian psikologi.
Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu terbilang berusia muda. Ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental itu diklaim Barat baru muncul pada tahun 1879 M -- ketika Wilhelm Wundt mendirikan laboratorium pertamanya di Leipzig. Padahal, jauh sebelum itu peradaban manusia dari zaman ke zaman telah menaruh perhatian pada masalah-masalah psikologi.
Peradaban manusia kuno di Mesir, Yunani, Cina, dan India telah memikirkan tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan. Kebudayaan kuno itu juga telah memikirkan tentang sifat pikiran, jiwa, ruh, dan sebagainya. Masyarakat Mesir Kuno dalam catatan yang tertulis pada papirus bertarik 1550 SM telah mencoba mendeskripsikan tentang otak dan beberapa spekulasi mengenai fungsinya.
Selain itu, filsuf Yunani Kuno, Thales, juga telah mengelaborasi apa yang disebut sebagai psuch atau jiwa. Pemikir lainnya dari peradaban Yunani Kuno seperti Plato, Pythagoras, dan Aristoteles juga turut mendedikasikan diri mereka untuk mempelajari dan mengembangkan dasar-dasar psikologi. Sejak abad ke-6 M, peradaban Cina telah mengembangkan tes kemampuan sebagai bagian dari sistem pendidikan.
Lalu bagaimana peradaban Islam berperan dalam mengembangkan psikologi? Sebenarnya. jauh sebelum Barat mendeklarasikan berdirinya disiplin ilmu psikologi di abad ke-19 M, di era keemasannya para psikolog dan dokter Muslim telah turut mengembangkan psikologi dengan membangun klinik yang kini dikenal sebagai rumah sakit psikiatris.
Di era kekhalifahan, psikologi berkembang beriringan dengan pesatnya pencapaian dalam ilmu kedokteran. Pada masa kejayaannya, para psikolog Muslim telah mengembangkan Psikologi Islam atau Ilm-Al Nafsiat. Psikologi yang berhubungan dengan studi nafs atau jiwa itu mengkaji dan mempelajari manusia melalui qalb (jantung), ruh, aql (intelektual), dan iradah (kehendak).
Kontribusi para psikolog Muslim dalam mengembangkan dan mengkaji psikologi begitu sangat bernilai. Sejarah mencatat, sarjana Muslim terkemuka, Al-Kindi, merupakan psikolog Muslim pertama yang mencoba menerapkan terapi musik. Psikolog Muslim lainnya, Ali ibn Sahl Rabban Al-Tabari, juga diakui dunia sebagai orang pertama yang menerapkan psikoterapi atau 'al-`ilaj al-nafs'.
Psikolog Muslim di era kejayaan, Ahmed ibnu Sahl Al-Balkhi, merupakan sarjana pertama yang memperkenalkan konsep kesehatan spiritual atau al-tibb al-ruhani dan ilmu kesehatan mental. Al-Balkhi diyakini sebagai psikolog medis dan kognitif pertama yang secara jelas membedakan antara neuroses dan psychoses untuk mengklasifikasi gangguan penyakit syaraf.

PENDEKATAN PSIKOLOGI DAN HISTORINYA
Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya.[1]
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990), Psikologi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik yang dapat dilihat  secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung. Menurut Dakir (1993), psikologi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan lingkungannya. Menurut Muhibbin Syah (2001), psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan. Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebgainya, sedangkan tingkah laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya. [2]
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak, untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala yang tampak, yaitu sikap dan tingkah laku yang ditampilkan.
Objek kajian psikologi dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1.      Objek material: sesuatu yang dibahas, dipelajari, atau diselidi yaitu manusia. Objek material mencakup apa saja baik hal-hal konkret (misalnya kerohanian, nilai-nilai, ide)[3].
2.      Objek formal: cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakan; yaitu dari segi tingkah laku manusia[4].
Jadi objek kajian psikologi adalah aspek-aspek kejiwaan manusia;  yaitu  dilihat dari dari segi perilaku/tingkah laku manusia yang nampak.
Psikologi muncul karena: 
1.      Dipandang penting memahami dan melihat sisi dalam pada diri manusia yang bersifat nonfisik dalam studi ilmiah.
  1. Banyak pengalaman diri (manusia) yang berkenaan dengan kejiwaan dan bersifat nonrasional , sehingga perlu diteliti (pengalaman sufi)
Para tokoh psikologi yang terkenal diantaranya adalah[5]:
1.      Willhelm Wundt (1879)          à mendirikan laboratorium psikologi di Univ. Leipzig.
2.      William James  (1876)              à Memberi kuliah tentang “psikologi fisik”
                          (1891)             à The Principle of Psychology
                          (1902)             à The Varieties of the religious Experiences
3.      Sigmund Fred                         à ego , ilusi
4.      Abraham Maslow                     à Psikologi Humanistik
Psikologi merupakan ilmu yang menyoroti manusia dari sudut pandang yang berlainan (model of man), sehingga memunculkan empat aliran besar dalam psikologi, yakni:
1.    Aliran Psikoanalisis
Didirikan Sigmund Freud (1856-1931). Aliran ini berpendapat bahwa kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu; Id (dorongan biologis), Ego (kesadaran akan realitas kehidupan) dan superego (kesadaran normatif). Konsep aliran ini memandang bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak sadar dan dorongan nafsu rendah, sehingga ia bersifat; buruk, liar, kejam, kelam, non etis, egois, sarat nafsu dan berkiblat pada kenikmatan jasmani. Dengan demikian ajaran shalat, zakat, puasa bagi muslim bertentangan dengan konsep Freud.
2.    Aliran Perilaku
Aliran perilaku (behaviour phsychology) berpendapat bahwa upaya rekayasa dan kondisi lingkungan luar adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan perilaku manusia.  Prinsip pandangan aliran ini adalah :
a.         Manusia itu pasif tak berinisiatif  dan banyak ditentukan oleh kekuatan mekanistis di luar sadarnya.
b.         Manusia itu mumpunyai kecenderungan untuk mencari enaknya sendiri dan tak mungkin bertindak tanpa pamrih.
c.         Permasalahan manusia dapat dipecahkan secara lewat rekayasa dan manipulasi.
3.    Aliran Psikologi Humanistik
Aliran psikologi humanistik berasumsi bahwa manusia lebih banyak memiliki potensi baik daripada buruk. Aliran ini hanya menelaah kualitas insani manusia. Misalnya; kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi, kreatifitas, kebebasan berkehendak, aktualisasi diri, tanggung jawab dan sebagainya.
Aliran ini memberikan julukan manusia sebagai The Self Determining Being, artinya manusia yang mampu menentukan tujuan-tujuan yang paling diinginkan sekaligus cara-cara mencapai tujuan itu yang dianggapnya paling tepat.
4.    Aliran Psikologi Transpersonal 
Perjumpaan antara agama Islam dengan psikologi dalam memandang manusia terdapat kesamaan (similarisasi) pada gambaran karakteriologis, kesejalanan (paralelisasi) pada asas-asas dan kualitas insani, pelengkapan (komplementasi) dalam determian kepribadian serta saling menyangkal (falsifasi) dalam orientasi filosofis. Dari pembahasan di atas menjadikan jarak antara psikologi dengan Islam menjadi lebih akrab dan saling mampu mendukung. Agama Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist sarat dengan asas-asas psikologi dan psikologi sebagai ilmu pengetahuan telaahnya banyak yang mendukung kebenaran agama[6].
Maka dapat disimpulkan bahwa Psikologi muncul karena dipandang penting memahami dan melihat sisi dalam pada diri manusia yang bersifat nonfisik dalam studi ilmiah dan banyak pengalaman diri (manusia) yang berkenaan dengan kejiwaan dan bersifat nonrasional, sehingga perlu diteliti.

PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM
Agama sebagai bentuk keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatura) ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama merupakan pedoman bagi manusia, keberadaan agama berkaitan erat dengan kehidupan manusia dan tidak dapat dipisahkan dengan berbagai ilmu pengetahuan yang menunjang pengetahuan manusia itu sendiri. Sehingga agama dapat dilihat dari berbagai perspektif sesuai dengan disiplin ilmu yang digunakan sebagai sudut pandang. Salah satunya ialah psikologi, dalam hal ini semua pembahasan mengenai agama berdasarkan pada tinjauan ilmu psikologi.
Pada abad ke-20 muncul pendekatan baru untuk menjelaskan agama dari segi ilmu pengetahuan, yaitu pendekatan psikologi. Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek batini pengalaman keagamaan[7]. Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa sesorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Sikap seseorang yang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, guru dan sebagainya merupakan gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukan Zakiyah Daradjat tidak mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianutnya seseorang, melainkan yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam perilaku penganutnya[8].
Ilmu psikologi itu sendiri merupakan disiplin ilmu yang otonom karena memiliki keterkaitan dengan masalah-masalah menyangkut kehidupan batin manusia yaitu agama. Sehingga hubungan antara kesadaran agama dan tingkah laku agama dapat dipelajari melalui pendekatan psikologi.
Para psikolog menilai bahwa hubungan manusia dengan kepercayaannya itu dipengaruhi sekaligus mempengaruhi faktor kejiwaan. Proses dan sistem hubungan ini menurut mereka dapat dikaji secara empiris dengan menggunakan pendekatan psikologi. Misalnya yang termuat dalam doa-doa atau perilaku keberagamaan dapat dilihat dari motivasi yang melatarbelakanginya. Demikian pula mengenai aspek-aspek keagamaan lainnya yang diperlihatkan manusia dalam sikap dan tingkah laku mereka menurut para psikolog ada kaitannya dengan aspek kejiwaan manusia[9]. Dan motif yang didorong keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi oleh keyakinan nonagama, baik doktrin maupun ideologi yang bersifat profan[10]
Secara psikologis, agama dapat berfungsi sebagai motif instrinsik (dalam diri) yang berguna, diantaranya berfungsi untuk terapi mental dan motif ekstrinsik (luar diri)  dalam rangka menangkis bahaya negatif  arus era globalisasi[11].
Psikologi modern tampaknya memberi porsi khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendeketan psikologi yang digunakan terbatas pada pengalaman empiris[12]. Para psikolog agama sependapat bahwa rasa keagamaan memiliki akar kejiwaan yang bersifat bawaan dan berkembang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Penanaman nilai nilai keagamaan menyangkut konsep tentang ketuhanan, semenjak usia dini mampu membentuk religiositas anak mengakar secara kuat pada masa remaja dan mempunyai pengaruh sepanjang hidup. Pada teori Harms, dinyatakan bahwa pemahaman anak tentang tuhan melalui tiga fase, dan masa remaja adalah masa yang mengalami fase individualistic stage. Dua situasi yang mendukung perkembangan rasa agama pada usia remaja adalah kemampuannya untuk berfikir abstrak dan kesensitifan emosinya[13].
Para psikolog agama sependapat bahwa rasa keagamaan memiliki akar kejiwaan yang bersifat bawaan dan berkembang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Penanaman nilai nilai keagamaan menyangkut konsep tentang ketuhanan, semenjak usia dini mampu membentuk religiositas anak mengakar secara kuat pada masa remaja dan mempunyai pengaruh sepanjang hidup. Pada teori Harms, dinyatakan bahwa pemahaman anak tentang tuhan melalui tiga fase, dan masa remaja adalah masa yang mengalami fase individualistic stage. Dua situasi yang mendukung perkembangan rasa agama pada usia remaja adalah kemampuannya untuk berfikir abstrak dan kesensitifan emosinya[14].
Ada beberapa definisi rasa agama yang telah disampaikan oleh ahli psikologi. Rasa agama menurut Clark adalah pengalaman bathin dari seseorang ketika ia merasakan adanya tuhan, khususnya bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika ia secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan tuhan[15] Sementara itu, rasa agama menurut Dra. Susilaningsih [16]adalah kristal kristal rasa agama yang ada dalam diri manusia sebagai produk dari proses internalisasi nilai nilai agama melalui proses mengalami, continue, konsisten dan berkelajutan.
Pada dasarnya rasa agama adalah sebuah pengalaman bathin, sedangkan pengamalan bathin sendiri merupakan hal-hal yang berkaitan erat dengan kejiwaan.
Kompleksitas yang dipikul dalam mengkaji rasa agama yang berupa internalisasai menarik para psikolog untuk memetakan aspek-aspek yang ada dalam mengkaji rasa agama dengan kata lain, pemetaan yang dilakukan oleh psikografi bertujuan untuk mempermudah kajian tentang indicator rasa agama.
Dalam mengkaji indicator rasa agama, para psikografi banyak terinspirasi dari teori glock (1962) tentang dimensions of relegions commitment. Glock mengutarakan ada 5 (lima) dimensi komitmen (indikasi) keagamaan yaitu: Ritualistic, ideological, intellectual, experiential, dan consequential. Verbit (1970) salah satu psikolog juga mengamini lima dimensi komitmen yang di ungkapkan oleh Glock dan strark, tetapi menurutnya kelima dimensi terssebut belum cukup dan dia menambahkan satu dimensi yang lain agar kajian indikasi rasa agama lebih dapat menyeluruh yaitu community. Di lain pihak walaupun secara jelas Verbit menyetujui ke lima dimensi yang diungkapkan diatas verbit juga menggunakan istilah yang agak berbeda dengan Glock yakni: ritual, doctrin, emotion, knowledge, ethics, dan community
Dalam makalahnya, Dra. Susilaningsih memerinci dan mendeskripsikan gabungan dari dua indicator diatas, karena memang stressing point yang terdapat pada kedua pendapat tersebut bersamaan dan terdapat perbedaan hanya pada penggunaan istilah saja. Lalu Susilaningsih menggunakan istilah yang lebih mudah dipahami dengan sebutan :
1.      Relegius belief (the ideological/ doctrine commitment)
Relegius belief atau kepercayaan agama. rasa agama seseorang dapat diukur dengan seberapa jauh pengamalan beragama seseorang memercayai doktrin-doktrin agamanya, ajaran-ajarannya, taqdirnya, dan semua hal yang berkaitan dengan perintah Tuhan. Kepercayaan seseorang kepada Tuhan dan sifat-sifatNYA merupakan substansi dari adanya rasa agama pada diri seseorang. Maka kemudian efek yang timbul dari kepercayaan tersebut berakibat pada indikasi seseorang untuk meyakini adanya kewajiban-kewajiban untuk beribadah dan perecaya akan kehidupan setelah mati. Dalam islam sendiri, indicator yang pertama ini termuat dalam bentuk Rukun Iman yang berupa; iman kepada Allah, malaikat, nabi dan, kitab-kitabNYA, hari kiamat dan Qodha’ dan takdir.
2.      Relegius practice (the ritualistic commitment)
Adapun indikator yang kedua adalah berupa pelaksanaan kewajiban agama. pada relegius practice ini rasa beragama seseorang dapat diukur dengan seberapa jauh seseorang giat dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban beragama seperti, kehadiran seseorang ke Gereja, Pura, Wihara, atau melaksanakan ibadah wajib bagi ummat Muslim. Dalam bentuk kedua ini pengukuran pengalaman beragama ummat muslim dapat di fokuskan pada pelaksanaan Rukun Islam yang berupa, Syahadataini, sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. namun, yang disayangkan dari masyarakat kita adalah seringkali terjebak pada pengukuran rutinitas pelaksanaan peribadatan tersebut tanpa melihat beberapa korelasi yang lain.
3.       Relegius feeling (the experiential / emotion commitment)
Dimensi ketiga adalah Demensi perasaan. Biasanya pada dimensi ini dapat diamati dengan seberapa dalam rasa kebertuhanan seseorang. Dimensi ini sering juga disebut dengan esensi keberagamaan. Karena pada dimensi ini terdapat sebuah relasi transendental yang mana indikatornya tidak hanya pada percaya akan adanya tuhan melainkan dapat di evaluasi dengan kedekatan seseorang pada Tuhannya.
Adapun bentuk kedekatan pada Tuhan yang dirasakan pada dimensi ini melalui pelaksanaan ibadah, yakni seberapa sering seseorang merasakan perasaan yang spektakuler dalam hubungannya kepada Tuhan. Contohnya seberapa sering seseorang merasa doanya diterima, merasa selalu di perhatikan oleh Tuhan dan dijaga sehingga seseorang tersebut ingin selalu dekat dengan Tuhannya.
Bagi orang islam indicator ini dapat dilihat dengan keaktifan dalam melaksanakan ibada-ibadah Sunnah, bersifat ikhlas, berbaik sangka, dll. Disisi lain, dimensi perasaan juga sangat menonjol gejalanya bagi orang-orang yang mengalami konversi agama.
4.      Relegius knowledge (the intellectual commitment)
Dimensi pengetahuan atau dimensi intelektual. Dimensi ini mengukur tentang intelektualitas keagamaan seseorang dengan kata lain, sampai seberapa banyak pengetahuan keagamaan seseorang dan seberapa tinggi motivasi untuk menambah pengetahuan beraagamanya.
Pada dimensi ini juga mengkaji tentang sifat intelektualitas seseorang apakah dia bersifat eksklusif (tekstual, doktriner) ataukah inklusif –kontektualis serta melihat sikap toleransi keagamaan seseorang baik secara intern (sesama agama) maupun secara ekstern (antar agama lain).
5.      Relegius effect (the consequential/ethics commotment)
Selanjutnya adalah dimensi etika atau moral. Inti dari dimensi ini adalah mengukur tentang efek atau akibat pengaruh ajaran agama terhadap perilaku sehari-hari yang tidak terkait dengan perilaku ritual, yaitu perilaku yang mengekspresikan akan kesadaran moral seseorang, baik moral yang berhubungan diri sendiri maupun dengan orang lain. Dalam islam dapat dicontohkan dengan tidak memakan makanan yang haram, pendapatan ekonomi yang halal, menjaga hubungan antara laki-laki dan perempuan, serta menjaga hubungan dengan orang lain seperti saling memaafkan, menghormati dan memulyakan.
6.      Community (social commitment)
Pada ranah ini komuniti diartikan sebagai dimensi social yang mana dimensi ini mengukur seberapa jauh pemeluk agama terlibat dalam hubungan social antar sesama makhluk. Dalam islam, dimensi social dapat dicontohkan seperti seberapa besar peran seseorang dalam mengapresiasi dan membantu acara-acara social keagamaan.
Namun dalam perumusan indikator, verbit mengusulkan empat komponen pada masing-masing dimensi rasa agama diatas, hal ini bertujuan pengukuran indicator dapat memperoleh hasil yang lebih deskriptif. Adapun komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Content : Sebagai alat ukur substansi dari masing-masing dimensi, yaitu ajaran-ajaran agama yang terkait dengan dimensi-dimensi rasa agama diatas.
2.      Frequency : Seberapa sering aktifitas dari masing-masing dimensi itu dilakukan.
3.      Intensity : sebarapa tinggi intensitas dari pelaksanaan masing-masing dimensi.
4.      Centrality : sebarapa menonjol pelaksanaan suatu dimensi dengan dimensi lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Penelitian agama dengan pendekatan psikologi yaitu penelitian terhadap peristiwa dan pengalaman kejiwaan seseorang terkait dengan rasa keagamaan (religiousity) dan pengalaman keagamaan (religious experince).

KARAKTERISTIK PENDEKATAN PSIKOLOGI
            Dari pemakaran diatas maka dapat disimpulkan beberapa poin penting dari karakteristik pendekatan psikologi dalam pengkajian Islam:
1.      pendekatan psikologi merupakan  ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak disadari sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak,
2.      Objek kajian psikologi adalah aspek-aspek kejiwaan manusia;  yaitu  dilihat dari dari segi perilaku/tingkah laku manusia yang nampak.
3.      Psikologi muncul karena dipandang penting memahami dan melihat sisi dalam pada diri manusia yang bersifat nonfisik dalam studi ilmiah dan banyak pengalaman diri (manusia) yang berkenaan dengan kejiwaan dan bersifat nonrasional, sehingga perlu diteliti.
4.      Pendekatan psikologi mengungkap makna (kebenaran) ‘yang sebenarnya ’ dari yang terlahir
5.      Pendekatan psikologi mengunakan analisis  nilai dan motivasi
6.      Pendekatan psikologi meminimalisir bias rasionalitas-positivistik
7.      Contoh pengkaji Islam psikologis
a.     Al-Ghazali : ilm al-nafs à konsep al-ma’rifat
b.     Ulama : Ibn al-Qayyim al-Jauziyah : al-nafs (ilm)
c.     Para sufi Muslim : al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, al-Ghazali[17]
8.      Objek kajian Islam bernuansa psikologis . Dalam Islam dikenal ada tiga tahapan pemahaman, yaitu[18]:
a.     Tahapan iman
yaitu suatu tahapan pemahaman keagamaan yang berlandaskan pada logika teologis yang menetapkan perlunya suatu pandangan ketuhanan yang menjadi sumber bagi sikap dan pandangan hidupnya dalam menghadapi berbagai tantangan yang makin kompleks. Pandangan ini diperlukan sebagai landasan kebenaran dan pembenaran bagi perilakunya. Tanpa landasan kebenaran yang teologis, maka seseorang akan mengalami kebingungan dan kegoncangan dalam kehidupannya sehingga jatuh pada keyakinan anti Tuhan, atheisme. Hampir semua agama memulai pemahaman keagamaan yang dipeluknya dari logika teologis ini.
b.    Tahapan Islam
 Yaitu tahapan pemahaman keagamaan di mana seseorang telah mengikatkan dirinya pada pandangan etika dalam syariat yang mengatur ketat terhadap perilaku keagamaan yang dianutnya. Di sini aturan etika yang menjadi standar perilaku keagamaan ditetapkan secara jelas dan detail, yang menyangkut apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Konsep halam dan haram begitu jelasnya, sehingga batas perilaku yang boleh dan tidak boleh, menjadi standar penilaian untuk menetapkan siapa yang minna dan siapa pula yang minhum. Bahkan ini berlaku baik dalam kehidupan internal dari aliran-aliran keagamaannya sendiri, maupun bagi kehidupan keagamaan yang eksternal sifatnya. Dalam tahapan pemahaman terhadap etika keagamaan itu, maka perilaku keagamaan menjadi kaku dan rigid dan akibatnya seseorang terjebak pada aturan-aturan yang kaku, yang cenderung anti realitas, anti perubahan dan menolak pluralisme.
c.    Tahapan Ihsan
yaitu tahapan pemahaman keagamaan yang telah mampu melewati batas-batas logika teologis dan etis, sehingga seseorang menemukan hakikat keagamaannya itu dalam kedalaman dirinya yang terbuka dengan realitas, dapat menerima dan memahami terhadap pluralitas dengan pandangan yang lebih substansial yang membuat dirinya menjadi lebih arif dan merasakan keindahan dari realitas yang beraneka-ragam, sehingga menjadi proses pengkayaan spiritual yang tidak pernah berakhir. Pada tahapan ihsan ini, maka agama telah membawa pemeluknya untuk menemukan dirinya kembali dalam kebebasan yang substansial berhadapan dengan Tuhan yang memuliakan dirinya melalui perilakunya dalam memuliakan makhluk Tuhan lainnya. Logika teologis dan etis itu bersemayam dalam kedalaman dirinya sendiri yang eksistensial dan aktual, bukan sesuatu yang ada di luar dirinya.
PENUTUP
            Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia karena jiwa merupakan abstrak maka jiwa tersebut dilihat dari perilaku manusia yang nampak. Maka Pendekatan psikologi dalam pengkajian Islam merupakan pendekatan dengan melihat jiwa manusia tentang keagamaan dan rasa beragama manusia dilihat dari perilaku keberagama dan rasa beragama ummat Islam. Karena jiwa itu bersifat abstrak maka pendekatan yang digunakan dengan psikologi agar dapat dibuktikan secara empiris.

DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur, Psikologi Umum, Pustaka Setia, 2003.
Adeng Muchtar Ghazali, ilmu perbandingan agama, pustaka setia, Bandung, 2000.
Hand Out Makalah Pengkajian Dalam Studi Islam Pak Ahmad Arifin Dosen Pasca Sarjana Uin Suka Tanggal 11 Juni 2013
http://www.uin-suka.ac.id/kolom/dkolom/1 diunduh tanggal 10 juni 2013
Clark, W.H, The Psychology Of  Religion. (New York : The MacMillan Company, 1958),
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Bandung, Pustaka Setia, 2008.
http://athlasgeodesi.wordpress.com/2012/09/09/islam-dan-psikologi/ diunduh tanggal 23 april 2013
Zakiyah Daradjat, ilmu jiwa agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.
Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wikipedia.org/ diakses tanggal 12 juni 2013


[1] Wikipedia.org/ diakses tanggal 12 juni 2013
[2] Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hal: 21-2
[3]  Alex Sobur, Psikologi Umum, Pustaka Setia, 2003. Hal. 40-41
[4]  Ibid Hal. 41-42
[5] Hand out makalah pengkajian dalam studi Islam pak arifin dosen pasca sarjana UIN suka tanggal 11 juni 2013
[6]http://athlasgeodesi.wordpress.com/2012/09/09/islam-dan-psikologi/ diunduh tanggal 23 april 2013
[7] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2000. Hal. 46
[8] Zakiyah Daradjat, ilmu jiwa agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1987. Hal. 76
[10] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Bandung, Pustaka Setia, 2008, hal: 133
[11] Ibid hal: 133                                
[12] Ibid hal: 131
[15] Clark, W.H, The Psychology Of  Religion. (New York : The MacMillan Company, 1958), Hal. 22
[17] Hand out makalah pengkajian dalam studi Islam pak arifin dosen pasca sarjana UIN suka tanggal 11 juni 2013
[18] http://www.uin-suka.ac.id/kolom/dkolom/1 diunduh tanggal 10 juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar