PENDEKATAN PSIKOLOGI
DALAM PENGKAJIAN ISLAM
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi
Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah
Pendekatan
Dalam Pengkajian Islam
Dosen Pengampu: Dr. Ahmad Arifi, M.
Ag
Oleh:
Qiyadah Rabbaniyah 1220411206
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
PENDEKATAN PSIKOLOGI
DALAM PENGKAJIAN ISLAM
PENDAHULUAN
Dewasa ini banyaknya berbagai kegiatan
keagamaan yang beragam yang mempunyai keunikan dan kekhasan dari pembawaan cara
berdakwah, dan misi yang dibawa. Dapat
kita amati beberapa contoh seperti (a)
Arifin Ilham beliau mempunyai majelis dzikir dengan jamaah yang banyak. Beliau
mengadakan acara dzikir bersama dilakukan secara rutin dalam rangka
membersihkan hati, (b) Yusuf Mansur yang menganjurkan kepada jamaahnya untuk
mudah bersedekah, dengan sedekah segala kesusahan kita menjadi lebih mudah. (c)
Ustad Danu yang terkenal dengan solusi beliau kepada jamaahnya dalam
menyelesaikan segala masalah dan kesulitan hidup dengan dzikir dan sholat (d)
Ustad Jefri Albukhori yang membumikan kepada ummat islam untuk cinta Allah dan
Rosul. (e) Ustad Haryono yang terkenal dengan terapi spiritual dengan dzikir.
Maka muncullah pertanyaan ada apa dengan pemuluk agama? untuk menjawab
pertanyaan tersebut dapat di dekati dengan kajian psikologi.
Psikologi sebagai sebuah disiplin ilmu
terbilang berusia muda. Ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan
proses mental itu diklaim Barat baru muncul pada tahun 1879 M -- ketika Wilhelm
Wundt mendirikan laboratorium pertamanya di Leipzig. Padahal, jauh sebelum itu
peradaban manusia dari zaman ke zaman telah menaruh perhatian pada
masalah-masalah psikologi.
Peradaban manusia kuno di Mesir, Yunani,
Cina, dan India telah memikirkan tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam
kurun waktu bersamaan. Kebudayaan kuno itu juga telah memikirkan tentang sifat
pikiran, jiwa, ruh, dan sebagainya. Masyarakat Mesir Kuno dalam catatan yang
tertulis pada papirus bertarik 1550 SM telah mencoba mendeskripsikan tentang
otak dan beberapa spekulasi mengenai fungsinya.
Selain itu, filsuf Yunani Kuno, Thales,
juga telah mengelaborasi apa yang disebut sebagai psuch atau jiwa. Pemikir
lainnya dari peradaban Yunani Kuno seperti Plato, Pythagoras, dan Aristoteles
juga turut mendedikasikan diri mereka untuk mempelajari dan mengembangkan
dasar-dasar psikologi. Sejak abad ke-6 M, peradaban Cina telah mengembangkan
tes kemampuan sebagai bagian dari sistem pendidikan.
Lalu bagaimana peradaban Islam berperan
dalam mengembangkan psikologi? Sebenarnya. jauh sebelum Barat mendeklarasikan
berdirinya disiplin ilmu psikologi di abad ke-19 M, di era keemasannya para
psikolog dan dokter Muslim telah turut mengembangkan psikologi dengan membangun
klinik yang kini dikenal sebagai rumah sakit psikiatris.
Di era kekhalifahan, psikologi
berkembang beriringan dengan pesatnya pencapaian dalam ilmu kedokteran. Pada
masa kejayaannya, para psikolog Muslim telah mengembangkan Psikologi Islam atau
Ilm-Al Nafsiat. Psikologi yang berhubungan dengan studi nafs atau jiwa itu
mengkaji dan mempelajari manusia melalui qalb (jantung), ruh, aql
(intelektual), dan iradah (kehendak).
Kontribusi para psikolog Muslim dalam
mengembangkan dan mengkaji psikologi begitu sangat bernilai. Sejarah mencatat,
sarjana Muslim terkemuka, Al-Kindi, merupakan psikolog Muslim pertama yang
mencoba menerapkan terapi musik. Psikolog Muslim lainnya, Ali ibn Sahl Rabban
Al-Tabari, juga diakui dunia sebagai orang pertama yang menerapkan psikoterapi
atau 'al-`ilaj al-nafs'.
Psikolog Muslim di era kejayaan, Ahmed
ibnu Sahl Al-Balkhi, merupakan sarjana pertama yang memperkenalkan konsep
kesehatan spiritual atau al-tibb al-ruhani dan ilmu kesehatan mental. Al-Balkhi
diyakini sebagai psikolog medis dan kognitif pertama yang secara jelas
membedakan antara neuroses dan psychoses untuk mengklasifikasi gangguan
penyakit syaraf.
PENDEKATAN PSIKOLOGI DAN HISTORINYA
Psikologi (dari bahasa
Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari
jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi
membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa
tingkah laku dan proses atau kegiatannya.[1]
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 13 (1990), Psikologi
adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dan binatang baik yang dapat
dilihat secara langsung maupun yang tidak dapat dilihat secara langsung.
Menurut Dakir (1993), psikologi membahas tingkah laku manusia dalam hubungannya
dengan lingkungannya. Menurut Muhibbin Syah (2001), psikologi adalah ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku terbuka dan tertutup pada manusia
baik selaku individu maupun kelompok, dalam hubungannya dengan lingkungan.
Tingkah laku terbuka adalah tingkah laku yang bersifat psikomotor yang meliputi
perbuatan berbicara, duduk , berjalan dan lain sebgainya, sedangkan tingkah
laku tertutup meliputi berfikir, berkeyakinan, berperasaan dan lain sebagainya. [2]
Dari beberapa definisi tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia,
baik sebagai individu maupun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah
laku tersebut berupa tingkah laku yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku
yang disadari maupun yang tidak disadari sebagai gambaran dari gejala-gejala
kejiwaan yang berada di belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak,
untuk mempelajari kehidupan kejiwaan manusia hanya mungkin dilihat dari gejala
yang tampak, yaitu sikap dan tingkah laku yang ditampilkan.
Objek kajian psikologi dapat dibagi menjadi dua yaitu:
1. Objek material: sesuatu yang dibahas, dipelajari, atau diselidi
yaitu manusia. Objek material mencakup apa saja baik hal-hal konkret (misalnya
kerohanian, nilai-nilai, ide)[3].
2. Objek formal: cara memandang, cara meninjau yang dilakukan oleh
peneliti terhadap objek materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakan; yaitu
dari segi tingkah laku manusia[4].
Jadi objek kajian psikologi
adalah aspek-aspek kejiwaan manusia;
yaitu dilihat dari dari segi
perilaku/tingkah laku manusia yang nampak.
Psikologi
muncul karena:
1. Dipandang
penting memahami dan melihat sisi dalam pada diri manusia yang bersifat
nonfisik dalam studi ilmiah.
- Banyak pengalaman diri (manusia) yang berkenaan dengan kejiwaan dan bersifat nonrasional , sehingga perlu diteliti (pengalaman sufi)
Para tokoh psikologi yang
terkenal diantaranya adalah[5]:
1. Willhelm
Wundt (1879) à mendirikan laboratorium psikologi di
Univ. Leipzig.
2. William
James (1876) à Memberi kuliah tentang “psikologi fisik”
(1891) à
The Principle of Psychology
(1902) à
The Varieties of the religious Experiences
3. Sigmund
Fred à ego , ilusi
4. Abraham
Maslow à Psikologi Humanistik
Psikologi merupakan ilmu yang menyoroti
manusia dari sudut pandang yang berlainan (model of man), sehingga memunculkan
empat aliran besar dalam psikologi, yakni:
1. Aliran Psikoanalisis
Didirikan Sigmund Freud (1856-1931). Aliran ini berpendapat bahwa
kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu; Id (dorongan biologis),
Ego (kesadaran akan realitas kehidupan) dan superego (kesadaran normatif).
Konsep aliran ini memandang bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak
sadar dan dorongan nafsu rendah, sehingga ia bersifat; buruk, liar, kejam,
kelam, non etis, egois, sarat nafsu dan berkiblat pada kenikmatan jasmani.
Dengan demikian ajaran shalat, zakat, puasa bagi muslim bertentangan dengan
konsep Freud.
2. Aliran Perilaku
Aliran perilaku (behaviour phsychology) berpendapat bahwa upaya rekayasa
dan kondisi lingkungan luar adalah hal yang paling mempengaruhi dan menentukan
perilaku manusia. Prinsip pandangan aliran ini adalah :
a.
Manusia itu pasif tak
berinisiatif dan banyak ditentukan oleh kekuatan mekanistis di luar
sadarnya.
b.
Manusia itu mumpunyai
kecenderungan untuk mencari enaknya sendiri dan tak mungkin bertindak tanpa
pamrih.
c.
Permasalahan manusia
dapat dipecahkan secara lewat rekayasa dan manipulasi.
3. Aliran Psikologi Humanistik
Aliran psikologi humanistik berasumsi bahwa manusia lebih banyak memiliki
potensi baik daripada buruk. Aliran ini hanya menelaah kualitas insani manusia.
Misalnya; kemampuan abstraksi, daya analisis dan sintesis, imajinasi,
kreatifitas, kebebasan berkehendak, aktualisasi diri, tanggung jawab dan
sebagainya.
Aliran ini memberikan julukan manusia sebagai The Self Determining Being,
artinya manusia yang mampu menentukan tujuan-tujuan yang paling diinginkan
sekaligus cara-cara mencapai tujuan itu yang dianggapnya paling tepat.
4. Aliran Psikologi Transpersonal
Perjumpaan antara agama Islam dengan psikologi dalam memandang manusia
terdapat kesamaan (similarisasi) pada gambaran karakteriologis, kesejalanan
(paralelisasi) pada asas-asas dan kualitas insani, pelengkapan (komplementasi)
dalam determian kepribadian serta saling menyangkal (falsifasi) dalam orientasi
filosofis. Dari pembahasan di atas menjadikan jarak antara psikologi dengan
Islam menjadi lebih akrab dan saling mampu mendukung. Agama Islam yang
berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadist sarat dengan asas-asas psikologi dan
psikologi sebagai ilmu pengetahuan telaahnya banyak yang mendukung kebenaran
agama[6].
Maka dapat disimpulkan bahwa Psikologi muncul karena dipandang penting
memahami dan melihat sisi dalam pada diri manusia yang bersifat nonfisik dalam
studi ilmiah dan banyak pengalaman diri (manusia) yang berkenaan dengan kejiwaan dan bersifat
nonrasional, sehingga perlu diteliti.
PENDEKATAN PSIKOLOGI DALAM STUDI ISLAM
Agama sebagai bentuk
keyakinan manusia terhadap sesuatu yang bersifat adikodrati (supernatura)
ternyata seakan menyertai manusia dalam ruang lingkup kehidupan yang luas. Agama
merupakan pedoman bagi manusia, keberadaan agama berkaitan erat dengan
kehidupan manusia dan tidak dapat dipisahkan dengan berbagai ilmu pengetahuan
yang menunjang pengetahuan manusia itu sendiri. Sehingga agama dapat dilihat
dari berbagai perspektif sesuai dengan disiplin ilmu yang digunakan sebagai
sudut pandang. Salah satunya ialah psikologi, dalam hal ini semua pembahasan
mengenai agama berdasarkan pada tinjauan ilmu psikologi.
Pada abad ke-20 muncul pendekatan baru
untuk menjelaskan agama dari segi ilmu pengetahuan, yaitu pendekatan psikologi.
Pendekatan ini merupakan usaha untuk memperoleh sisi ilmiah dari aspek-aspek
batini pengalaman keagamaan[7]. Psikologi atau ilmu jiwa
adalah ilmu yang mempelajari jiwa sesorang melalui gejala perilaku yang dapat
diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriah
terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Sikap seseorang yang
ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, guru dan
sebagainya merupakan gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa
agama. Ilmu jiwa agama sebagaimana dikemukan Zakiyah Daradjat tidak
mempersoalkan benar tidaknya suatu agama yang dianutnya seseorang, melainkan
yang dipentingkan adalah bagaimana keyakinan agama tersebut terlihat
pengaruhnya dalam perilaku penganutnya[8].
Ilmu psikologi itu sendiri
merupakan disiplin ilmu yang otonom karena memiliki keterkaitan dengan
masalah-masalah menyangkut kehidupan batin manusia yaitu agama. Sehingga
hubungan antara kesadaran agama dan tingkah laku agama dapat dipelajari melalui
pendekatan psikologi.
Para psikolog menilai bahwa
hubungan manusia dengan kepercayaannya itu dipengaruhi sekaligus mempengaruhi
faktor kejiwaan. Proses dan sistem hubungan ini menurut mereka dapat dikaji
secara empiris dengan menggunakan pendekatan psikologi. Misalnya yang termuat
dalam doa-doa atau perilaku keberagamaan dapat dilihat dari motivasi yang
melatarbelakanginya. Demikian pula mengenai aspek-aspek keagamaan lainnya yang
diperlihatkan manusia dalam sikap dan tingkah laku mereka menurut para psikolog
ada kaitannya dengan aspek kejiwaan manusia[9]. Dan motif yang didorong
keyakinan agama dinilai memiliki kekuatan yang mengagumkan dan sulit ditandingi
oleh keyakinan nonagama, baik doktrin maupun ideologi yang bersifat profan[10]
Secara psikologis, agama
dapat berfungsi sebagai motif instrinsik (dalam diri) yang berguna, diantaranya
berfungsi untuk terapi mental dan motif ekstrinsik (luar diri) dalam rangka menangkis bahaya negatif arus era globalisasi[11].
Psikologi modern tampaknya memberi porsi
khusus bagi perilaku keagamaan, walaupun pendeketan psikologi yang digunakan
terbatas pada pengalaman empiris[12]. Para psikolog agama
sependapat bahwa rasa keagamaan memiliki akar kejiwaan yang bersifat bawaan dan
berkembang dipengaruhi oleh faktor eksternal. Penanaman nilai nilai keagamaan
menyangkut konsep tentang ketuhanan, semenjak usia dini mampu membentuk
religiositas anak mengakar secara kuat pada masa remaja dan mempunyai pengaruh
sepanjang hidup. Pada teori Harms, dinyatakan bahwa pemahaman anak tentang
tuhan melalui tiga fase, dan masa remaja adalah masa yang mengalami fase
individualistic stage. Dua situasi yang mendukung perkembangan rasa agama pada
usia remaja adalah kemampuannya untuk berfikir abstrak dan kesensitifan
emosinya[13].
Para psikolog agama sependapat bahwa rasa
keagamaan memiliki akar kejiwaan yang bersifat bawaan dan berkembang
dipengaruhi oleh faktor eksternal. Penanaman nilai nilai keagamaan menyangkut
konsep tentang ketuhanan, semenjak usia dini mampu membentuk religiositas anak
mengakar secara kuat pada masa remaja dan mempunyai pengaruh sepanjang hidup.
Pada teori Harms, dinyatakan bahwa pemahaman anak tentang tuhan melalui tiga
fase, dan masa remaja adalah masa yang mengalami fase individualistic stage.
Dua situasi yang mendukung perkembangan rasa agama pada usia remaja adalah
kemampuannya untuk berfikir abstrak dan kesensitifan emosinya[14].
Ada beberapa definisi rasa agama yang
telah disampaikan oleh ahli psikologi. Rasa agama menurut Clark adalah
pengalaman bathin dari seseorang ketika ia merasakan adanya tuhan, khususnya
bila efek dari pengalaman itu terbukti dalam bentuk perilaku, yaitu ketika ia
secara aktif berusaha menyesuaikan hidupnya dengan tuhan[15] Sementara itu, rasa agama menurut Dra.
Susilaningsih [16]adalah
kristal kristal rasa agama yang ada dalam diri manusia sebagai produk dari
proses internalisasi nilai nilai agama melalui proses mengalami, continue,
konsisten dan berkelajutan.
Pada dasarnya rasa agama adalah sebuah
pengalaman bathin, sedangkan pengamalan bathin sendiri merupakan hal-hal yang
berkaitan erat dengan kejiwaan.
Kompleksitas yang dipikul dalam mengkaji
rasa agama yang berupa internalisasai menarik para psikolog untuk memetakan
aspek-aspek yang ada dalam mengkaji rasa agama dengan kata lain, pemetaan yang
dilakukan oleh psikografi bertujuan untuk mempermudah kajian tentang indicator
rasa agama.
Dalam mengkaji indicator rasa agama,
para psikografi banyak terinspirasi dari teori glock (1962) tentang dimensions
of relegions commitment. Glock mengutarakan ada 5 (lima) dimensi komitmen
(indikasi) keagamaan yaitu: Ritualistic, ideological, intellectual,
experiential, dan consequential. Verbit (1970) salah satu psikolog juga
mengamini lima dimensi komitmen yang di ungkapkan oleh Glock dan strark, tetapi
menurutnya kelima dimensi terssebut belum cukup dan dia menambahkan satu
dimensi yang lain agar kajian indikasi rasa agama lebih dapat menyeluruh yaitu
community. Di lain pihak walaupun secara jelas Verbit menyetujui ke lima dimensi
yang diungkapkan diatas verbit juga menggunakan istilah yang agak berbeda
dengan Glock yakni: ritual, doctrin, emotion, knowledge, ethics, dan community
Dalam makalahnya, Dra. Susilaningsih
memerinci dan mendeskripsikan gabungan dari dua indicator diatas, karena memang
stressing point yang terdapat pada kedua pendapat tersebut bersamaan dan
terdapat perbedaan hanya pada penggunaan istilah saja. Lalu Susilaningsih
menggunakan istilah yang lebih mudah dipahami dengan sebutan :
1.
Relegius
belief (the ideological/ doctrine commitment)
Relegius
belief atau kepercayaan agama. rasa agama seseorang dapat diukur dengan
seberapa jauh pengamalan beragama seseorang memercayai doktrin-doktrin
agamanya, ajaran-ajarannya, taqdirnya, dan semua hal yang berkaitan dengan perintah
Tuhan. Kepercayaan seseorang kepada Tuhan dan sifat-sifatNYA merupakan
substansi dari adanya rasa agama pada diri seseorang. Maka kemudian efek yang
timbul dari kepercayaan tersebut berakibat pada indikasi seseorang untuk
meyakini adanya kewajiban-kewajiban untuk beribadah dan perecaya akan kehidupan
setelah mati. Dalam islam sendiri, indicator yang pertama ini termuat dalam
bentuk Rukun Iman yang berupa; iman kepada Allah, malaikat, nabi dan,
kitab-kitabNYA, hari kiamat dan Qodha’ dan takdir.
2.
Relegius
practice (the ritualistic commitment)
Adapun
indikator yang kedua adalah berupa pelaksanaan kewajiban agama. pada relegius
practice ini rasa beragama seseorang dapat diukur dengan seberapa jauh
seseorang giat dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban beragama seperti,
kehadiran seseorang ke Gereja, Pura, Wihara, atau melaksanakan ibadah wajib
bagi ummat Muslim. Dalam bentuk kedua ini pengukuran pengalaman beragama ummat
muslim dapat di fokuskan pada pelaksanaan Rukun Islam yang berupa,
Syahadataini, sholat, Zakat, Puasa, dan Haji. namun, yang disayangkan dari
masyarakat kita adalah seringkali terjebak pada pengukuran rutinitas
pelaksanaan peribadatan tersebut tanpa melihat beberapa korelasi yang lain.
3.
Relegius feeling (the experiential /
emotion commitment)
Dimensi
ketiga adalah Demensi perasaan. Biasanya pada dimensi ini dapat diamati dengan
seberapa dalam rasa kebertuhanan seseorang. Dimensi ini sering juga disebut
dengan esensi keberagamaan. Karena pada dimensi ini terdapat sebuah relasi
transendental yang mana indikatornya tidak hanya pada percaya akan adanya tuhan
melainkan dapat di evaluasi dengan kedekatan seseorang pada Tuhannya.
Adapun bentuk kedekatan pada Tuhan yang dirasakan pada dimensi ini melalui pelaksanaan ibadah, yakni seberapa sering seseorang merasakan perasaan yang spektakuler dalam hubungannya kepada Tuhan. Contohnya seberapa sering seseorang merasa doanya diterima, merasa selalu di perhatikan oleh Tuhan dan dijaga sehingga seseorang tersebut ingin selalu dekat dengan Tuhannya.
Adapun bentuk kedekatan pada Tuhan yang dirasakan pada dimensi ini melalui pelaksanaan ibadah, yakni seberapa sering seseorang merasakan perasaan yang spektakuler dalam hubungannya kepada Tuhan. Contohnya seberapa sering seseorang merasa doanya diterima, merasa selalu di perhatikan oleh Tuhan dan dijaga sehingga seseorang tersebut ingin selalu dekat dengan Tuhannya.
Bagi
orang islam indicator ini dapat dilihat dengan keaktifan dalam melaksanakan
ibada-ibadah Sunnah, bersifat ikhlas, berbaik sangka, dll. Disisi lain, dimensi
perasaan juga sangat menonjol gejalanya bagi orang-orang yang mengalami
konversi agama.
4.
Relegius
knowledge (the intellectual commitment)
Dimensi
pengetahuan atau dimensi intelektual. Dimensi ini mengukur tentang
intelektualitas keagamaan seseorang dengan kata lain, sampai seberapa banyak
pengetahuan keagamaan seseorang dan seberapa tinggi motivasi untuk menambah
pengetahuan beraagamanya.
Pada
dimensi ini juga mengkaji tentang sifat intelektualitas seseorang apakah dia
bersifat eksklusif (tekstual, doktriner) ataukah inklusif –kontektualis serta
melihat sikap toleransi keagamaan seseorang baik secara intern (sesama agama)
maupun secara ekstern (antar agama lain).
5.
Relegius
effect (the consequential/ethics commotment)
Selanjutnya
adalah dimensi etika atau moral. Inti dari dimensi ini adalah mengukur tentang
efek atau akibat pengaruh ajaran agama terhadap perilaku sehari-hari yang tidak
terkait dengan perilaku ritual, yaitu perilaku yang mengekspresikan akan
kesadaran moral seseorang, baik moral yang berhubungan diri sendiri maupun
dengan orang lain. Dalam islam dapat dicontohkan dengan tidak memakan makanan
yang haram, pendapatan ekonomi yang halal, menjaga hubungan antara laki-laki
dan perempuan, serta menjaga hubungan dengan orang lain seperti saling
memaafkan, menghormati dan memulyakan.
6.
Community (social
commitment)
Pada
ranah ini komuniti diartikan sebagai dimensi social yang mana dimensi ini
mengukur seberapa jauh pemeluk agama terlibat dalam hubungan social antar
sesama makhluk. Dalam islam, dimensi social dapat dicontohkan seperti seberapa
besar peran seseorang dalam mengapresiasi dan membantu acara-acara social
keagamaan.
Namun dalam perumusan indikator, verbit
mengusulkan empat komponen pada masing-masing dimensi rasa agama diatas, hal
ini bertujuan pengukuran indicator dapat memperoleh hasil yang lebih
deskriptif. Adapun komponen-komponen tersebut adalah sebagai berikut :
1. Content : Sebagai alat ukur
substansi dari masing-masing dimensi, yaitu ajaran-ajaran agama yang terkait
dengan dimensi-dimensi rasa agama diatas.
2. Frequency : Seberapa sering
aktifitas dari masing-masing dimensi itu dilakukan.
3. Intensity : sebarapa tinggi
intensitas dari pelaksanaan masing-masing dimensi.
4.
Centrality
: sebarapa menonjol pelaksanaan suatu dimensi dengan dimensi lain.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Penelitian agama dengan pendekatan psikologi yaitu
penelitian terhadap
peristiwa dan pengalaman kejiwaan seseorang terkait dengan rasa keagamaan (religiousity)
dan pengalaman keagamaan (religious experince).
KARAKTERISTIK
PENDEKATAN PSIKOLOGI
Dari pemakaran diatas maka dapat
disimpulkan beberapa poin penting dari karakteristik pendekatan psikologi dalam
pengkajian Islam:
1. pendekatan psikologi
merupakan ilmu pengetahuan yang
mempelajari tingkah laku manusia, baik sebagai individu maupun dalam
hubungannya dengan lingkungannya. Tingkah laku tersebut berupa tingkah laku
yang tampak maupun tidak tampak, tingkah laku yang disadari maupun yang tidak
disadari sebagai gambaran dari gejala-gejala kejiwaan yang berada di
belakangnya. Karena jiwa itu sendiri bersifat abstrak,
2. Objek kajian psikologi adalah aspek-aspek kejiwaan manusia; yaitu
dilihat dari dari segi perilaku/tingkah laku manusia yang nampak.
3.
Psikologi muncul karena dipandang penting
memahami dan melihat sisi dalam pada diri manusia yang bersifat nonfisik dalam
studi ilmiah dan banyak pengalaman diri (manusia) yang berkenaan dengan kejiwaan dan
bersifat nonrasional, sehingga perlu diteliti.
4. Pendekatan psikologi mengungkap
makna (kebenaran) ‘yang sebenarnya ’ dari yang terlahir
5. Pendekatan psikologi
mengunakan analisis
nilai dan motivasi
6. Pendekatan psikologi meminimalisir
bias rasionalitas-positivistik
7. Contoh
pengkaji Islam psikologis
a. Al-Ghazali
: ilm al-nafs à konsep al-ma’rifat
b. Ulama
: Ibn al-Qayyim al-Jauziyah : al-nafs (ilm)
c. Para
sufi Muslim : al-Hallaj, Ibn ‘Arabi, al-Ghazali[17]
8. Objek
kajian Islam bernuansa psikologis . Dalam
Islam dikenal ada tiga tahapan pemahaman, yaitu[18]:
a. Tahapan iman
yaitu
suatu tahapan pemahaman keagamaan yang berlandaskan pada logika teologis yang
menetapkan perlunya suatu pandangan ketuhanan yang menjadi sumber bagi sikap
dan pandangan hidupnya dalam menghadapi berbagai tantangan yang makin kompleks.
Pandangan ini diperlukan sebagai landasan kebenaran dan pembenaran bagi
perilakunya. Tanpa landasan kebenaran yang teologis, maka seseorang akan
mengalami kebingungan dan kegoncangan dalam kehidupannya sehingga jatuh pada
keyakinan anti Tuhan, atheisme. Hampir semua agama memulai pemahaman keagamaan
yang dipeluknya dari logika teologis ini.
b. Tahapan Islam
Yaitu tahapan pemahaman keagamaan di mana
seseorang telah mengikatkan dirinya pada pandangan etika dalam syariat yang
mengatur ketat terhadap perilaku keagamaan yang dianutnya. Di sini aturan etika
yang menjadi standar perilaku keagamaan ditetapkan secara jelas dan detail,
yang menyangkut apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukannya.
Konsep halam dan haram begitu jelasnya, sehingga batas perilaku yang boleh dan
tidak boleh, menjadi standar penilaian untuk menetapkan siapa yang minna dan
siapa pula yang minhum. Bahkan ini berlaku baik dalam kehidupan internal dari
aliran-aliran keagamaannya sendiri, maupun bagi kehidupan keagamaan yang
eksternal sifatnya. Dalam tahapan pemahaman terhadap etika keagamaan itu, maka
perilaku keagamaan menjadi kaku dan rigid dan akibatnya seseorang terjebak pada
aturan-aturan yang kaku, yang cenderung anti realitas, anti perubahan dan
menolak pluralisme.
c. Tahapan Ihsan
yaitu
tahapan pemahaman keagamaan yang telah mampu melewati batas-batas logika
teologis dan etis, sehingga seseorang menemukan hakikat keagamaannya itu dalam
kedalaman dirinya yang terbuka dengan realitas, dapat menerima dan memahami
terhadap pluralitas dengan pandangan yang lebih substansial yang membuat
dirinya menjadi lebih arif dan merasakan keindahan dari realitas yang
beraneka-ragam, sehingga menjadi proses pengkayaan spiritual yang tidak pernah
berakhir. Pada tahapan ihsan ini, maka agama telah membawa pemeluknya untuk
menemukan dirinya kembali dalam kebebasan yang substansial berhadapan dengan
Tuhan yang memuliakan dirinya melalui perilakunya dalam memuliakan makhluk
Tuhan lainnya. Logika teologis dan etis itu bersemayam dalam kedalaman dirinya
sendiri yang eksistensial dan aktual, bukan sesuatu yang ada di luar dirinya.
PENUTUP
Psikologi
merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa manusia karena jiwa merupakan
abstrak maka jiwa tersebut dilihat dari perilaku manusia yang nampak. Maka Pendekatan
psikologi dalam pengkajian Islam merupakan pendekatan dengan melihat jiwa
manusia tentang keagamaan dan rasa beragama manusia dilihat dari perilaku
keberagama dan rasa beragama ummat Islam. Karena jiwa itu bersifat abstrak maka
pendekatan yang digunakan dengan psikologi agar dapat dibuktikan secara
empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Alex Sobur, Psikologi
Umum, Pustaka Setia, 2003.
Adeng Muchtar
Ghazali, ilmu perbandingan agama, pustaka setia, Bandung, 2000.
Hand Out Makalah
Pengkajian Dalam Studi Islam Pak Ahmad Arifin Dosen Pasca Sarjana Uin Suka
Tanggal 11 Juni 2013
http://www.uin-suka.ac.id/kolom/dkolom/1
diunduh tanggal 10 juni 2013
http://alfinahmad.blogspot.com/2010/10/rasa-agama-dan-indikator-rasa-agama.html
diunduh tanggl 11 juni 2013
Clark, W.H, The
Psychology Of Religion. (New York : The MacMillan Company, 1958),
http://andreastea83.blogspot.com/2012/01/perkembangan-dimensi-rasa-agama-pada.html
diunduh tanggal 11 juni 2013
http://www.koplak.co.uk/2013/05/agama-menurut-perspektif-psikologi.html
diunduh tanggal 11 juni 2013
Bambang Syamsul
Arifin, Psikologi Agama, Bandung, Pustaka Setia, 2008.
http://alfinahmad.blogspot.com/2010/10/rasa-agama-dan-indikator-rasa-agama.html
diunduh tanggl 11 juni 2013
http://athlasgeodesi.wordpress.com/2012/09/09/islam-dan-psikologi/
diunduh tanggal 23 april 2013
Zakiyah
Daradjat, ilmu jiwa agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1987.
Dakir. 1993. Dasar-Dasar Psikologi. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Wikipedia.org/
diakses tanggal 12 juni 2013
[3] Alex Sobur, Psikologi
Umum, Pustaka Setia, 2003. Hal. 40-41
[4] Ibid Hal. 41-42
[5] Hand out makalah pengkajian dalam studi Islam pak arifin
dosen pasca sarjana UIN suka tanggal 11 juni 2013
[6]http://athlasgeodesi.wordpress.com/2012/09/09/islam-dan-psikologi/
diunduh tanggal 23 april 2013
[7] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama,
Pustaka Setia, Bandung, 2000. Hal. 46
[8] Zakiyah Daradjat, ilmu jiwa agama, Bulan Bintang,
Jakarta, 1987. Hal. 76
[9] http://www.koplak.co.uk/2013/05/agama-menurut-perspektif-psikologi.html
diunduh tanggal 11 juni 2013
[10] Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama, Bandung,
Pustaka Setia, 2008, hal: 133
[11] Ibid hal: 133
[12] Ibid hal: 131
[13]
http://alfinahmad.blogspot.com/2010/10/rasa-agama-dan-indikator-rasa-agama.html
diunduh tanggl 11 juni 2013
[14] http://alfinahmad.blogspot.com/2010/10/rasa-agama-dan-indikator-rasa-agama.html
diunduh tanggl 11 juni 2013
[15] Clark, W.H, The Psychology Of Religion. (New York
: The MacMillan Company, 1958), Hal. 22
[16] http://andreastea83.blogspot.com/2012/01/perkembangan-dimensi-rasa-agama-pada.html
diunduh tanggal 11 juni 2013
[17]
Hand out makalah pengkajian dalam studi Islam pak
arifin dosen pasca sarjana UIN suka tanggal 11 juni 2013
[18] http://www.uin-suka.ac.id/kolom/dkolom/1
diunduh tanggal 10 juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar