Senin, 01 Juli 2013

SEJARAH PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM KLASIK, TENGAH, DAN MODERN



Pemikiran Muhammad Abduh
Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan Islam

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas ujian akhir mata kuliah
(SEJARAH PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM KLASIK, TENGAH, DAN MODERN)
Dosen Pengampu: Dr. Karwadi, M.Ag.


Oleh:
Barit Fatkur Rosadi
NIM:
1220411127
Qiyadah Rabbaniyah
NIM:
1220411206
Robiah Saidah
NIM:
1220411162

PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

PENDAHULUAN

Muhammad Abduh merupakan salah satu diantara tokoh-tokoh pembaruan dalam dunia Islam. Pemikiran Muhammad Abduh dilatar belakangi oleh kondisi masyarakat pada masanya yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum. Karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang berlandaskan “khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.[1] Disinilah kritik ijtihad Muhammad Abduh dalam khazanah pemikiran Islam.
Sedangkan dalam dunia pendidikan, pemikiran Muhammad Abduh dilatar belakangi dari kesenjangan gender pada masa itu. Pendidikan hanya difokuskan kepada kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan tetap tinggal dalam kebodohan dan penderitaan. Muhammad Abduh berpandangan bahwa penyakit tersebut antara lain berpangkal dari ketidak tahuan umat Islam pada ajaran agama yang sebenarnya, karena mereka mempelajari dengan cara yang tidak tepat. Menurut Abduh, penyakit tersebut dapat diobati dengan cara mendidik mereka dengan sistem pengajaran (tepatnya pembelajaran) yang tepat.
Pada makalah kali ini kami akan membahas empat tema pokok yaitu :
1.    Profil Muhammad Abduh
2.    Ijtihad  dan modernisasi Muhammad Abduh
3.    Usaha pembaruan pendidikan oleh Muhammad Abduh
4.    Ibrah yang dapat kita ambil









PEMBAHASAN

Biografi Muhammad Abduh dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
            Muhammad Abduh lahir pada 1266 H/ 1850 M di Mahallat Nashr, Bukhaira, Mesir. Nama lengkapnya Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah. Ia berasal dari keluarga kebanyakan, tidak kaya ataupun keturunan bangsawan. Ayahnya adalah seorang petani. Ketika saudara-saudaranya dititahkan menggeluti usaha pertanian, Abduh justru ditugaskan untuk terus menuntut ilmu. Mungkin pilihan itu sekadar kebetulan. Namun, bisa jadi hal itu karena ia sangat dicintai orang tuanya.[2] Bapak Muhammad Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibn Al-Khattab. Abduh Hasan Khairullah kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa. Ketika ia menetap di Mahallah Nasr, Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam lingkungan desa di bawah asuhan ibu-bapa yang tak ada hubungannya dengan didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.[3]
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dengan belajar membaca dan menulis di rumah. Ia menghafal al-Qur’an dalam masa dua tahun, di bawah bimbingan seorang guru yang hafal kitab suci. Pada tahun 1279 H/ 1863 M, ia dikirim orang tuanya ke Thantha untuk meluruskan bacaannya (belajar tajwid) di masjid Al-Ahmadi. Setelah berjalan dua tahun, barulah ia mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan di masjid itu. Karena metode pengajaran (thariqat al-ta’lim) yang tidak tepat, setelah satu setengah tahun belajar, Muhammad Abduh belum mengerti apa-apa. Menurut pernyataannya sendiri, guru-guru cenderung mencekoki murid-murid dengan kebiasaan menghafal istilah-istilah tentang nahwu (ilmu gramatika bahasa Arab) atau fiqh yang tidak mengerti arti-artinya. Mereka seakan-akan tidak peduli apakah murid-murid mengerti atau tidak tentang arti istilah-istilah itu. Karena tidak puas, ia meninggalkan Thantha dan kembali ke Mahallat Nasr dengan niat tidak akan kembali lagi belajar, tidak mau membaca buku-buku lagi.[4] Ia pergi bersembunyi di rumah salah satu pamannya, tetapi setelah tiga bulan di sana dipaksa kembali pergi ke Thantha. Karena yakin bahwa belajar itu tak akan membawa hasil baginya, ia pulang ke kampungnya dan berniat akan bekerja sebagai petani.[5]
Dalam usia 20 tahun, yakni pada tahun 1282 H/ 1866 M,[6] ia kawin dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti ayahnya. Tetapi empat puluh hari setelah perkawinannya, ia dipaksa orang tuanya kembali lagi ke Thantha. Dalam perjalan ke Thantha itu, karena panas matahari sangat menyengat, ia lari ke desa Kasinah Urin, tempat tinggal kaum kerabat dari pihak ayahnya. Salah satu dari mereka adalah Syaikh Darwisy Khadr, seorang alim yang banyak mengadakan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu agama Islam. Ia pernah belajar ilmu tarekat kepada Sayid Muhammad al-Madani. Ia juga mempunyai perhatian besar pada bidang tafsir al-Qur’an, dan hafal beberapa kitab penting, seperti kitab al-Muwaththa’ dan kitab-kitab hadis lainnya.
Berkat Darwisy Khadr inilah Muhammad Abduh kembali membaca buku. Darwisy Khadr juga berusaha membantu Muhammad Abduh memahami apa-apa yang dibacanya. Atas bantuan pamannya itu, ia akhirnya mengerti apa yang ia baca. Sejak saat itulah minat bacanya mulai tumbuh, dan ia berusaha membaca buku-buku secara mandiri. Istilah-istilah yang tidak dipahaminya, ia tanyakan kepada Darwisy Khadr. Dengan demikian, dapatlah ditegaskan bahwa sebab utama ia meninggalkan pelajaran pada waktu sebelumnya adalah karena ia tidak mengerti segala pelajaran yang ia terima, bukan disebabkan karena rendahnya minat untuk belajar. Setelah mengalami perubahan mental terhadap pelajaran, berkat bimbingan Darwisy Khadr yang ia terima selama dua minggu, ia pergi lagi ke masjid al-Ahmadi di Thantha untuk menuntut ilmu. Sekarang ia telah mengerti, baik pelajaran yang diberikan oleh guru maupun pelajaran/ buku yang dibacanya sendiri. Karena tampak menonjol, Muhammad Abduh selalu dikerumuni teman-teman sepelajaran dan menjadi tempat mereka bertanya. Suatu ketika ia mendengar dari seorang teman secara tidak langsung, bahwa prestasi keilmuannya akan semakin meningkat apabila ia mau meninggalkan Thantha dan pergi ke Kairo untuk meneruskan pelajaran di Al-Azhar.
Maka pada bulan Syawwal 1282 H, bertepatan dengan bulan Februari 1866 M, Muhammad Abduh pergi ke Al-Azhar. Keadaan Al-Azhar, ketika Muhammad Abduh menjadi mahasiswa di sana masih dalam kondisi terbelakang dan jumud. Pendidikan tinggi di zaman itu memang belum dapat menerima ide-ide pembaruan yang dibawa Tahtawi. Metode yang dipakai di sana sama dengan yang ada di masjid al-Ahmadi di Thantha yakni masih tetap metode menghafal. Kurikulum yang diberikan hanya mencakup ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Mengenai hal ini al-Jabarti menulis bahwa seorang pembesar dari Turki, dalam dialognya dengan rektor dan ulama Al-Azhar, bertanya tentang matematika dan ilmu-ilmu dunia lainnya, yang ternyata tidak dapat mereka jawab dan kemudian mengaku tidak mengetahui ilmu-ilmu itu. Sedangkan di Turki, kata pembesar itu, banyak orang mendengar bahwa Mesir adalah pusat ilmu, tetapi tak dijumpai di Al-Azhar apa-apa yang saya cari. Rektor Al-Azhar menjawab bahwa ilmu-ilmu itu termasuk fardhu kifayah dan diajarkan oleh ulama di luar Al-Azhar. Oleh karena itu, Al-Azhar telah terlepas dari kewajiban mengajarkan ilmu-ilmu demikian.
Bahkan menurut Ahmad Amin, Al-Azhar menganggap segala yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran. Membaca buku-buku geografi, ilmu alam atau filsafat adalah haram. Memakai sepatu adalah bid’ah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari ilmu filsafat, logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang intelektual bernama Syaikh Hasan Tawil. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan Tawil tampaknya kurang memuaskan dirinya. Pelajaran yang diterimanya di Al-Azhar juga kurang menarik perhatiannya. Ia lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya sendiri di perpustakaan Al-Azhar. Kepuasan Muhammad Abduh mempelajari matematika, etika, politik dan filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin al-Afghani (al-Asadabadi) yang datang ke Mesir pada akhir tahun 1286 H/ 1870 M.[7] Bersama-sama dengan teman-temannya, Muhammad Abduh belajar dan berdiskusi dengan tokoh pemimpin pembaruan itu.[8]
Dengan sikap kritis itulah Muhammad Abduh menjalani studi di Al-Azhar, tidak kurang dari sebelas tahun lamanya ia habiskan untuk studi di perguruan tinggi Islam ini. Pada tahun 1293 H/ 1877 M, Muhammad Abduh menempuh ujian untuk mencapai gelar al-‘alim (syahadat al-‘alamiyah). Perstiwa “mihnah” yang dilakukan Syaikh ‘Alaisy rupanya mempunyai pengaruh pada ujian yang ditempuhnya. Sebagian besar dari anggota panitia ujian adalah ulama-ulama yang tidak senang kepadanya dan mereka agaknya sepakat untuk menjatuhkannya. Tetapi, dalam forum ujian ternyata ia memberikan jawaban-jawaban yang luar biasa baiknya. Maka atas campur tangan rektor Al-Azhar Syaikh Muhammad al-‘Abasyi, ia tidak jadi dijatuhkan dan ujiannya dinyatakan lulus dengan predikat baik-seharusnya ia memperoleh predikat amat baik. Bahkan menurut rektor, sekiranya di Al-Azhar ada yudisium cum laude (derajat mumtazah), seharusnya ia memperoleh derajat ujian ilmiah tertinggi itu.
Berakhirlah pendidikan formal Muhammad Abduh dengan memperoleh ijazah ‘Alim dari Al-Azhar. Adapun kegiatan-kegiatannya selain yang menyangkut dunia pendidikan, telah dimulainya semasa ia masih belajar. Dengan ijazah yang diperolehnya, ia memperoleh hak dan wewenang untuk mengajar di Al-Azhar. Selain di Al-Azhar ia juga mengajar di Dar al-‘Ulum dan di rumahnya sendiri. Majelis pelajarannya boleh dikatakan hampir selalu dihadiri banyak mahasiswa. Ilmu-ilmu yang diajarkannya meliputi berbagai bidang yang luas, antara lain logika, teologi, dan filsafat. Di Al-Azhar, dialah orang yang pertama memberikan pelajaran tentang etika, waktu itu, di samping pelajaran khusus mengenai politik (al-siyasah) di Dar al-‘Ulum, ia memegang mata palajaran sejarah dan buku pegangan yang dipakainya adalah Mukaddimah Ibn Khaldun. Dan di rumah ia mengajarkan etika dengan menggunakan buku pegangan Tahdzib al-akhlaq karangan filosof Islam kenamaan Ibn Maskawih, dan sejarah eropa dengan berpegang pada buku karangan F. Guizot dari Prancis.[9]
Pada tahun 1878 M, Abduh diangkat sebagai guru sejarah pada sekolah Dar al-‘Ulum dan ilmu bahasa Arab pada Madrasah al-Idarah wal Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-bahasa). Namun setahun kemudian, 1879 M ia diberhentikan dari pekerjaannya dan diasingkan ke tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir). Peristiwa tersebut pecah bersamaan dengan pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh. Akan tetapi, pada tahun 1880 M, Abduh dibebaskan dari sanksi pengasingannya. Nama baiknya pun direhabilitasi. Bahkan, ia mendapat kehormatan untuk memimpin surat kabar resmi pemerintah, al-Waqaiz’ al-Misriyyah. Pasca-Revolusi Urabi tahun 1882 M yang berakhir dengan kegagalan, Abduh dituduh terlibat dalam kegiatan tersebut. Akhirnya, pemerintah Mesir mengasingkannya selama tiga tahun ke Suriah. Setahun di Suriah, ia menyusul al-Afghani ke Paris. Mereka lalu menerbitkan surat kabar al-‘Urwah al-Wusqa, yang bertujuan mendirikan pan-Islam dan menentang penjajahan Barat, khususnya Inggris.[10]
Pada tanggal 15 Januari 1895, atas usul Muhammad Abduh, dibentuklah Dewan Al-Azhar, yang terdiri dari ulama-ulama besar dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dewan ini diketuai oleh Syaikh Hasan al-Nawawi, sedangkan Muhammad Abduh dan Syaikh Abd Karim Sualiman masuk menjadi anggota dewan sebagai wakil pemerintah Mesir. Muhammad Abduhlah yang menjadi jiwa penggerak dewan itu. Perbaikan yang dilakukannya dalam bidang administrasi adalah penentuan honorarium yang layak bagi ulama Al-Azhar, sehingga mereka tidak tergantung lagi pada usaha masing-masing atau pada pemberian dari mahasiswa mereka. Dan dalam rangka keperluan administrasi, ia bangun gedung tersendiri dan untuk membantu rektor ia angkat pegawai-pegawai yang pada waktu sebelumnya tidak ada. Sebelumnya, rektor memimpin Al-Azhar dari rumahnya, sehingga tempat tinggalnya selalu dikerumuni oleh para ulama dan juga para mahasiswa.
Pada tahun 1899, ia diangkat menjadi mufti Mesir, dan sejalan dengan itu sekaligus ia menjadi anggota dari Dewan Wakaf Tertinggi (al-Majlis al-Awqaf al-A’la). Di dewan ini ia berusaha memperbaikinya dan memperbaiki sejumlah masjid yang ada. Dalam kedudukannya sebagai mufti Mesir, ia mempunyai wewenang dalam menafsirkan hukum-hukum syari’ah untuk seluruh Mesir. Ketentuan hukum syari’ah yang dikeluarkan seorang mufti mempunyai sifat mengikat. Fatwa yang dikeluarkannya bukan hanya untuk keperluan resmi pemerintah Mesir, tetapi juga untuk kepentingan umum atau masyarakat. Seorang ulama yang sanggup dan berani mengadakan ijtihat bebas, fatwanya mencerminkan ketidakterikatannya pada pendapat ulama masa sebelumnya. Di antara fatwanya yang menghebohkan waktu itu adalah fatwa yang dikeluarkannya sehubungan dengan pertanyaan yang datang dari Afrika Selatan. Dalam fatwanya itu ia menghalalkan sembilahan Ahli Kitab, orang Nasrani dan Yahudi, bagi umat Islam.
Di tahun yang sama, ia juga diangkat menjadi anggota dari Majelis Syura, dewan legislatif Mesir. Di dewan ini, sebagai orang yang tak asing lagi dengan dunia politik, ia termasuk orang yang terbilang aktif. Pada mulanya boleh dikatakan tidak terdapat kerjasama antara Majelis Syura dengan pihak pemerintah Mesir. Pihak pemerintah selalu mengabaikan pendapat-pendapat dari pihak Majelis. Atas usaha Muhammad Abduh, kedua lembaga kenegaraan itu akhirnya dapat melihat bahwa tujuan keduanya sama, yaitu kepentingan masyarakat Mesir.[11]





Karya-karyanya
Karya-karya Muhammad Abduh di bidang tafsir terbilang sedikit jika diukur dengan kemampuan beliau. Karya-karya tersebut adalah:
1.      Tafsir Juz ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan guru mengaji di Maroko pada tahun 1321 H.
2.      Tafsir Surah Wal-‘Ashr; karya ini berasal dari kuliah atau pengajian-pengajian yang disampaikannya di hadapan ulama dan pemuka-pemuka masyarakat Aljazair.
3.      Tafsir ayat-ayat surah An-Nisa’: 77 dan 87, Al-Haj: 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab: 37. Karya ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan negatif terhadap Islam dan Nabinya.
4.      Tafsir al-Qur’an bermula dari al-Fatihah sampai dengan ayat 129 dari surah an-Nisa’ yang disampaikannya di Masjid Al-Azhar, Kairo, sejak awal Muharram 1317 H sampai dengan pertengahan Muharram 1323 H. Walaupun penafsiran ayat-ayat tersebut tidak ditulis langsung oleh Syaikh Muhammad Abduh, namun ia dapat dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis kuliah-kuliah tafsir tersebut menunjukkan artikel yang dibuatnya itu kepada Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.[12]
5.      Diantara daftar karya yang dihasilkannya di Beirut (Libanon) adalah Risalah at-Tauhid, Syarh Nahjul Balaghah, ar-Raddu ‘ala ad-Dahriyyin, dan Syarh Maqamat Badi’ az-Zaman al-Hamazani.[13]
6.      Setelah dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin Al-Afghani, terjadilah perubahan yang sangat berarti pada kepribadian Abduh, dan mulailah ia menuis kitab-kitab karangannya seperti Risalah Al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah Al-Jalal Ad-Dawani Lil-Aqa’id Al-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[14]



Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan

IJTIHAD DAN MENOLAK TAKLID
Menurut bahasa ijtihad berasal dari ijtihada yang berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja semaksimal mungkin. Sedangka menurut istilah ijtihad berarti suatu usaha sungguh-sungguh, mempergunakan segala kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat dari suatu masalah yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Sayyid Quthb menggambarkan keadaan masyarakat pada masa Muhammad Abduh ialah suatu masyarakat yang beku, kaku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami syariat Allah atau meng-isthimbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal serta yang berlandaskan kurafat.
Menurut Abduh ijtihad adalah hakikat hidup dan keharusan pergaulan manusia. Karena kehidupan terus berproses dan berkembang maka ijtihad merupakan alat ilmiah dan pandangan yang diperlukan untuk  menghampiri berbagai segi kehidupan yang baru dari segi ajaran Islam, agar kelak kita tidak terisolasi oleh pemikiran ulama tempo dulu.
Ijtihad menurut Abduh, bukan hanya boleh bahkan perlu dilakukan. Namun, menurut ia bukan berati setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-orang tertentu dan memenuhi syarat untuk melakukan ijtihadlah yang boleh melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad dilakukan langsung terhadap al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dari ajaran Islam[15]. Lapangan ijtihad adalah mengenai soal-soal muamalah yang ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum dan jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah bukanlah bagian dari lapangan ijtihad, karena persoalan ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan antara manusia dengan manusia yang tidak menghendaki perubahan menurut zaman[16].
            Kata taqlid (ﺗﻗﻟﻴﺪ ) berasal dari fi’il madhi (kata dasar) ﺗﻗﻟﺪ  dan ﻗﻟﺪ   yang secara lughawi berarti “mengalungkan” atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid mempunyai hubungan rapat dengan kata qaladah ( ﻗﻼﺪﺓ  ), sedangkan qaladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asalnya,   ﻗﻼﺪﺓ (kalung) itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan; dan hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik orang. Kalau yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan” seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat” orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Di antara definisi tentang taqlid tersebut, ialah:
1.      Al-Ghazali memberikan definisi:
ﻗﺑﻮﻞ ﻗﻮﻞ ﺑﻼ ﺣﺟﺔ
                        Menerima ucapan tanpa hujjah.

2.      Dr. Zakiyyuddin Tsa’ban menta’rifkan Taqlid sbb:
ﺍﻟﺗﻗﻟﻴﺪ ﻫﻮﺍﻷﺧﺫ ﺑﻗﻮﻝ ﺍﻠﻐﻴﺮﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺪﻟﻴﻠﻪ
     Taqlid ialah, menerima/mengikuti perkataan orang lain tanpa mengatahui dari mana sumber perkataan itu.
3.      Amir Bad Syah dalam Tafsir At-Tahrir mengartikan taqlid dengan:
ﺍﻟﻌﻣﻝ ﺑﻗﻭﻝ ﺍﻟﻐﻴﺮﻣﻦ ﻏﻴﺮﺣﺟﺔ
          Beramal dengan pendapat orang lain tanpa mengetahui dasar hukumnya.

                        Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi di atas, dapat dirumuskan hakikat taqlid, yaitu:
1.      Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2.      Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3.      Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu[17].
Muhammad Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea perbuatan taqlid , ketiga kriteria tersebut adalah:
a.    Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b.    Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.
c.    Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an, terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya[18].Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Alqur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah[19]. Islam menurut Abduh “harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam[20].
Muhammad Abduh sangat menentang taklid yang dipandangnya sebagai faktor yang melemahkan jiwa umat Islam. Pandangan Abduh tentang perlunya upaya pembongkaran kejumudan yang telah sedemikian lama mengalami pengerakan tersebut akan melahirkan ide tentang perlunya melaksanakan kegiatan ijtihad. Menurut Abduh, taklid akan menghentikan akal pikiran manusia pada batas tertentu, yakni taklid sangat bertentangan dengan akal, taklid bertentangan dengan tabiat kehidupan, dan taklid itu juga bertentangan dengan tabiat dasar-dasar dan ciri Islam[21]. Muhammad Abduh mengikis habis taklid sebagai suatu prinsip, dalam bentuknya yang ada pada saat itu, seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan pengkultusan. Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahan pemikiran, politik, dan ekonomi pada masyarakat Islam.
Bahwasanya keterbelakangan dan kemunduran yang dialami umat Islam disebabkan oleh pandangan dan sikap jumud. Maka untuk membebaskan umat Islam dari taklid, dan kembali kepada ajaran Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan Hadits. Bahkan Abduh mengecam orang yang melakuakan taqlid. Orang yang melakukan taqlid (muqallid), menurut Abduh, memiliki derajat yang lebih rendah dari orang yang diikutinya. Karena muqallid hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa dasar dan rahasia perbuatannya. Hal ini membuat pekerjaan muqallid menjadi tanpa dasar dan tidak karuan.
Muhammad Abduh mengikis habis taklid sebagai suatu prinsip, dalam bentuknya yang ada pada saat itu, seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan pengkultusan. Hal ini merupakan salah satu penyebab terpecahnya umat Islam. Dengan pengkultusan ini umat Islam menjadi fanatik terhadap salah satu mazhab, tidak berani melihat mazhab lain, dan tidak berani mengkritik mazhab yang diikuti. Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahan pemikiran, politik, dan ekonomi pada masyarakat Islam. Dengan demikian umat Islam tidak bisa bersatu dan sulit mencapai satu tujuan.
Pandangan Muhammad Abduh tentang perlunya ijtihad dan pemberantasan taklid, tampaknya didasari atas kepercayaannya yang tinggi terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Sebab akal dapat membedakan antara baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat. Islam adalah agama yang rasional, dan menggunakan akal merupakan salah satu dari dasar-dasar Islam. Kebenaran yang dicapai akal tidak bertentangan dengan kebenaran yang disampaikan oleh wahyu. Menurutnya dalil akal yang meyakinkan bertentangan dengan dalil naql yang tidak meyakinkan. Namun, masih menurut Abduh, ada dua cara yang dapat ditempuh jika ditemukan adanya kontradiksi antara dalil akal dengan dalil naql. Pertama, kita menerima dalil naql itu sebagai dalil yang sah, tetapi kita mengakui bahwa kita tidak mampu untuk memahaminya dan menyerahkan hal yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Kedua, kita menta’wilkan dalil naql itu sesuai dengan tata bahasa sehingga artinya dapat menjadi sesuai dengan yang ditetapkan oleh akal[22].
 Meskipun begitu, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal manusia. Menurutnya, selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab, tanpa wahyu akal tidak mampu membawa manusia untuk mencapai kebahagiaan. Selanjutnya, Abduh berpendapat bahwa masalah-masalah yang berkenaan dengan hakekat Tuhan dan masalah-masalah metafisika, bukan merupakan wilayah sepenuhnya dapat dijangkau akal. Karena itu, penjelajahan akal dalam hal seperti itu perlu dibatasi. Disamping itu, akal juga memiliki keterbatasan dalam mengetahui kegunaan perbuatan-perbuatan tertentu, seperti jumlah raka’at shalat dan amalan-amalan dalam ibadah haji, dan sebagainnya.
Dengan demikian, ijtihad menurut Abduh sangat diperlukan dalam Islam, agar umat tidak terbelenggu oleh taklid dan memberikan kebebasan bagi umatnya untuk berijtihad selagi tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

MODERNISASI[23] PENDIDIKAN
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya.
Dalam kamus ilmiah populer istilah modernisme diartikan sebagai suatu gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan yang baru atau penerapan model-model baru. Jika dikaitkan dengan pendidikan maka modernisme merupakan suatu upaya untuk merubah atau merombak cara pendidikan yang telah ada, diganti dengan yang baru yang dianggap lebih baik dan dapat merubah kondisi pendidikan yang telah ada ke arah yang lebih baik.[24]
            Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern[25].
            Munculnya ide-ide pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar- belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.
            Moderniasasi pendidikan  Muhammad Abduh yang paling urgen terdapat beberapa poin penting yaitu:
1.        Menolak Dikotomi Ilmu Dan Keseimbangan Intelektual Dan Moral
Untuk mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhammad Abduh mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
a.     Rekonstruksi Tujuan Pendidikan Islam
Untuk memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhammad Abduh menetapkan tujuan, pendidikan Islamyang dirumuskan sendiri yakni: “Mendidik jiwa dan akal serta menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat”.
Pendidikan akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk.Dengan menanamkan kebiasaan berpikir.MuhaMmad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya teologisnya yang monumental Muhammad Abduh menselaraskan antara akal dan agama.Beliau berpandangan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan dengan perantara lisan Nabi di utus oleh Tuhan.Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan akal[26].
b.     Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang Integral
Sistem pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhammad Abduh adalah sistem pendidikan fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak, laki-laki maupun perempuan.Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung.disamping itu, semua harus mendapatkan pendidikan agama.
Bagi sekolah dasar, diberikan pelajaran membaca, menulis, berhitung, pelajaran agama, dan sejarah Nabi. Sedangkan bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip penalaran dan tata cara berdebat.
Untuk pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah, maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsip-prinsip fiqh, histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhammad Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhammad Abduh mencoba menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.
Adapun usaha Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
1)        Memasukan ilmu-ilmu modern yang berkembang di Eropa kedalam al-Azhar.
2)        Mengubah sistem pendidikan dari mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan penalaran.
3)        Menghidupkan metode munazaroh (discution) sebelum mengarah ke taqlid.
4)        Membuat peraturan-peraturan tentang pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh (penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk empat tahun pertama.
Dia menawarkan kepada Sekolah Modern agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral. Dengan hanya melahirkan aspek intelektual saja, sekolah modern hanya akan melahirkan output pendidikan yang merosot moralnya.[27] Sedangkan kepada Sekolah Agama, seperti Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai pionirnya, ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu Barat kepada Al-Azhar, di samping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam klasik yang orisinil, seperti Al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun.[28]
Karena pandangan Muhammad Abduh yang sangat mementingkan keseimbangan antara akal dan moral (Islam), maka ia mempunyai niat untuk memajukan segala jenis pengetahuan di kalangan umat Islam. Oleh karena itu, Islam harus mengutamakan pendidikan non-dikotomi tersebut. Sekolah-sekolah modern perlu di buka, dimana ilmu-ilmu pengetahuan modern diajarkan di samping ilmu pengetahuan agama. Dan ke dalam al-Azhar perlu dimasukkan ilmu-ilmu modern, dan dengan demikian dapat mencari pernyelesaian yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul di zaman modern ini.[29] Cita-cita ini dimungkinkan pelaksanaannya, karena kedudukannya sebagai wakil pemerintahan Mesir dalam Dewan pimpinan Al-Azhar.[30]
Muhammad Abduh memusatkan modernisasi pendidikan di Al-Azhar karena baginya modernisasi di Al-Azhar sama halnya dengan membenahi kondisi umat Islam secara keseluruhan, lantaran para mahasiswanya berasal dari seluruh penjuru dunia.[31] Al-Azhar adalah pusat ilmu pengetahuan yang paling utama di Mesir, bahkan di seluruh dunia Islam. Jika sistem pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki, ilmu-ilmu baru bisa masuk, dan bahkan jika Islam dapat diperbaharui dan diperbaiki mulai dari sini, maka Muhammad Abduh berharap angin perubahan akan bertiup ke seluruh Mesir, bahkan ke negeri-negeri Islam yang lain. Bagi Muhammad Abduh, Al-Azhar tidak mungkin dibiarkan seperti semula di zaman modern ini, maka dari itu Al-Azhar perlu diberi jiwa baru, karena jika tidak pasti akan runtuh.[32]
Urgensi pemikiran modernisasi Muhammad Abduh yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, yaitu prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam. Muhammad Abduh berusaha menyeimbangkan antara aspek intelektual dan aspek moral dalam sebuah sistem pendidikan Islam. dengan adanya prinsip keseimbangan dalam sistem pendidikan Islam, Muhammad Abduh yakin bahwa kaum Muslim akan dapat berpacu dengan Barat untuk menemukan ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbanginya dari segi kebudayaan.[33]
Sekiranya hal ini dapat dilakukan, kaum Muslim tidak akan tenggelam lagi dalam dunia kegelapan seperti yang pernah dialami pada abad pertengahan. Kritik dan pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan keseimbangan di atas berdasarkan pada asumsinya bahwa ilmu pengetahuan Barat modern yang menekankan aspek rasionalitas tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang mengandung aspek spiritual. Bagi Muhammad Abduh keduanya tidak bertentangan, bahkan saling mendukung satu sama lain.
Pembaruan dari Muhammad Abduh bisa dicermati melalui pembenahan Al-Azhar. Pembenahan tersebut setidaknya ada lima hal:[34]
a.         Perubahan Kurikulum.
b.         Ujian tahunan dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang lulus.
c.         Penyeleksian buku-buku yang baik dan bermanfaat.
d.        Tempo mata kuliah yang primer lebih panjang daripada mata kuliah sekunder.
e.         Penambahan mata kuliah yang terkait dengan ilmu pengetahuan modern.
Pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh dalam pendidikan terbagi menjadi dua yaitu pendidikan formal dan non formal:
a.         Pendidikan non formal
Dalam pendidikan non formal Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan (islah). Dalam hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:
1)      Menyampaikan kewajiban dan pentinganya belajar
2)      Mendidik mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang belum mereka ketahui
3)      Meniupkan ke dalam jiwa mereka cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.
Muhammad Abduh pun menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang datang dari Barat. Di samping itu Muhammad Abduh menggalakkan ummat Islam mempelajari ilmu-ilmu modern.
b.        Pendidikan Formal
Muhammad Abduh tampaknya menghendaki lenyapnya sistem dualisme dalam pendidikan Mesir. Dia menawarkan kepada sekolah Modern agar memperhatikan aspek agama dan moral, dengan hanya mengandalkan aspek intelek, sekolah modern telah melahirkan output pendidikan yang merosot moralnya. Sedangkan kepada sekolah agama, seperti Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai aplikasinya, ia  
telah memperkenalkan ilmu-ilmu barat kepada Al-Azhar, di                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                        samping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam klasik yang orisinal, seperti Al-Muqaddimah karya ibn Khaldun.[35]
Di samping pendidikan akal, ia juga mementingkan pendidikan spiritual agar lahir generasi yang mampu berpikir dan punya akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Tujuan pendidikan yang demikian ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah:
a.         Kurikulum al-azhar
               Kurikulum perguruan tinggi Al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini, ia memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum Al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat menjadi ulama modern.
b.        Tingkat Sekolah Dasar
               Muhammad Abduh berangapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dimulai semenjak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti semua mata pelajaran.
c.         Tingkat Atas
               Upaya yang dilakukan Muhammad Abduh dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh Perlu untuk memasukkan beberapa materi, khususnya pendidikan agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam.
Selain itu Muhammad Abduh juga menyoroti keadaan dan sistem pendidikan di Al-Azhar dan menatanya kembali pada seluruh struktur kelembagaan yang berlaku di Al-Azhar, mulai dari cara mempelajari suatu ilmu dengan hafalan secara bertahap diubahnya dengan cara memahami dan menganalisis. Bahasa Arab yang selama ini hanya menjadi bahasa baku tanpa pengembangan, oleh Muhammad Abduh dikembangkan dengan jalan menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern pada bahasa Arab, terutama istilah-istilah baru yang muncul, yang mungkin tidak ditemukan dalam kosa kata Arab kuno.[36]
Langkah-langkah yang ditempuhnya dalam bidang administrasi adalah penentuan gaji yang layak bagi para ulama Al-Azhar dan staf pengajar yang ada. Sarana-prasarana yang sebelumnya tidak ada pun diprioritaskan.[37] Muhammad Abduh tidak saja mengadakan perbaikan di Al-Azhar, ia juga memperhatikan sekolah-sekolah pemerintah untuk diberikan pendidikan agama dan sejarah Islam, sebab ia sudah melihat bahaya-bahaya yang akan timbul dari sistem pendidikan yang dualistis, yaitu sistem madrasah yang akan mengeluarkan ulama-ulama tanpa memiliki ilmu umum, dan sekolah-sekolah pemerintah yang akan mengeluarkan ahli-ahli yang tidak mengerti agama.[38]
Dari sinilah letak urgensi pemikiran reformasi Muhammad Abduh yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, yaitu prinsip keseimbangan antara aspek intelektual dan aspek moral. Menurut Muhammad Abduh kaum Muslim diharapkan dapat berpacu dengan Barat untuk menemukan pengetahuan baru dan dapat mengimbanginya dari segi kebudayaan.
Kritik dan pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan keseimbangan tersebut didasarkan atas asumsinya bahwa ilmu pengetahuan Barat modern yang menekankan aspek rasionalitas tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang mengandung aspek spiritual. Menurut Muhammad Abduh keduanya tidak bertentangan, bahkan saling mendukung satu sama lain.[39]
2.        Pendidikan Wanita
Pemikiran Muhammad Abduh yang lain adalah tentang pendidikan wanita. Menurutnya wanita haruslah mendapatkan pendidikan yang sama dengan lelaki. Sesuai dengan firman Allah Q.S. al-Baqarah: 228 dan Q.S. al-Ahzab: 35
“ … Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf…” 
Dan Firman Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang artinya :
“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar “ 
Dalam pandangan Muhammad Abduh ayat tersebut menyejajarkan lelaki dan wanita dalam hal mendapatkan keampunan. Maka dari itu perempuan pun punya hak pendidikan yang sama dengan laki-laki, Muhammad Abduh berpendapat bahwa perempuan harus dilepaskan dari rantai kebodohan, maka dari itu ia perlu diberikan pendidikan.[40]



3.        Metode Terbuka
       Yang dimaksud dengan metode adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik anak. Oleh karena itu, metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode pengajaran. Sesungguhnya, membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam pembahasan materi pelajaran sebab dalam materi pelajaran secara tidak langsung juga membicarakan metode pengajaran.
       Sebagai seorang idealis yang rasionalistis, Muhammad Abduh dalam kegiatan mengajar menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio dalam memahami ajaran Islam dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan al-Hadist[41].
       Prof. Dr. Ramayulis dalam metodologi pengajaran menyebutkan bahwa tidak ada satu metode yang dijamin baik untuk setiap tujuan pengajaran dalam setiap situasi. Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, semua metode pendidikan atau pengajaran menurut Muhammad Abduh yang akan di uraikan di bawah ini tidak menolak dan menafikan adanya metode-metode yang lainnya. Metode yang digunakan, oleh Muhammad Abduh diantaranya sebagai berikut:
a.    Metode Menghafal
        Dalam bidang metode pengajaran Muhammad Abduh menggunakan metode menghafal yang telah dipraktekkan di sekolah sekolah saat itu.Karena metode menghapal ini pulalah Muhammad Abduh frustasi dan membenci belajar saat ia belajar di masjid Ahmadi Thanta. Muhammad Abduh mengkritik metode menghapal bukan berarti membenci metode tersebut, ia tidak setuju dengan metode ini kalau berhenti sampai di situ. Selanjutnya ia mengatakan: "Saya kata Muhammad Abduh, telah mengalami pengajaran seperti ini, belajar setahun setengah tanpa memahami sesuatu dari al-Kafrawi dan Ajrumiyah. Metode pengajaran ilmu nahwu tanpa memahami istilah-istilahnya telah membuatku (Muharnmad Abduh) tidak memahami sesuatu, akhirnya saya benci belajar dan putus asa, tetapi Allah ternyata menghendaki lain, bapak saya memaksaku untuk kembali belajar dan ditengah jalan saya menyimpang [pergi ke Kanisah Urin] ”
          Hendaknya metode menghafal ini hendaknya diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari. Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
b.        Metode Diskusi
        Dari pengalaman belajar Muhammad Abduh dan kritikannya terhadap metode menghapal, dapat diketahui bahwa ia mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta metode yang ia praktekkan dan ia sukai metode diskusi.
        Sewaktu Muhammad Abduh menafsirkan sebuah QS.al-Nisa ayat tiga puluh lima, dalam keterangannya tentang:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Wa bi walidain ihsaanan”
        Disebutkan bahwa metode orang tua dalam mendidik anak di Mesir membuat anak sebagai manusia pasif, sehingga mereka (para orang tua) mendidik anak-anak dengan cara diktator. Kebanyakan orang tua mencetak anak-anak sesuai dengan kehendak mereka.Anak-anak dijadikan berpengetahuan atau berilmu sesuai dengan pengetahuan orang tua, anak-anak marah sesuai dengan marahnya orang tua. Anak-anak berbuat sesuai dengan keinginan orang tua, selanjutnya Muhammad Abduh berpikir dan kemudian bertanya: “Apakah dengan metode pendidikan seperti ini akan menghasilkan umat yang kuat dan adil sehingga mereka bebas dalam berbuat baik dalam bidang politik maupun dalam hukum ?”
        Rumah adalah lembaga yang menciptakan pendidikan kediktatoran yang buruk dan mencetak kader-kader pemimpin yang zhalim dan yang hina.Para orang tua yang mendidik anak secara diktator sesungguhnya mereka yang gila akan kehinaan mereka anggap suatu kenikmatan dan keselamatan. Selanjutnya, Muhammad Abduh mengatakan,
        “Wahai ulama agama dan adab, hendaknya kalian menerangkan kepada umat baik di sekolah-sekolah atau majlis-majlis apa kewajiban orang tua terhadap anak dan apa kewajiban anak terhadap orang tua, dan kewajiban umat terhadap dua kelompok itu.Hendaklah kalian tidak lupa kaidah atau teori kemerdekaan dan kebebasan.Dua kaidah itu adalah landasan dasar berdirinya bangunan Islam.Para sosiolog bagian utara yang berkuasa pada zaman ini (Roma) mengakui bahwa peradaban mereka maju karena mereka berlandaskan dua dasar di atas [kebebasan berpikir dan berbuat].
        Pada penjelasan tersebut di atas, Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan dan pengajaran hendaknya memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode pengajaran yang memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan dan pengajaran adalah metode diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak dipraktekkan oleh Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir. Menghapal dalam proses belajar tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat esensial.Terbukti umat Islam banyak yang hapal al-Qur'an termasuk Muhammad Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh tidak mengharamkan metode menghapal, tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan kritiknya terhadap metode menghapal, sepertinya ia berpendapat bahwa metode menghapal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak mengatakan buruk).
c.   Metode Tanya Jawab
        Manusia berhak membuka jalan bagi penuntut ilmu untuk meneliti dalam berbagai ilmu pengetahuan. Contohnya:ia menerangkan kaidah atau sebuah teori, kemudian ia mencari kecocokannya dalam berbagai aspek pekerjaan. Dalam hal ini metode pengajaran, hendaknya guru mengajarkan kepada anak didik cara untuk mengetahui kesalahan dan cara kembali kepada yang benar. Cara yang demikianlah yang dipraktekkan oleh Muhammad Abduh ketika belajar sehingga ia menjadi seorang seorang ahli. Adapun untuk memperdalam suatu ilmu sangat tergantung pada usaha seorang anak didik setelah seseorang lulus dari suatu lembaga pendidikan, maka ia akan mengamalkan apa-apa yang ia peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk memperdalam pengetahuannya itu, hendaknya ia belajar lebih lanjut.
        Muhammad Qodri Luthfi mengatakan bahwa Muhammad Abduh dalam mengajar menggunakan metode hiwar (tanya-jawab) dan munaqasah [diskusi] tidak hanya ceramah Memang dua metode tanya jawab dan diskusi bisa berdampingan bahkan pada setiap diskusi ada metode tanya jawab, tetapi mutlak dalam metode tanya jawab ada metode diskusi
d.    Metode Darmawisata.    
        Muhammad Abduh dalam pemikirannya sering membuat terobosan dalam pendidikan dan pengajaran.Dalam hal metode darmawisata misalnya menyebutkan bahwa rihlah adalah rukun dalam pendidikan.Ketika ingin mengajarkan kepada anak didik materi "pesawat" hendaknya mereka dibawa langsung ke bandara.Ketika ingin mengajarkan "kapal" hendaknya anak didik dibawa ke pelabuhan. Mereka sulit memahami sesuatu yang abstrak,
        Kalau dilihat contoh metode darmawisata tersebut di atas, dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat memahami materi kepada anak didik.Selain itu, metode darmawisata salah satu indikasi bahwa belajar tidak hanya di kelas.Metode pengajaran seperti disebutkan di atas sangat lebih tepat digunakan pada sekolah dasar dimana kemampuan berpikir abstrak anak didik belum matang.
e.   Metode Demontrasi
        Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu praktis (fi'liyah) hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya dengan caraberceramah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu fi'liyah harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di depan kelas maupun di masjid. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan: Hendaknya guru mengadakan praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar, tetapi dalam waktu yang cukup lama, sehingga para calon guru tersebut telah siap ilmu dan mentalnya untuk mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana.
f.   Metode Latihan
        Untuk mengintegrasikan antara pendidikan akal dan jiwa, guru di sekolah harus menyuruh anak didik untuk melakukan shalat lima waktu. Bagi sekolah yang memiliki anak didik beragama non Islam seperti Kristen, maka guru hendaknya tidak menyuruh mereka untuk melaksanakan shalat, namun meskipun anak didik yang non Islam tidak melaksanakan shalat, tetapi nilai-nilai spiritual tersebut tidak boleh hilang dari mereka.
        Dari penjelasan tentang pembiasaan ibadah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh sangat demokratis dan menghormati kebebasan beragama.Tetapi nilai-nilai akal [intelektual] dan jiwa [spiritual] bersifat universal, sehingga berlaku pada seluruh negara, suku, bangsa, agama, dan sebagainya.
g.    Metode Teladan
        Pendidik harus dapat mendidik anak didik untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama manusia.Dalam mengajarkan pesan kasih sayang itu, guru dapat memberi tauladan kepada anak didik.Tauladan yang baik jauh lebih berpengaruh kepada jiwa anak didik dari pada sekedar teori. Selain aspek tauladan, guru juga harus memperhatikan dan memilih gaya bahasa yang serasi untuk menyampaikan pesan sifat kasih sayang itu. Gaya bahasa yang digunakan guru juga harus memperhatikan aspek efektivitas dan efesiensi.
        Dari penjelasan tersebut di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa pengajaran yang bertujuan untuk membina akhlak, hendaknya guru menggunakan bahasa yang baik mudah dipahami, jelas, dan tegas, disampaikan dengan uslub atau tata cara yang baik.
     Dari beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam.Usaha Muhammad Abduh kurang begitu lancar disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada tradisi lama teguh dalam mempertahankanya[42].
Ibrah yang dapat kita ambil
1.    Dari kepribadian Muhammad Abduh diantaranya:
a.    Muhammad Abduh dikenal sebagai orang yang berpegang teguh pada kejujuran dan keberanian yang ia yakini.
b.    Di samping kejujuran dan keberaniannya, Muhammad Abduh juga merupakan orang yang memiliki semangat dalam menempuh kehidupan, terutama dalam studi dan pelaksanaan ibadatnya kepada Tuhan.
c.    Muhammad Abduh juga diketahui sebagai seorang yang memiliki rasa tanggungjawab yang besar.
d.   Bebarengan dengan penampilan hidupnya yang memiliki rasa tanggungjawab tersebut, tokoh pembaruan ini tampaknya juga pandai bergaul.
e.    Ia merupakan seorang tokoh yang bernaluri suka berbicara (talk active), pandai dan kreatif dalam berbicara.
f.     Sebagai orang yang berprestasi, baik dalam studi maupun dalam kehidupan masyarakat, Muhammad Abduh ternyata tidak hanya pandai, dalam arti luas ilmunya, tetapi juga cerdas.
g.    Hal positif lain yang beliau miliki ialah sifat murah hati (al-jud, al-sakha’). Dalam kata lain, beliau termasuk dermawan, dan terpercaya.
h.    Beliau lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya sendiri di perpustakaan, dan selalu membuka cakrawala pemikirannya secara luas.
2.    Rekonstruksi Terhadap Pendidikan Anak Usia Dini
   Mengacu pada pembaruan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh di atas, khususnya      dalam dunia pendidikan, banyak hal yang bisa kita terapkan dalam pendidikan anak         usia dini. Di antaranya:
a.         Mengajarkan ketauhidan yang benar kepada anak-anak
Sudah menjadi tugas seorang guru untuk mengenalkan peserta didik kepada Allah swt sedini mungkin. Yang mana ketauhidan merupakan benteng utama seorang anak dalam menghadapi kehidupan ini. Hal ini banyak dicontohkan di dalam al-Qur’an, bagaimana Luqman memerintahkan dan mengajarkan kepada putra kesayangannya untuk tidak menyekutukan Allah swt. Tentu saja yang demikian ini merupakan langkah awal untuk mengenalkan anak-anak kepada Tuhan-nya (Allah).

Ketauhidan harus diajarkan dengan benar sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Jangan sampai pengajaran dilakukan tanpa ada dasar, apalagi sampai menyimpang dari sumber ajaran Islam. Dan sebisa mungkin ketauhidan tersebut diajarkan sesuai dengan perkembangan anak.
Untuk metode pengajaran mengenalkan ketauhidan kepada anak, dapat dilakukan dengan berbagai metode yang menyenangkan untuk anak, seperti bernyanyi, bercerita, atau yang lainnya. Intinya apa yang disampaikan kepada anak dapat terserap dengan baik dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
b.         Mengajarkan ilmu-ilmu umum, selain ilmu agama
Yang kedua yang dapat diambil dari pemikiran Muhammad Abduh ialah menyeimbangkan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dalam hal ini sekolah maupun guru harus dapat memberikan materi pembelajaran yang menyeluruh. Artinya selain dibekali dengan ilmu-ilmu agama atau ibadah, peserta didik juga harus dibekali dengan ilmu-ilmu umum. Sebab kedua ilmu tersebut sama-sama pentingnya untuk kehidupan ini. Bila antara ilmu agama dengan ilmu umum berjalan dengan seimbang, niscaya peserta didik pun akan dapat menghadapai masa depannya dengan lebih cerah.[43]



KESIMPULAN
Muhammad Abduh adalah seorang pelopor reformasi dan pembaruan dalam pemikiran Islam. Dapat disimpulkan bahwa pembaruan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, paling tidak difokuskan dalam dua hal, yaitu:  Ijtihad; menjauhkan manusia dari perbuatan taqlid buta dan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya, supaya manusia terlepas dari kejumudan dan keterpurukan. Pendidikan; memberikan porsi yang seimbang antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu keagamaan. Keduanya merupakan ilmu-ilmu penting yang menjadi bekal dalam menjalani kehidupan ini.
Harapannya pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh dapat memperikan pengaruh positif terhadap pendidikan di Indonesia, contohnya pendidikan anak usia dini. Muhammad Abduh merupakan seorang pembaharu yang penuh dengan kegigihan dalam melakukan pembaruan, meskipun hasil itu dilakukan dengan penuh rintangan dan tantangan terutama situasi dan kondisi sosial yang kolot dan enggan menerima perubahan di satu sisi, dan kondisi polotik yang tidak menentu di sisi yang lain. Namun hal itu tidak pernah menyurutkan niat beliau untuk melakuakan upaya pembaruan dalam segala bidang termasuk pendidikan.
Pemikiran dibidang pendidikan dan pengajaran umum salah satunya adalah; Perlawanan terhadap taqlid dan kemadzhaban, dan  perlawanan terhadap buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis, Reformasi al-Ahzar yang merupakan jantung umat Islam,  Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualisme Islam yang ada dalam sejarah umatnya. Dan mengikuti pendapat-pendapat yang baenar disesuaikan dengan kondisi yang ada
Khusus pembaruannya dalam bidang pendidikan, Muhammad Abduh adalah seorang pencetus ide-ide pendidikan yang bercorak idealis. Hal ini dapat terlihat dalam upayanya menyeimbangkan dan menyelaraskan pendidikan keagamaan dan sains (umum) baik di sekolah-sekolah tradisional maupun modern. Di samping upaya pemberdayaan pendidikan islam yang menekankan pada keseimbangan antara dua aspek, yaitu kognitif dan afektif.

DAFTAR PUSTAKA

M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994)
Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008)
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975)
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006),
Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet. I,
Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Grasindo, 2003),
Arbiyah Lubis . Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan. Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Charles C. Adams, Islam dan Dunia Modern di Mesir, trj. Ismail Djamil (Jakarta: Dian Rakat, 1978), hlm. 67.
Muktafi Fahal, Achmad Amir Azis, Teologi Islam Modern (Surabaya: Gramedia Press, 1991),
Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998),
Samsul nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencan, 2011).




[1] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 17.
[2] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 139.
[3] Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 58-59.
[4] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 22.
[5] Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam........., hlm. 59.
[6] Bahkan ada yang menginformasikan, di tahun 1865, pada usia 16 tahun Muhammad Abduh kawin, lihat Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 59.
[7] Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M) adalah tokoh pembaruan Islam abad ke-19. Selama 30 tahun terakhir, ia hidup di pengasingan, antara lain di Mesir (1871-1897 M), lalu ke India dan Prancis. Ia juga pernah ke Inggris, Rusia, dan Persia. Ia meninggal di Istambul. Afghani mengembangkan wawasannya yang positif terhadap filsafat, karena ia tumbuh dari kalangan Syi’ah. Kaum ini diketahui memiliki kebebasan berpikir yang lebih besar daripada kaum Sunni, dan berpandangan lebih positif kepada filsafat serta pemikiran rasional. Lihat, Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 310. Selanjutnya disebut, Islam Kemodernan.
[8] Menurut keterangan Muhammad Salam Madkur, para peserta diskusi, waktu itu terdiri dari orang-orang terkemuka dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, sebagian mahasiswa Al-Azhar serta perguruan-perguruan tinggi yang lain, dan juga pegawai-pegawai pemerintah. Lihat bukunya al-Hakim al-Sair Jamaluddin al-Afghani (Kairo: t. P., 1962), hlm. 54.
[9] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh........., hlm. 22-27.
[10] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an........., hlm 141-142.
[11] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh........., hlm. 34-36.
[12] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 20-21.
[13] Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an........., hlm 142.
[14] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar........., hlm. 14.
[15] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. I, hal 64
[18] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hal. 258
[19] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),hal. 19
[20] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),hal. 20
[21] Muhammad al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet. I, hal 91
[22] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Grasindo, 2003), hal 24
[23] Modernisasi merupakan proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang rasional. Nur Cholis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1989), hal. 172
[25] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hal. 258
[26] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abdu.......Hal. 152-156.
[27] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas......... hlm. 70.
[28] Ibid, hlm. 77-78.
[29] Charles C. Adams, Islam dan Dunia Modern di Mesir, trj. Ismail Djamil (Jakarta: Dian Rakat, 1978), hlm. 67.
[30] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 117.
[31] Muktafi Fahal, Achmad Amir Azis, Teologi Islam Modern (Surabaya: Gramedia Press, 1991), hlm. 21.
[32] Charles C. Adams, Islam dan Dunia........., hlm.70.
[33] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah.........,hlm. 156.
[34] Muktafi Fahal, Achmad Amir Azis, Teologi Islam.........,hlm. 21.
[35] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam........., hlm. 277.
 [36] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 54.
[37] Muktafi Fahal, Achmad Amir Azis, Teologi Islam.........,hlm. 21.
[38] Harun Nasution, Pembaruan Dalam........., hlm. 66.
[39] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: ArRuzz, 2006) hlm. 278.
[40] Samsul nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencan, 2011). hlm. 249-251.
[42] Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam.....Hal. 102-104.