Pemikiran Muhammad
Abduh
Ijtihad dan Modernisasi
Pendidikan Islam
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas ujian akhir mata kuliah
(SEJARAH
PEMIKIRAN DAN PERADABAN ISLAM KLASIK, TENGAH, DAN MODERN)
Dosen
Pengampu: Dr. Karwadi, M.Ag.
Oleh:
Barit Fatkur Rosadi
|
NIM:
1220411127
|
Qiyadah Rabbaniyah
|
NIM:
1220411206
|
Robiah Saidah
|
NIM:
1220411162
|
PROGRAM
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI
MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
PENDAHULUAN
Muhammad Abduh
merupakan salah satu diantara tokoh-tokoh pembaruan dalam dunia Islam.
Pemikiran Muhammad Abduh dilatar belakangi oleh kondisi masyarakat pada masanya
yang beku, kaku, menutup rapat pintu ijtihad, mengabaikan
peranan akal dalam memahami syari’at Allah atau mengistinbatkan hukum-hukum.
Karena mereka telah merasa berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu
mereka yang juga hidup dalam masa kebekuan akal (jumud) serta yang
berlandaskan “khurofat”. Sementara itu di Eropa hidup suatu masyarakat
yang mendewakan akal, khususnya setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat
mengagumkan ketika itu.[1] Disinilah kritik ijtihad Muhammad Abduh dalam
khazanah pemikiran Islam.
Sedangkan dalam
dunia pendidikan, pemikiran Muhammad Abduh dilatar belakangi dari kesenjangan
gender pada masa itu. Pendidikan hanya difokuskan kepada kaum laki-laki, sedangkan kaum
perempuan tetap tinggal dalam kebodohan dan penderitaan. Muhammad Abduh
berpandangan bahwa penyakit tersebut antara lain berpangkal dari ketidak tahuan
umat Islam pada ajaran agama yang sebenarnya, karena mereka mempelajari dengan
cara yang tidak tepat. Menurut Abduh, penyakit tersebut dapat diobati dengan
cara mendidik mereka dengan sistem pengajaran (tepatnya pembelajaran) yang
tepat.
Pada makalah
kali ini kami akan membahas empat tema pokok yaitu :
1.
Profil Muhammad Abduh
2.
Ijtihad dan modernisasi Muhammad
Abduh
3.
Usaha pembaruan
pendidikan oleh Muhammad Abduh
4.
Ibrah yang dapat
kita ambil
PEMBAHASAN
Biografi
Muhammad Abduh dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Muhammad
Abduh lahir pada 1266 H/ 1850 M di Mahallat Nashr, Bukhaira, Mesir. Nama
lengkapnya Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah. Ia berasal dari keluarga
kebanyakan, tidak kaya ataupun keturunan bangsawan. Ayahnya adalah seorang
petani. Ketika saudara-saudaranya dititahkan menggeluti usaha pertanian, Abduh
justru ditugaskan untuk terus menuntut ilmu. Mungkin pilihan itu sekadar
kebetulan. Namun, bisa jadi hal itu karena ia sangat dicintai orang tuanya.[2]
Bapak
Muhammad Abduh Hasan Khairullah, berasal dari Turki yang telah lama tinggal di
Mesir. Ibunya menurut riwayat berasal dari bangsa Arab yang silsilahnya
meningkat sampai ke suku bangsa Umar Ibn Al-Khattab. Abduh Hasan Khairullah
kawin dengan ibu Muhammad Abduh sewaktu merantau dari desa ke desa. Ketika ia
menetap di Mahallah Nasr, Muhammad Abduh lahir dan menjadi dewasa dalam
lingkungan desa di bawah asuhan ibu-bapa yang tak ada hubungannya dengan
didikan sekolah, tetapi mempunyai jiwa keagamaan yang teguh.[3]
Pendidikan Muhammad Abduh dimulai dengan
belajar membaca dan menulis di rumah. Ia menghafal al-Qur’an dalam masa dua
tahun, di bawah bimbingan seorang guru yang hafal kitab suci. Pada tahun 1279
H/ 1863 M, ia dikirim orang tuanya ke Thantha untuk meluruskan bacaannya
(belajar tajwid) di masjid Al-Ahmadi. Setelah berjalan dua tahun, barulah ia
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan di masjid itu. Karena metode
pengajaran (thariqat al-ta’lim) yang tidak tepat, setelah satu setengah
tahun belajar, Muhammad Abduh belum mengerti apa-apa. Menurut pernyataannya
sendiri, guru-guru cenderung mencekoki murid-murid dengan kebiasaan menghafal
istilah-istilah tentang nahwu (ilmu gramatika bahasa Arab) atau fiqh
yang tidak mengerti arti-artinya. Mereka seakan-akan tidak peduli apakah
murid-murid mengerti atau tidak tentang arti istilah-istilah itu. Karena tidak
puas, ia meninggalkan Thantha dan kembali ke Mahallat Nasr dengan niat tidak
akan kembali lagi belajar, tidak mau membaca buku-buku lagi.[4]
Ia pergi bersembunyi di rumah salah satu pamannya, tetapi setelah tiga bulan di
sana dipaksa kembali pergi ke Thantha. Karena yakin bahwa belajar itu tak akan
membawa hasil baginya, ia pulang ke kampungnya dan berniat akan bekerja sebagai
petani.[5]
Dalam usia 20 tahun, yakni pada tahun
1282 H/ 1866 M,[6]
ia kawin dengan modal niat mau menggarap ladang pertanian seperti ayahnya.
Tetapi empat puluh hari setelah perkawinannya, ia dipaksa orang tuanya kembali
lagi ke Thantha. Dalam perjalan ke Thantha itu, karena panas matahari sangat
menyengat, ia lari ke desa Kasinah Urin, tempat tinggal kaum kerabat dari pihak
ayahnya. Salah satu dari mereka adalah Syaikh Darwisy Khadr, seorang alim yang
banyak mengadakan perjalanan ke luar Mesir, belajar berbagai macam ilmu agama
Islam. Ia pernah belajar ilmu tarekat kepada Sayid Muhammad al-Madani. Ia juga
mempunyai perhatian besar pada bidang tafsir al-Qur’an, dan hafal beberapa
kitab penting, seperti kitab al-Muwaththa’ dan kitab-kitab hadis
lainnya.
Berkat Darwisy Khadr inilah Muhammad
Abduh kembali membaca buku. Darwisy Khadr juga berusaha membantu Muhammad Abduh
memahami apa-apa yang dibacanya. Atas bantuan pamannya itu, ia akhirnya
mengerti apa yang ia baca. Sejak saat itulah minat bacanya mulai tumbuh, dan ia
berusaha membaca buku-buku secara mandiri. Istilah-istilah yang tidak
dipahaminya, ia tanyakan kepada Darwisy Khadr. Dengan demikian, dapatlah
ditegaskan bahwa sebab utama ia meninggalkan pelajaran pada waktu sebelumnya
adalah karena ia tidak mengerti segala pelajaran yang ia terima, bukan
disebabkan karena rendahnya minat untuk belajar. Setelah mengalami perubahan
mental terhadap pelajaran, berkat bimbingan Darwisy Khadr yang ia terima selama
dua minggu, ia pergi lagi ke masjid al-Ahmadi di Thantha untuk menuntut ilmu.
Sekarang ia telah mengerti, baik pelajaran yang diberikan oleh guru maupun
pelajaran/ buku yang dibacanya sendiri. Karena tampak menonjol, Muhammad Abduh
selalu dikerumuni teman-teman sepelajaran dan menjadi tempat mereka bertanya.
Suatu ketika ia mendengar dari seorang teman secara tidak langsung, bahwa
prestasi keilmuannya akan semakin meningkat apabila ia mau meninggalkan Thantha
dan pergi ke Kairo untuk meneruskan pelajaran di Al-Azhar.
Maka pada bulan Syawwal 1282 H,
bertepatan dengan bulan Februari 1866 M, Muhammad Abduh pergi ke Al-Azhar.
Keadaan Al-Azhar, ketika Muhammad Abduh menjadi mahasiswa di sana masih dalam
kondisi terbelakang dan jumud. Pendidikan tinggi di zaman itu memang belum
dapat menerima ide-ide pembaruan yang dibawa Tahtawi. Metode yang dipakai di
sana sama dengan yang ada di masjid al-Ahmadi di Thantha yakni masih tetap
metode menghafal. Kurikulum yang diberikan hanya mencakup ilmu agama Islam dan
bahasa Arab. Mengenai hal ini al-Jabarti menulis bahwa seorang pembesar dari
Turki, dalam dialognya dengan rektor dan ulama Al-Azhar, bertanya tentang
matematika dan ilmu-ilmu dunia lainnya, yang ternyata tidak dapat mereka jawab
dan kemudian mengaku tidak mengetahui ilmu-ilmu itu. Sedangkan di Turki, kata
pembesar itu, banyak orang mendengar bahwa Mesir adalah pusat ilmu, tetapi tak
dijumpai di Al-Azhar apa-apa yang saya cari. Rektor Al-Azhar menjawab bahwa
ilmu-ilmu itu termasuk fardhu kifayah dan diajarkan oleh ulama di luar
Al-Azhar. Oleh karena itu, Al-Azhar telah terlepas dari kewajiban mengajarkan
ilmu-ilmu demikian.
Bahkan menurut Ahmad Amin, Al-Azhar
menganggap segala yang berlawanan dengan kebiasaan sebagai kekafiran. Membaca
buku-buku geografi, ilmu alam atau filsafat adalah haram. Memakai sepatu adalah
bid’ah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Muhammad Abduh mempelajari
ilmu filsafat, logika, ilmu ukur, soal-soal dunia dan politik dari seorang
intelektual bernama Syaikh Hasan Tawil. Tetapi pelajaran yang diberikan Hasan
Tawil tampaknya kurang memuaskan dirinya. Pelajaran yang diterimanya di
Al-Azhar juga kurang menarik perhatiannya. Ia lebih suka membaca buku-buku yang
dipilihnya sendiri di perpustakaan Al-Azhar. Kepuasan Muhammad Abduh
mempelajari matematika, etika, politik dan filsafat, ia peroleh dari Jamaluddin
al-Afghani (al-Asadabadi) yang datang ke Mesir pada akhir tahun 1286 H/ 1870 M.[7]
Bersama-sama dengan teman-temannya, Muhammad Abduh belajar dan berdiskusi
dengan tokoh pemimpin pembaruan itu.[8]
Dengan sikap kritis itulah Muhammad
Abduh menjalani studi di Al-Azhar, tidak kurang dari sebelas tahun lamanya ia habiskan
untuk studi di perguruan tinggi Islam ini. Pada tahun 1293 H/ 1877 M, Muhammad
Abduh menempuh ujian untuk mencapai gelar al-‘alim (syahadat
al-‘alamiyah). Perstiwa “mihnah” yang dilakukan Syaikh ‘Alaisy
rupanya mempunyai pengaruh pada ujian yang ditempuhnya. Sebagian besar dari
anggota panitia ujian adalah ulama-ulama yang tidak senang kepadanya dan mereka
agaknya sepakat untuk menjatuhkannya. Tetapi, dalam forum ujian ternyata ia
memberikan jawaban-jawaban yang luar biasa baiknya. Maka atas campur tangan
rektor Al-Azhar Syaikh Muhammad al-‘Abasyi, ia tidak jadi dijatuhkan dan
ujiannya dinyatakan lulus dengan predikat baik-seharusnya ia memperoleh
predikat amat baik. Bahkan menurut rektor, sekiranya di Al-Azhar ada yudisium cum
laude (derajat mumtazah), seharusnya ia memperoleh derajat ujian
ilmiah tertinggi itu.
Berakhirlah pendidikan formal Muhammad
Abduh dengan memperoleh ijazah ‘Alim dari Al-Azhar. Adapun kegiatan-kegiatannya
selain yang menyangkut dunia pendidikan, telah dimulainya semasa ia masih
belajar. Dengan ijazah yang diperolehnya, ia memperoleh hak dan wewenang untuk
mengajar di Al-Azhar. Selain di Al-Azhar ia juga mengajar di Dar al-‘Ulum dan
di rumahnya sendiri. Majelis pelajarannya boleh dikatakan hampir selalu
dihadiri banyak mahasiswa. Ilmu-ilmu yang diajarkannya meliputi berbagai bidang
yang luas, antara lain logika, teologi, dan filsafat. Di Al-Azhar, dialah orang
yang pertama memberikan pelajaran tentang etika, waktu itu, di samping
pelajaran khusus mengenai politik (al-siyasah) di Dar al-‘Ulum, ia
memegang mata palajaran sejarah dan buku pegangan yang dipakainya adalah Mukaddimah
Ibn Khaldun. Dan di rumah ia mengajarkan etika dengan menggunakan buku pegangan
Tahdzib al-akhlaq karangan filosof Islam kenamaan Ibn Maskawih, dan
sejarah eropa dengan berpegang pada buku karangan F. Guizot dari Prancis.[9]
Pada tahun 1878 M, Abduh diangkat
sebagai guru sejarah pada sekolah Dar al-‘Ulum dan ilmu bahasa Arab pada
Madrasah al-Idarah wal Alsun (Sekolah Administrasi dan Bahasa-bahasa). Namun
setahun kemudian, 1879 M ia diberhentikan dari pekerjaannya dan diasingkan ke
tempat kelahirannya, Mahallat Nashr (Mesir). Peristiwa tersebut pecah bersamaan
dengan pengusiran terhadap Jamaluddin al-Afghani oleh pemerintah Mesir atas
hasutan Inggris yang ketika itu sangat berpengaruh. Akan tetapi, pada tahun
1880 M, Abduh dibebaskan dari sanksi pengasingannya. Nama baiknya pun
direhabilitasi. Bahkan, ia mendapat kehormatan untuk memimpin surat kabar resmi
pemerintah, al-Waqaiz’ al-Misriyyah. Pasca-Revolusi Urabi tahun 1882 M
yang berakhir dengan kegagalan, Abduh dituduh terlibat dalam kegiatan tersebut.
Akhirnya, pemerintah Mesir mengasingkannya selama tiga tahun ke Suriah. Setahun
di Suriah, ia menyusul al-Afghani ke Paris. Mereka lalu menerbitkan surat kabar
al-‘Urwah al-Wusqa, yang bertujuan mendirikan pan-Islam dan menentang
penjajahan Barat, khususnya Inggris.[10]
Pada tanggal 15 Januari 1895, atas usul
Muhammad Abduh, dibentuklah Dewan Al-Azhar, yang terdiri dari ulama-ulama besar
dari mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dewan ini diketuai oleh
Syaikh Hasan al-Nawawi, sedangkan Muhammad Abduh dan Syaikh Abd Karim Sualiman
masuk menjadi anggota dewan sebagai wakil pemerintah Mesir. Muhammad Abduhlah
yang menjadi jiwa penggerak dewan itu. Perbaikan yang dilakukannya dalam bidang
administrasi adalah penentuan honorarium yang layak bagi ulama Al-Azhar,
sehingga mereka tidak tergantung lagi pada usaha masing-masing atau pada
pemberian dari mahasiswa mereka. Dan dalam rangka keperluan administrasi, ia
bangun gedung tersendiri dan untuk membantu rektor ia angkat pegawai-pegawai
yang pada waktu sebelumnya tidak ada. Sebelumnya, rektor memimpin Al-Azhar dari
rumahnya, sehingga tempat tinggalnya selalu dikerumuni oleh para ulama dan juga
para mahasiswa.
Pada tahun 1899, ia diangkat menjadi
mufti Mesir, dan sejalan dengan itu sekaligus ia menjadi anggota dari Dewan
Wakaf Tertinggi (al-Majlis al-Awqaf al-A’la). Di dewan ini ia berusaha
memperbaikinya dan memperbaiki sejumlah masjid yang ada. Dalam kedudukannya
sebagai mufti Mesir, ia mempunyai wewenang dalam menafsirkan hukum-hukum
syari’ah untuk seluruh Mesir. Ketentuan hukum syari’ah yang dikeluarkan seorang
mufti mempunyai sifat mengikat. Fatwa yang dikeluarkannya bukan hanya untuk
keperluan resmi pemerintah Mesir, tetapi juga untuk kepentingan umum atau
masyarakat. Seorang ulama yang sanggup dan berani mengadakan ijtihat bebas,
fatwanya mencerminkan ketidakterikatannya pada pendapat ulama masa sebelumnya.
Di antara fatwanya yang menghebohkan waktu itu adalah fatwa yang dikeluarkannya
sehubungan dengan pertanyaan yang datang dari Afrika Selatan. Dalam fatwanya
itu ia menghalalkan sembilahan Ahli Kitab, orang Nasrani dan Yahudi, bagi umat
Islam.
Di tahun yang sama, ia juga diangkat
menjadi anggota dari Majelis Syura, dewan legislatif Mesir. Di dewan ini,
sebagai orang yang tak asing lagi dengan dunia politik, ia termasuk orang yang
terbilang aktif. Pada mulanya boleh dikatakan tidak terdapat kerjasama antara
Majelis Syura dengan pihak pemerintah Mesir. Pihak pemerintah selalu
mengabaikan pendapat-pendapat dari pihak Majelis. Atas usaha Muhammad Abduh,
kedua lembaga kenegaraan itu akhirnya dapat melihat bahwa tujuan keduanya sama,
yaitu kepentingan masyarakat Mesir.[11]
Karya-karyanya
Karya-karya Muhammad Abduh di bidang
tafsir terbilang sedikit jika diukur dengan kemampuan beliau. Karya-karya
tersebut adalah:
1. Tafsir
Juz ‘Amma, yang dikarangnya untuk menjadi pegangan guru mengaji di Maroko pada
tahun 1321 H.
2. Tafsir
Surah Wal-‘Ashr; karya ini berasal dari kuliah atau pengajian-pengajian yang
disampaikannya di hadapan ulama dan pemuka-pemuka masyarakat Aljazair.
3. Tafsir
ayat-ayat surah An-Nisa’: 77 dan 87, Al-Haj: 52, 53, dan 54, dan Al-Ahzab: 37.
Karya ini dimaksudkan untuk membantah tanggapan-tanggapan negatif terhadap Islam
dan Nabinya.
4. Tafsir
al-Qur’an bermula dari al-Fatihah sampai dengan ayat 129 dari surah an-Nisa’
yang disampaikannya di Masjid Al-Azhar, Kairo, sejak awal Muharram 1317 H
sampai dengan pertengahan Muharram 1323 H. Walaupun penafsiran ayat-ayat
tersebut tidak ditulis langsung oleh Syaikh Muhammad Abduh, namun ia dapat
dikatakan sebagai hasil karyanya, karena muridnya (Rasyid Ridha) yang menulis
kuliah-kuliah tafsir tersebut menunjukkan artikel yang dibuatnya itu kepada
Abduh yang terkadang memperbaikinya dengan penambahan dan pengurangan satu atau
beberapa kalimat, sebelum disebarluaskan dalam majalah Al-Manar.[12]
5. Diantara
daftar karya yang dihasilkannya di Beirut (Libanon) adalah Risalah
at-Tauhid, Syarh Nahjul Balaghah, ar-Raddu ‘ala ad-Dahriyyin, dan Syarh Maqamat
Badi’ az-Zaman al-Hamazani.[13]
6. Setelah
dua tahun sejak pertemuannya dengan Jamaluddin Al-Afghani, terjadilah perubahan
yang sangat berarti pada kepribadian Abduh, dan mulailah ia menuis kitab-kitab
karangannya seperti Risalah Al-‘Aridat (1873), disusul kemudian dengan Hasyiah-Syarah
Al-Jalal Ad-Dawani Lil-Aqa’id Al-Adhudhiyah (1875). Dalam karangannya ini,
Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam
tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta
mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[14]
Pemikiran Muhammad Abduh Tentang Ijtihad dan Modernisasi Pendidikan
IJTIHAD
DAN MENOLAK TAKLID
Menurut bahasa
ijtihad berasal dari ijtihada yang berarti bersungguh-sungguh, mencurahkan
tenaga, menggunakan pikiran, dan bekerja semaksimal mungkin. Sedangka menurut
istilah ijtihad berarti suatu usaha sungguh-sungguh, mempergunakan segala
kesanggupan daya rohaniah untuk mendapatkan hukum syara’ atau menyusun pendapat
dari suatu masalah yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Sayyid Quthb menggambarkan keadaan
masyarakat pada masa Muhammad Abduh ialah suatu masyarakat yang beku, kaku,
menutup rapat-rapat pintu ijtihad, mengabaikan peranan akal dalam memahami
syariat Allah atau meng-isthimbat-kan hukum-hukum, karena mereka telah merasa
berkecukupan dengan hasil karya para pendahulu mereka yang juga hidup dalam
masa kebekuan akal serta yang berlandaskan kurafat.
Menurut Abduh ijtihad adalah hakikat hidup dan keharusan pergaulan manusia.
Karena kehidupan terus berproses dan berkembang maka ijtihad merupakan alat
ilmiah dan pandangan yang diperlukan untuk
menghampiri berbagai segi kehidupan yang baru dari segi ajaran Islam,
agar kelak kita tidak terisolasi oleh pemikiran ulama tempo dulu.
Ijtihad menurut
Abduh, bukan hanya boleh bahkan perlu dilakukan. Namun, menurut ia bukan berati
setiap orang boleh berijtihad. Hanya orang-orang tertentu dan memenuhi syarat
untuk melakukan ijtihadlah yang boleh melakukan ijtihad tersebut. Ijtihad
dilakukan langsung terhadap al-Qur’an dan hadits sebagai sumber dari ajaran
Islam[15]. Lapangan ijtihad adalah
mengenai soal-soal muamalah yang ayat-ayat dan haditsnya bersifat umum dan
jumlahnya sedikit. Sedangkan soal ibadah bukanlah bagian dari lapangan ijtihad,
karena persoalan ibadah merupakan hubungan manusia dengan Tuhan, dan bukan
antara manusia dengan manusia yang tidak menghendaki perubahan menurut zaman[16].
Kata
taqlid (ﺗﻗﻟﻴﺪ ) berasal dari fi’il
madhi (kata dasar) ﺗﻗﻟﺪ dan ﻗﻟﺪ yang secara lughawi berarti “mengalungkan”
atau “menjadikan kalung”. Kata taqlid mempunyai hubungan rapat dengan kata
qaladah ( ﻗﻼﺪﺓ ),
sedangkan qaladah itu sendiri berarti kalung. Menurut asalnya, ﻗﻼﺪﺓ (kalung)
itu digunakan untuk sesuatu yang diletakkan membelit leher seekor hewan; dan
hewan yang dikalungi itu mengikuti sepenuhnya ke mana saja kalung itu ditarik
orang. Kalau yang dijadikan “kalung” itu adalah “pendapat” atau “perkataan”
seseorang, maka berarti orang yang dikalungi itu akan mengikuti “pendapat”
orang itu tanpa mempertanyakan lagi kenapa pendapat orang tersebut demikian.
Di antara definisi tentang taqlid
tersebut, ialah:
1. Al-Ghazali memberikan
definisi:
ﻗﺑﻮﻞ ﻗﻮﻞ ﺑﻼ
ﺣﺟﺔ
Menerima ucapan tanpa
hujjah.
2. Dr. Zakiyyuddin
Tsa’ban menta’rifkan Taqlid sbb:
ﺍﻟﺗﻗﻟﻴﺪ
ﻫﻮﺍﻷﺧﺫ ﺑﻗﻮﻝ ﺍﻠﻐﻴﺮﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻣﻌﺮﻓﺔ ﺪﻟﻴﻠﻪ
Taqlid ialah, menerima/mengikuti perkataan
orang lain tanpa mengatahui dari mana sumber perkataan itu.
3. Amir Bad Syah dalam
Tafsir At-Tahrir mengartikan taqlid dengan:
ﺍﻟﻌﻣﻝ ﺑﻗﻭﻝ ﺍﻟﻐﻴﺮﻣﻦ ﻏﻴﺮﺣﺟﺔ
Beramal dengan pendapat orang lain tanpa
mengetahui dasar hukumnya.
Dari penjelasan dan analisis tentang definisi-definisi di atas,
dapat dirumuskan hakikat taqlid, yaitu:
1.
Taqlid itu adalah beramal dengan mengikuti ucapan atau pendapat orang lain.
2.
Pendapat atau ucapan orang lain yang diikuti itu tidak bernilai hujjah.
3.
Orang yang mengikuti pendapat orang lain itu tidak mengetahui sebab-sebab atau
dalil-dalil dan hujjah dari pendapat yang diikutinya itu[17].
Muhammad Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea
perbuatan taqlid , ketiga kriteria tersebut adalah:
a.
Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b.
Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah
mencapai kesempurnaan.
c.
Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih
dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an,
terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid
tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum
muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama
terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya[18].Perpaduan
antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral
modern dengan berorientasi pada Alqur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan
selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode
utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah
berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang
dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah
taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan
berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat
masing-masing daerah[19].
Islam menurut Abduh “harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan
barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan
demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat
ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk
Islam[20].
Muhammad Abduh
sangat menentang taklid yang dipandangnya sebagai faktor yang melemahkan jiwa
umat Islam. Pandangan Abduh tentang perlunya upaya pembongkaran kejumudan
yang telah sedemikian lama mengalami pengerakan tersebut akan melahirkan ide
tentang perlunya melaksanakan kegiatan ijtihad. Menurut Abduh, taklid akan
menghentikan akal pikiran manusia pada batas tertentu, yakni taklid sangat
bertentangan dengan akal, taklid bertentangan dengan tabiat kehidupan, dan
taklid itu juga bertentangan dengan tabiat dasar-dasar dan ciri Islam[21]. Muhammad Abduh mengikis
habis taklid sebagai suatu prinsip, dalam bentuknya yang ada pada saat itu,
seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan pengkultusan. Fanatisme itu
disebabkan oleh adanya kelemahan pemikiran, politik, dan ekonomi pada
masyarakat Islam.
Bahwasanya
keterbelakangan dan kemunduran yang dialami umat Islam disebabkan oleh
pandangan dan sikap jumud. Maka untuk membebaskan umat Islam dari
taklid, dan kembali kepada ajaran Islam yang sesuai dengan al-Qur’an dan
Hadits. Bahkan Abduh mengecam orang yang melakuakan taqlid. Orang yang melakukan taqlid (muqallid), menurut Abduh,
memiliki derajat yang lebih rendah dari orang
yang diikutinya. Karena muqallid hanya melihat lahir perbuatan orang yang diikutinya, tanpa memeriksa
dasar dan rahasia perbuatannya. Hal ini membuat pekerjaan
muqallid menjadi tanpa dasar dan tidak karuan.
Muhammad Abduh mengikis habis taklid sebagai suatu prinsip, dalam bentuknya
yang ada pada saat itu, seperti mengikuti mazhab secara harfiah dengan
pengkultusan. Hal ini merupakan salah satu penyebab terpecahnya umat Islam.
Dengan pengkultusan ini umat Islam menjadi fanatik terhadap salah satu mazhab,
tidak berani melihat mazhab lain, dan tidak berani mengkritik mazhab yang
diikuti. Fanatisme itu disebabkan oleh adanya kelemahan pemikiran, politik, dan
ekonomi pada masyarakat Islam. Dengan demikian umat Islam tidak bisa bersatu
dan sulit mencapai satu tujuan.
Pandangan Muhammad Abduh tentang
perlunya ijtihad dan pemberantasan taklid, tampaknya didasari atas
kepercayaannya yang tinggi terhadap akal. Karena menurut Abduh, Islam
menempatkan akal pada kedudukan yang tinggi. Sebab akal dapat
membedakan antara baik dan yang buruk, antara yang bermanfaat dan yang
tidak bermanfaat. Islam adalah agama yang rasional, dan menggunakan akal
merupakan salah satu dari dasar-dasar Islam. Kebenaran yang dicapai akal tidak
bertentangan dengan kebenaran yang disampaikan oleh wahyu. Menurutnya dalil
akal yang meyakinkan bertentangan dengan dalil naql yang tidak meyakinkan.
Namun, masih menurut Abduh, ada dua cara yang dapat ditempuh jika
ditemukan adanya kontradiksi antara dalil akal dengan dalil naql. Pertama,
kita menerima dalil naql itu sebagai dalil yang sah, tetapi kita mengakui bahwa
kita tidak mampu untuk memahaminya dan menyerahkan hal yang sesungguhnya
kepada Allah SWT. Kedua, kita menta’wilkan dalil naql itu sesuai dengan
tata bahasa sehingga artinya dapat menjadi sesuai dengan yang ditetapkan oleh
akal[22].
Meskipun begitu, Abduh tetap mengakui keterbatasan akal manusia.
Menurutnya, selain akal juga diperlukan wahyu. Sebab, tanpa wahyu
akal tidak mampu membawa manusia untuk mencapai kebahagiaan. Selanjutnya, Abduh
berpendapat bahwa masalah-masalah yang berkenaan dengan hakekat Tuhan dan
masalah-masalah metafisika, bukan merupakan wilayah sepenuhnya dapat dijangkau
akal.
Karena itu, penjelajahan akal
dalam hal seperti itu perlu dibatasi. Disamping itu, akal juga memiliki keterbatasan
dalam mengetahui kegunaan perbuatan-perbuatan tertentu, seperti jumlah raka’at
shalat dan amalan-amalan dalam ibadah haji, dan sebagainnya.
Dengan demikian, ijtihad menurut
Abduh sangat diperlukan dalam Islam, agar umat tidak terbelenggu oleh taklid dan
memberikan kebebasan bagi umatnya untuk berijtihad selagi tidak bertentangan
dengan ajaran Islam.
MODERNISASI[23]
PENDIDIKAN
Sebagaimana yang telah disinggung pada
latar belakang pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan
Al- Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan
zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari
gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap
taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an memerintahkan kepada ummatnya
untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti
pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan
pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya
paling dihormati dan dipercaya.
Dalam kamus ilmiah populer istilah
modernisme diartikan sebagai suatu gerakan untuk merombak cara-cara kehidupan
yang baru atau penerapan model-model baru. Jika dikaitkan dengan pendidikan
maka modernisme merupakan suatu upaya untuk merubah atau merombak cara
pendidikan yang telah ada, diganti dengan yang baru yang dianggap lebih baik
dan dapat merubah kondisi pendidikan yang telah ada ke arah yang lebih baik.[24]
Berkaitan dengan modernisasi ini,
Rahman memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa
ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh
keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta
senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah
menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha
menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran
modern[25].
Munculnya ide-ide pendidikan
Muhammad Abduh tampaknya lebih dilatar- belakangi oleh faktor situasi, yaitu
situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan pada saat itu.
Moderniasasi pendidikan Muhammad Abduh yang paling urgen terdapat
beberapa poin penting yaitu:
1.
Menolak Dikotomi
Ilmu Dan Keseimbangan Intelektual Dan Moral
Untuk
mengejar ketertinggalan dan memperkecil dualisme pandidikan Muhammad Abduh
mempunyai beberapa langkah untuk memberdayakan sistem Islam antara lain yaitu:
a. Rekonstruksi
Tujuan Pendidikan Islam
Untuk
memberdayakan sistem pendidkan Islam, Muhammad Abduh menetapkan tujuan,
pendidikan Islamyang dirumuskan sendiri yakni: “Mendidik jiwa dan akal serta
menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang dapat mencapai
kebahagian hidup di dunia dan akhirat”.
Pendidikan
akal ditujukan sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berpikir dan dapat
membedakan antara yang baik dan yang buruk.Dengan menanamkan kebiasaan
berpikir.MuhaMmad Abduh berharap kebekuan intelektual yang melanda kaum muslimin
saat itu dapat dicairkan dan dengan pendidikan spiritual diharapkan dapat
melahirkan generasi yang tidak hanya mampu berpikir kritis, juga memiliki
akhlak mulia dan jiwa yang bersih.
Dalam karya
teologisnya yang monumental Muhammad Abduh menselaraskan antara akal dan
agama.Beliau berpandangan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan dengan perantara
lisan Nabi di utus oleh Tuhan.Oleh karena itu sudah merupakan ketetapan di
kalangan kaum muslimin kecuali orang yang tidak percaya terhadap akal kecuali
bahwa sebagian dari ketentuan agama tidak mungkin dapat meyakini kecuali dengan
akal[26].
b. Menggagas Kurikulum Pendidikan Islam Yang
Integral
Sistem
pendidikan yang di perjuangkan oleh Muhammad Abduh adalah sistem pendidikan
fungsional yang bukan impor yang mencakup pendidikan universal bagi semua anak,
laki-laki maupun perempuan.Semua harus memiliki kemampuan dasar seperti
membaca, menulis, dan menghitung.disamping itu, semua harus mendapatkan
pendidikan agama.
Bagi sekolah
dasar, diberikan pelajaran membaca, menulis, berhitung, pelajaran agama, dan
sejarah Nabi. Sedangkan bagi sekolah menengah, diberikan mata pelajaran
syari’at, kemiliteran, kedokteran, serta pelajaran tentang ilmu pemerintah bagi
siswa yang berminat terjun dan bekerja di pemerintahan. Kurikulum harus
meliputi antara lain, buku pengantar pengetahuan, seni logika, prinsip
penalaran dan tata cara berdebat.
Untuk
pendidikan yang lebih tinggi yaitu untuk orientasi guru dan kepala sekolah,
maka ia mengggunakan kurikulum yang lebih lengkap yang mencakup antara lain
tafsir al-quran, ilmu bahasa, ilmu hadis, studi moralitas, prinsip-prinsip
fiqh, histogarfi, seni berbicara.
Kurikulum
tersebut di atas merupakan gambaran umum dari kurikulum yang di berikan pada
setiap jenjang pendidikan. Dari beberapa kurikulum yang dicetuskan Muhammad
Abduh, ia menghendaki bahwa dengan kurikulum tersebut diharapkan akan
melahirkan beberapa kelompok masyarakat seperti kelompok awam dan kelompok
masyarakat golongan pejabat pemerintah dan militer serta kelompok masyarakat
golongan pendidik. Dengan kurikulum yang demikian Muhammad Abduh mencoba
menghilangkan jarak dualisme dalam pendidikan.
Adapun usaha
Muhamad Abduh menggajukan Universitas Al-Azhar antara lain:
1)
Memasukan ilmu-ilmu modern yang
berkembang di Eropa kedalam al-Azhar.
2)
Mengubah sistem pendidikan dari
mulai mempelajari ilmu dengan sistem hafalan menjadi sistem pemahaman dan
penalaran.
3)
Menghidupkan metode munazaroh
(discution) sebelum mengarah ke taqlid.
4)
Membuat peraturan-peraturan tentang
pembelajaran seperti larangan membaca hasyiyah (komentar-komentar) dan syarh
(penjelasan panjang lebar tentang teks pembelajaran) kepada mahasiswa untuk
empat tahun pertama.
Dia menawarkan kepada Sekolah Modern
agar menaruh perhatian pada aspek agama dan moral. Dengan hanya melahirkan aspek
intelektual saja, sekolah modern hanya akan melahirkan output pendidikan
yang merosot moralnya.[27]
Sedangkan kepada Sekolah Agama, seperti Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan
agar dirombak menjadi lembaga pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan
modern. Sebagai pionirnya, ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu Barat kepada
Al-Azhar, di samping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam klasik yang orisinil,
seperti Al-Muqaddimah karya Ibn Khaldun.[28]
Karena pandangan Muhammad Abduh yang
sangat mementingkan keseimbangan antara akal dan moral (Islam), maka ia
mempunyai niat untuk memajukan segala jenis pengetahuan di kalangan umat Islam.
Oleh karena itu, Islam harus mengutamakan pendidikan non-dikotomi tersebut.
Sekolah-sekolah modern perlu di buka, dimana ilmu-ilmu pengetahuan modern
diajarkan di samping ilmu pengetahuan agama. Dan ke dalam al-Azhar perlu
dimasukkan ilmu-ilmu modern, dan dengan demikian dapat mencari pernyelesaian
yang baik bagi persoalan-persoalan yang timbul di zaman modern ini.[29]
Cita-cita ini dimungkinkan pelaksanaannya, karena kedudukannya sebagai wakil
pemerintahan Mesir dalam Dewan pimpinan Al-Azhar.[30]
Muhammad Abduh memusatkan modernisasi
pendidikan di Al-Azhar karena baginya modernisasi di Al-Azhar sama halnya
dengan membenahi kondisi umat Islam secara keseluruhan, lantaran para
mahasiswanya berasal dari seluruh penjuru dunia.[31]
Al-Azhar adalah pusat ilmu pengetahuan yang paling utama di Mesir, bahkan di
seluruh dunia Islam. Jika sistem pendidikan di Al-Azhar dapat diperbaiki,
ilmu-ilmu baru bisa masuk, dan bahkan jika Islam dapat diperbaharui dan
diperbaiki mulai dari sini, maka Muhammad Abduh berharap angin perubahan akan
bertiup ke seluruh Mesir, bahkan ke negeri-negeri Islam yang lain. Bagi
Muhammad Abduh, Al-Azhar tidak mungkin dibiarkan seperti semula di zaman modern
ini, maka dari itu Al-Azhar perlu diberi jiwa baru, karena jika tidak pasti
akan runtuh.[32]
Urgensi pemikiran modernisasi Muhammad
Abduh yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam, yaitu prinsip
keseimbangan dalam pendidikan Islam. Muhammad Abduh berusaha menyeimbangkan
antara aspek intelektual dan aspek moral dalam sebuah sistem pendidikan Islam.
dengan adanya prinsip keseimbangan dalam sistem pendidikan Islam, Muhammad
Abduh yakin bahwa kaum Muslim akan dapat berpacu dengan Barat untuk menemukan
ilmu pengetahuan baru dan dapat mengimbanginya dari segi kebudayaan.[33]
Sekiranya hal ini dapat dilakukan, kaum
Muslim tidak akan tenggelam lagi dalam dunia kegelapan seperti yang pernah
dialami pada abad pertengahan. Kritik dan pemikiran Muhammad Abduh tentang
pendidikan keseimbangan di atas berdasarkan pada asumsinya bahwa ilmu
pengetahuan Barat modern yang menekankan aspek rasionalitas tidak bertentangan
dengan ajaran Islam yang mengandung aspek spiritual. Bagi Muhammad Abduh keduanya
tidak bertentangan, bahkan saling mendukung satu sama lain.
Pembaruan dari Muhammad Abduh bisa
dicermati melalui pembenahan Al-Azhar. Pembenahan tersebut setidaknya ada lima
hal:[34]
a.
Perubahan
Kurikulum.
b.
Ujian tahunan
dengan memberikan beasiswa bagi mahasiswa yang lulus.
c.
Penyeleksian
buku-buku yang baik dan bermanfaat.
d.
Tempo mata
kuliah yang primer lebih panjang daripada mata kuliah sekunder.
e.
Penambahan mata
kuliah yang terkait dengan ilmu pengetahuan modern.
Pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh
dalam pendidikan terbagi menjadi dua yaitu pendidikan formal dan non formal:
a.
Pendidikan non
formal
Dalam
pendidikan non formal Muhammad Abduh menyebutkan usaha perbaikan (islah). Dalam
hal ini Muhammad Abduh melihat perlunya campur tangan pemerintah terutama dalam
hal mempersiapkan para pendakwah. Tugas mereka yang utama adalah:
1) Menyampaikan
kewajiban dan pentinganya belajar
2) Mendidik
mereka dengan memberikan pelajaran tentang apa yang mereka lupakan atau yang
belum mereka ketahui
3) Meniupkan
ke dalam jiwa mereka cinta pada negara, tanah air, dan pemimpin.
Muhammad
Abduh pun menekankan pentingnya pendidikan akal dan mempelajari ilmu-ilmu yang
datang dari Barat. Di samping itu Muhammad Abduh menggalakkan ummat Islam
mempelajari ilmu-ilmu modern.
b.
Pendidikan
Formal
Muhammad
Abduh tampaknya menghendaki lenyapnya sistem dualisme dalam pendidikan Mesir.
Dia menawarkan kepada sekolah Modern agar memperhatikan aspek agama dan moral,
dengan hanya mengandalkan aspek intelek, sekolah modern telah melahirkan output
pendidikan yang merosot moralnya. Sedangkan kepada sekolah agama, seperti
Al-Azhar, Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga pendidikan
yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai aplikasinya, ia
telah
memperkenalkan ilmu-ilmu barat kepada Al-Azhar, di
samping tetap
menghidupkan ilmu-ilmu Islam klasik yang orisinal, seperti Al-Muqaddimah
karya ibn Khaldun.[35]
Di samping pendidikan akal, ia juga
mementingkan pendidikan spiritual agar lahir generasi yang mampu berpikir dan
punya akhlak yang mulia dan jiwa yang bersih. Tujuan pendidikan yang demikian
ia wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai ke
tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah:
a.
Kurikulum
al-azhar
Kurikulum
perguruan tinggi Al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada masa
itu. Dalam hal ini, ia memasukkan ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan
modern ke dalam kurikulum Al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat
menjadi ulama modern.
b.
Tingkat Sekolah
Dasar
Muhammad
Abduh berangapan bahwa dasar pembentukan jiwa agama hendaknya dimulai semenjak
masa kanak-kanak. Oleh karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan
sebagai inti semua mata pelajaran.
c.
Tingkat Atas
Upaya
yang dilakukan Muhammad Abduh dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah
untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer,
kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini,
Muhammad Abduh Perlu untuk memasukkan beberapa materi, khususnya pendidikan
agama, sejarah Islam, dan kebudayaan Islam.
Selain itu Muhammad Abduh juga menyoroti
keadaan dan sistem pendidikan di Al-Azhar dan menatanya kembali pada seluruh
struktur kelembagaan yang berlaku di Al-Azhar, mulai dari cara mempelajari
suatu ilmu dengan hafalan secara bertahap diubahnya dengan cara memahami dan
menganalisis. Bahasa Arab yang selama ini hanya menjadi bahasa baku tanpa
pengembangan, oleh Muhammad Abduh dikembangkan dengan jalan menerjemahkan
teks-teks pengetahuan modern pada bahasa Arab, terutama istilah-istilah baru
yang muncul, yang mungkin tidak ditemukan dalam kosa kata Arab kuno.[36]
Langkah-langkah yang ditempuhnya dalam
bidang administrasi adalah penentuan gaji yang layak bagi para ulama Al-Azhar
dan staf pengajar yang ada. Sarana-prasarana yang sebelumnya tidak ada pun
diprioritaskan.[37]
Muhammad Abduh tidak saja mengadakan perbaikan di Al-Azhar, ia juga
memperhatikan sekolah-sekolah pemerintah untuk diberikan pendidikan agama dan
sejarah Islam, sebab ia sudah melihat bahaya-bahaya yang akan timbul dari
sistem pendidikan yang dualistis, yaitu sistem madrasah yang akan mengeluarkan
ulama-ulama tanpa memiliki ilmu umum, dan sekolah-sekolah pemerintah yang akan
mengeluarkan ahli-ahli yang tidak mengerti agama.[38]
Dari sinilah letak urgensi pemikiran
reformasi Muhammad Abduh yang diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam,
yaitu prinsip keseimbangan antara aspek intelektual dan aspek moral. Menurut
Muhammad Abduh kaum Muslim diharapkan dapat berpacu dengan Barat untuk
menemukan pengetahuan baru dan dapat mengimbanginya dari segi kebudayaan.
Kritik dan pemikiran Muhammad Abduh
tentang pendidikan keseimbangan tersebut didasarkan atas asumsinya bahwa ilmu
pengetahuan Barat modern yang menekankan aspek rasionalitas tidak bertentangan
dengan ajaran Islam yang mengandung aspek spiritual. Menurut Muhammad Abduh
keduanya tidak bertentangan, bahkan saling mendukung satu sama lain.[39]
2.
Pendidikan
Wanita
Pemikiran Muhammad Abduh yang lain
adalah tentang pendidikan wanita. Menurutnya wanita haruslah mendapatkan
pendidikan yang sama dengan lelaki. Sesuai dengan firman Allah Q.S. al-Baqarah:
228 dan Q.S. al-Ahzab: 35
“ … Dan para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang
ma’ruf…”
Dan Firman
Allah Swt dalam QS. Al-Ahzab ayat 35, yang artinya :
“
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang
mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan
perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan
perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan
perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya,
laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar “
Dalam pandangan Muhammad Abduh ayat
tersebut menyejajarkan lelaki dan wanita dalam hal mendapatkan keampunan. Maka
dari itu perempuan pun punya hak pendidikan yang sama dengan laki-laki,
Muhammad Abduh berpendapat bahwa perempuan harus dilepaskan dari rantai
kebodohan, maka dari itu ia perlu diberikan pendidikan.[40]
3.
Metode Terbuka
Yang
dimaksud dengan metode adalah semua cara yang digunakan dalam upaya mendidik
anak. Oleh karena itu, metode yang dimaksud di sini mencakup juga metode
pengajaran. Sesungguhnya, membicarakan metode pengajaran terkandung juga dalam
pembahasan materi pelajaran sebab dalam materi pelajaran secara tidak langsung
juga membicarakan metode pengajaran.
Sebagai
seorang idealis yang rasionalistis, Muhammad Abduh dalam kegiatan mengajar
menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio dalam memahami
ajaran Islam dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan al-Hadist[41].
Prof.
Dr. Ramayulis dalam metodologi pengajaran menyebutkan bahwa tidak ada satu
metode yang dijamin baik untuk setiap tujuan pengajaran dalam setiap situasi.
Setiap metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk itu, semua metode
pendidikan atau pengajaran menurut Muhammad Abduh yang akan di uraikan di bawah
ini tidak menolak dan menafikan adanya metode-metode yang lainnya. Metode yang
digunakan, oleh Muhammad Abduh diantaranya sebagai berikut:
a.
Metode Menghafal
Dalam bidang metode pengajaran Muhammad
Abduh menggunakan metode menghafal yang telah dipraktekkan di sekolah sekolah
saat itu.Karena metode menghapal ini pulalah Muhammad Abduh frustasi dan
membenci belajar saat ia belajar di masjid Ahmadi Thanta. Muhammad Abduh
mengkritik metode menghapal bukan berarti membenci metode tersebut, ia tidak
setuju dengan metode ini kalau berhenti sampai di situ. Selanjutnya ia
mengatakan: "Saya kata Muhammad Abduh, telah mengalami pengajaran seperti
ini, belajar setahun setengah tanpa memahami sesuatu dari al-Kafrawi dan
Ajrumiyah. Metode pengajaran ilmu nahwu tanpa memahami istilah-istilahnya telah
membuatku (Muharnmad Abduh) tidak memahami sesuatu, akhirnya saya benci belajar
dan putus asa, tetapi Allah ternyata menghendaki lain, bapak saya memaksaku
untuk kembali belajar dan ditengah jalan saya menyimpang [pergi ke Kanisah
Urin] ”
Hendaknya metode menghafal ini
hendaknya diteruskan pada pemahaman, sehingga dimengerti apa yang dipelajari.
Menurut Arbiyah Lubis, dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh, ia tidak
menjelaskan metode apa yang sebaiknya diterapkan, tetapi dari pengalamannya
mengajar di Universitas al-Azhar, Mesir nampaknya ia menerapkan metode diskusi.
b.
Metode
Diskusi
Dari pengalaman belajar Muhammad Abduh
dan kritikannya terhadap metode menghapal, dapat diketahui bahwa ia
mementingkan pemahaman, hal itu didukung oleh fakta metode yang ia praktekkan
dan ia sukai metode diskusi.
Sewaktu Muhammad Abduh menafsirkan
sebuah QS.al-Nisa ayat tiga puluh lima, dalam keterangannya tentang:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
"Wa bi walidain ihsaanan”
"Wa bi walidain ihsaanan”
Disebutkan bahwa metode orang tua dalam
mendidik anak di Mesir membuat anak sebagai manusia pasif, sehingga mereka
(para orang tua) mendidik anak-anak dengan cara diktator. Kebanyakan orang tua
mencetak anak-anak sesuai dengan kehendak mereka.Anak-anak dijadikan
berpengetahuan atau berilmu sesuai dengan pengetahuan orang tua, anak-anak
marah sesuai dengan marahnya orang tua. Anak-anak berbuat sesuai dengan
keinginan orang tua, selanjutnya Muhammad Abduh berpikir dan kemudian bertanya:
“Apakah dengan metode pendidikan seperti ini akan menghasilkan umat yang kuat
dan adil sehingga mereka bebas dalam berbuat baik dalam bidang politik maupun
dalam hukum ?”
Rumah adalah lembaga yang menciptakan
pendidikan kediktatoran yang buruk dan mencetak kader-kader pemimpin yang
zhalim dan yang hina.Para orang tua yang mendidik anak secara diktator
sesungguhnya mereka yang gila akan kehinaan mereka anggap suatu kenikmatan dan
keselamatan. Selanjutnya, Muhammad Abduh mengatakan,
“Wahai ulama agama dan adab, hendaknya
kalian menerangkan kepada umat baik di sekolah-sekolah atau majlis-majlis apa
kewajiban orang tua terhadap anak dan apa kewajiban anak terhadap orang tua,
dan kewajiban umat terhadap dua kelompok itu.Hendaklah kalian tidak lupa kaidah
atau teori kemerdekaan dan kebebasan.Dua kaidah itu adalah landasan dasar
berdirinya bangunan Islam.Para sosiolog bagian utara yang berkuasa pada zaman
ini (Roma) mengakui bahwa peradaban mereka maju karena mereka berlandaskan dua
dasar di atas [kebebasan berpikir dan berbuat].
Pada penjelasan tersebut di atas,
Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode pendidikan dan pengajaran hendaknya
memperhatikan kemampuan bakat dan minat anak didik. Dalam kata lain, metode
pengajaran yang memberikan kebebasan berpikir dan berkreasi dalam pendidikan
dan pengajaran adalah metode diskusi. Metode diskusi inilah yang banyak
dipraktekkan oleh Muhammad Abduh dalam mengajar di Universitas al-Azhar Mesir.
Menghapal dalam proses belajar tidak mungkin di dinafikan karena ia sangat
esensial.Terbukti umat Islam banyak yang hapal al-Qur'an termasuk Muhammad
Abduh, Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa Muhammad Abduh tidak
mengharamkan metode menghapal, tetapi dapat diketahui dari pengalaman dan
kritiknya terhadap metode menghapal, sepertinya ia berpendapat bahwa metode
menghapal tanpa pemahaman tidak baik (untuk tidak mengatakan buruk).
c. Metode
Tanya Jawab
Manusia berhak membuka jalan bagi
penuntut ilmu untuk meneliti dalam berbagai ilmu pengetahuan. Contohnya:ia
menerangkan kaidah atau sebuah teori, kemudian ia mencari kecocokannya dalam
berbagai aspek pekerjaan. Dalam hal ini metode pengajaran, hendaknya guru
mengajarkan kepada anak didik cara untuk mengetahui kesalahan dan cara kembali
kepada yang benar. Cara yang demikianlah yang dipraktekkan oleh Muhammad Abduh
ketika belajar sehingga ia menjadi seorang seorang ahli. Adapun untuk
memperdalam suatu ilmu sangat tergantung pada usaha seorang anak didik setelah
seseorang lulus dari suatu lembaga pendidikan, maka ia akan mengamalkan apa-apa
yang ia peroleh ketika sekolah. Kemudian untuk memperdalam pengetahuannya itu,
hendaknya ia belajar lebih lanjut.
Muhammad Qodri Luthfi mengatakan bahwa
Muhammad Abduh dalam mengajar menggunakan metode hiwar (tanya-jawab) dan
munaqasah [diskusi] tidak hanya ceramah Memang dua metode tanya jawab dan
diskusi bisa berdampingan bahkan pada setiap diskusi ada metode tanya jawab,
tetapi mutlak dalam metode tanya jawab ada metode diskusi
d.
Metode Darmawisata.
Muhammad Abduh dalam pemikirannya sering
membuat terobosan dalam pendidikan dan pengajaran.Dalam hal metode darmawisata
misalnya menyebutkan bahwa rihlah adalah rukun dalam pendidikan.Ketika ingin
mengajarkan kepada anak didik materi "pesawat" hendaknya mereka dibawa
langsung ke bandara.Ketika ingin mengajarkan "kapal" hendaknya anak
didik dibawa ke pelabuhan. Mereka sulit memahami sesuatu yang abstrak,
Kalau dilihat contoh metode darmawisata
tersebut di atas, dapat dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat
dipahami bahwa salah satu fungsi metode ini untuk dapat memahami materi kepada
anak didik.Selain itu, metode darmawisata salah satu indikasi bahwa belajar
tidak hanya di kelas.Metode pengajaran seperti disebutkan di atas sangat lebih
tepat digunakan pada sekolah dasar dimana kemampuan berpikir abstrak anak didik
belum matang.
e. Metode
Demontrasi
Dalam menyampaikan materi Ilmu-ilmu
praktis (fi'liyah) hendaknya tidak hanya diajarkan dengan menyampaikan ilmunya
dengan caraberceramah, kemudian anak didik disuruh untuk menghafalnya ilmu-ilmu
fi'liyah harus diajarkan dengan cara menyertakan prakteknya, seperti
mengajarkan tata cara shalat lima waktu dengan mendemontrasikannya baik di
depan kelas maupun di masjid. Lebih lanjut Muhammad Abduh mengatakan: Hendaknya
guru mengadakan praktek mengajar di sekolah tidak hanya sebentar, tetapi dalam
waktu yang cukup lama, sehingga para calon guru tersebut telah siap ilmu dan
mentalnya untuk mengajar di saat mereka telah menjadi sarjana.
f. Metode
Latihan
Untuk mengintegrasikan antara pendidikan
akal dan jiwa, guru di sekolah harus menyuruh anak didik untuk melakukan shalat
lima waktu. Bagi sekolah yang memiliki anak didik beragama non Islam seperti
Kristen, maka guru hendaknya tidak menyuruh mereka untuk melaksanakan shalat,
namun meskipun anak didik yang non Islam tidak melaksanakan shalat, tetapi
nilai-nilai spiritual tersebut tidak boleh hilang dari mereka.
Dari penjelasan tentang pembiasaan
ibadah tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh sangat demokratis
dan menghormati kebebasan beragama.Tetapi nilai-nilai akal [intelektual] dan
jiwa [spiritual] bersifat universal, sehingga berlaku pada seluruh negara,
suku, bangsa, agama, dan sebagainya.
g. Metode Teladan
Pendidik harus dapat mendidik anak didik
untuk memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama manusia.Dalam mengajarkan
pesan kasih sayang itu, guru dapat memberi tauladan kepada anak didik.Tauladan
yang baik jauh lebih berpengaruh kepada jiwa anak didik dari pada sekedar
teori. Selain aspek tauladan, guru juga harus memperhatikan dan memilih gaya
bahasa yang serasi untuk menyampaikan pesan sifat kasih sayang itu. Gaya bahasa
yang digunakan guru juga harus memperhatikan aspek efektivitas dan efesiensi.
Dari penjelasan tersebut di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa pengajaran yang bertujuan untuk membina akhlak,
hendaknya guru menggunakan bahasa yang baik mudah dipahami, jelas, dan tegas,
disampaikan dengan uslub atau tata cara yang baik.
Dari
beberapa usaha yang dilakukan oleh Muhamad Abduh, meskipun belum sempat ia
aplikasikan sepenuhnya secara temporal. Telah memberikan pengaruh positif
terhadap lembaga pendididkan Islam.Usaha Muhammad Abduh kurang begitu lancar
disebabkan mendapat tantangan dari kalangan ulama yang kuat berpegang pada
tradisi lama teguh dalam mempertahankanya[42].
Ibrah
yang dapat kita ambil
1. Dari
kepribadian Muhammad Abduh diantaranya:
a. Muhammad
Abduh dikenal sebagai orang yang berpegang teguh pada kejujuran dan keberanian
yang ia yakini.
b. Di
samping kejujuran dan keberaniannya, Muhammad Abduh juga merupakan orang yang
memiliki semangat dalam menempuh kehidupan, terutama dalam studi dan
pelaksanaan ibadatnya kepada Tuhan.
c. Muhammad
Abduh juga diketahui sebagai seorang yang memiliki rasa tanggungjawab yang
besar.
d. Bebarengan
dengan penampilan hidupnya yang memiliki rasa tanggungjawab tersebut, tokoh
pembaruan ini tampaknya juga pandai bergaul.
e. Ia
merupakan seorang tokoh yang bernaluri suka berbicara (talk active),
pandai dan kreatif dalam berbicara.
f. Sebagai
orang yang berprestasi, baik dalam studi maupun dalam kehidupan masyarakat,
Muhammad Abduh ternyata tidak hanya pandai, dalam arti luas ilmunya, tetapi
juga cerdas.
g. Hal
positif lain yang beliau miliki ialah sifat murah hati (al-jud, al-sakha’).
Dalam kata lain, beliau termasuk dermawan, dan terpercaya.
h. Beliau
lebih suka membaca buku-buku yang dipilihnya sendiri di perpustakaan, dan
selalu membuka cakrawala pemikirannya secara luas.
2. Rekonstruksi
Terhadap Pendidikan Anak Usia Dini
Mengacu pada pembaruan yang dilakukan oleh
Muhammad Abduh di atas, khususnya dalam
dunia pendidikan, banyak hal yang bisa kita terapkan dalam pendidikan anak usia dini. Di antaranya:
a.
Mengajarkan
ketauhidan yang benar kepada anak-anak
Sudah
menjadi tugas seorang guru untuk mengenalkan peserta didik kepada Allah swt
sedini mungkin. Yang mana ketauhidan merupakan benteng utama seorang anak dalam
menghadapi kehidupan ini. Hal ini banyak dicontohkan di dalam al-Qur’an,
bagaimana Luqman memerintahkan dan mengajarkan kepada putra kesayangannya untuk
tidak menyekutukan Allah swt. Tentu saja yang demikian ini merupakan langkah
awal untuk mengenalkan anak-anak kepada Tuhan-nya (Allah).
Ketauhidan
harus diajarkan dengan benar sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah. Jangan sampai
pengajaran dilakukan tanpa ada dasar, apalagi sampai menyimpang dari sumber
ajaran Islam. Dan sebisa mungkin ketauhidan tersebut diajarkan sesuai dengan
perkembangan anak.
Untuk
metode pengajaran mengenalkan ketauhidan kepada anak, dapat dilakukan dengan
berbagai metode yang menyenangkan untuk anak, seperti bernyanyi, bercerita,
atau yang lainnya. Intinya apa yang disampaikan kepada anak dapat terserap
dengan baik dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
b.
Mengajarkan
ilmu-ilmu umum, selain ilmu agama
Yang
kedua yang dapat diambil dari pemikiran Muhammad Abduh ialah menyeimbangkan
antara ilmu agama dengan ilmu umum. Dalam hal ini sekolah maupun guru harus
dapat memberikan materi pembelajaran yang menyeluruh. Artinya selain dibekali
dengan ilmu-ilmu agama atau ibadah, peserta didik juga harus dibekali dengan
ilmu-ilmu umum. Sebab kedua ilmu tersebut sama-sama pentingnya untuk kehidupan
ini. Bila antara ilmu agama dengan ilmu umum berjalan dengan seimbang, niscaya
peserta didik pun akan dapat menghadapai masa depannya dengan lebih cerah.[43]
KESIMPULAN
Muhammad Abduh
adalah seorang pelopor reformasi dan pembaruan dalam pemikiran Islam. Dapat
disimpulkan bahwa pembaruan yang dilakukan oleh Muhammad Abduh, paling tidak
difokuskan dalam dua hal, yaitu: Ijtihad; menjauhkan manusia dari perbuatan
taqlid buta dan membuka pintu ijtihad selebar-lebarnya, supaya manusia terlepas
dari kejumudan dan keterpurukan. Pendidikan; memberikan porsi yang seimbang
antara ilmu-ilmu umum dengan ilmu keagamaan. Keduanya merupakan ilmu-ilmu
penting yang menjadi bekal dalam menjalani kehidupan ini.
Harapannya
pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh dapat memperikan pengaruh positif
terhadap pendidikan di Indonesia, contohnya pendidikan anak usia dini. Muhammad
Abduh merupakan seorang pembaharu yang penuh dengan kegigihan dalam melakukan
pembaruan, meskipun hasil itu dilakukan dengan penuh rintangan dan tantangan
terutama situasi dan kondisi sosial yang kolot dan enggan menerima perubahan di
satu sisi, dan kondisi polotik yang tidak menentu di sisi yang lain. Namun hal
itu tidak pernah menyurutkan niat beliau untuk melakuakan upaya pembaruan dalam
segala bidang termasuk pendidikan.
Pemikiran
dibidang pendidikan dan pengajaran umum salah satunya adalah; Perlawanan
terhadap taqlid dan kemadzhaban, dan
perlawanan terhadap buku yang tendensius, untuk diperbaiki dan
disesuaikan dengan pemikiran rasional dan historis, Reformasi al-Ahzar yang
merupakan jantung umat Islam,
Menghidupkan kembali buku-buku lama untuk mengenal intelektualisme Islam
yang ada dalam sejarah umatnya. Dan mengikuti pendapat-pendapat yang baenar
disesuaikan dengan kondisi yang ada
Khusus
pembaruannya dalam bidang pendidikan, Muhammad Abduh adalah seorang pencetus
ide-ide pendidikan yang bercorak idealis. Hal ini dapat terlihat dalam upayanya
menyeimbangkan dan menyelaraskan pendidikan keagamaan dan sains (umum) baik di
sekolah-sekolah tradisional maupun modern. Di samping upaya pemberdayaan
pendidikan islam yang menekankan pada keseimbangan antara dua aspek, yaitu
kognitif dan afektif.
DAFTAR PUSTAKA
M.
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh dan M.
Rasyid Ridha (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994)
Saiful
Amin Ghofur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008)
Harun
Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975)
Rif’at
Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat
http://koankelfadeel.blogspot.com/2012/12/pemikiran-muhammad-abduh.html
diunduh Tanggal 12 April 2013.
http://muhammadnursyafaat.blogspot.com/2012/09/pengertian-taqlid.html
diunduh tanggal 13 juni 2013
Toto
Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006),
Muhammad
al-Bahiy, Pemikiran Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet.
I,
Didin
Saefuddin, Pemikiran Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Grasindo, 2003),
Arbiyah
Lubis . Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1993.
Charles
C. Adams, Islam dan Dunia Modern di Mesir, trj. Ismail Djamil (Jakarta:
Dian Rakat, 1978), hlm. 67.
Muktafi
Fahal, Achmad Amir Azis, Teologi Islam Modern (Surabaya: Gramedia Press,
1991),
Abdul
Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern dalam Islam (Jakarta
: Raja Grafindo Persada, 1998),
Samsul
nizar, Sejarah Pendidikan Islam Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam Era Rasulullah
Sampai Indonesia (Jakarta: Kencan, 2011).
http://imarotul1991.blogspot.com/2012/10/pemikiran-pendidikan-islam-menurut.html
diunduh tanggal 13 juni 2013
http://fadilatama.blogspot.com/2012/01/pemikiran-muhammad-abduh-bidang-ijtihad.html
diunduh Tanggal 14 April 2013.
[1] M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad
Abduh dan M. Rasyid Ridha
(Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 17.
[2] Saiful Amin Ghofur, Profil
Para Mufasir Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 139.
[3] Harun Nasution, Pembaruan
Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975),
hlm. 58-59.
[4] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah dan Ibadat (Jakarta:
Paramadina, 2002), hlm. 22.
[6] Bahkan ada yang
menginformasikan, di tahun 1865, pada usia 16 tahun Muhammad Abduh kawin, lihat
Harun Nasution, Pembaruan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
hlm. 59.
[7] Jamaluddin al-Afghani (1839-1897
M) adalah tokoh pembaruan Islam abad ke-19. Selama 30 tahun terakhir, ia hidup
di pengasingan, antara lain di Mesir (1871-1897 M), lalu ke India dan Prancis.
Ia juga pernah ke Inggris, Rusia, dan Persia. Ia meninggal di Istambul. Afghani
mengembangkan wawasannya yang positif terhadap filsafat, karena ia tumbuh dari
kalangan Syi’ah. Kaum ini diketahui memiliki kebebasan berpikir yang lebih
besar daripada kaum Sunni, dan berpandangan lebih positif kepada filsafat serta
pemikiran rasional. Lihat, Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1987), hlm. 310. Selanjutnya disebut, Islam
Kemodernan.
[8] Menurut keterangan Muhammad
Salam Madkur, para peserta diskusi, waktu itu terdiri dari orang-orang
terkemuka dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, sebagian mahasiswa Al-Azhar
serta perguruan-perguruan tinggi yang lain, dan juga pegawai-pegawai
pemerintah. Lihat bukunya al-Hakim al-Sair Jamaluddin al-Afghani (Kairo: t. P.,
1962), hlm. 54.
[9] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh........., hlm. 22-27.
[10] Saiful Amin Ghofur, Profil
Para Mufasir Al-Qur’an........., hlm 141-142.
[11] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh........., hlm. 34-36.
[12] Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 20-21.
[13] Saiful Amin Ghofur, Profil
Para Mufasir Al-Qur’an........., hlm 142.
[14] Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar........., hlm. 14.
[15]
Harun Nasution, Pembaharuan
Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan), (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), Cet. I, hal 64
[16]
http://koankelfadeel.blogspot.com/2012/12/pemikiran-muhammad-abduh.html
diunduh Tanggal 12 April 2013.
[17]
http://muhammadnursyafaat.blogspot.com/2012/09/pengertian-taqlid.html
diunduh tanggal 13 juni 2013
[18]
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hal.
258
[19]
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh
dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),hal. 19
[20]
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar Karya Muhammad Abduh
dan M. Rasyid Ridha, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994),hal. 20
[21]
Muhammad al-Bahiy, Pemikiran
Islam Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), Cet. I, hal 91
[22]
Didin Saefuddin, Pemikiran
Modern dan Postmodern Islam (Jakarta: Grasindo, 2003), hal 24
[23]
Modernisasi merupakan proses perombakan pola pikir dan tata kerja lama yang
tidak rasional dan menggantinya dengan pola pikir dan tata kerja baru yang
rasional. Nur Cholis Madjid, Islam Kemodernan Dan Keindonesiaan,
(Bandung: Mizan, 1989), hal. 172
[24] http://koankelfadeel.blogspot.com/2012/12/pemikiran-muhammad-abduh.html
diunduh Tanggal 14 April 2013.
[25]
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hal.
258
[26]
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammdiyah dan Muhammad Abdu.......Hal. 152-156.
[27] Fazlur Rahman, Islam dan
Modernitas......... hlm. 70.
[28] Ibid, hlm. 77-78.
[29] Charles C. Adams, Islam dan
Dunia Modern di Mesir, trj. Ismail Djamil (Jakarta: Dian Rakat, 1978), hlm.
67.
[30] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah dan Muhammad Abduh: Suatu Studi Perbandingan (Jakarta: Bulan
Bintang, 1993), hlm. 117.
[31] Muktafi Fahal, Achmad Amir Azis,
Teologi Islam Modern (Surabaya: Gramedia Press, 1991), hlm. 21.
[32] Charles C. Adams, Islam dan
Dunia........., hlm.70.
[33] Arbiyah Lubis, Pemikiran
Muhammadiyah.........,hlm. 156.
[34] Muktafi Fahal, Achmad Amir Azis,
Teologi Islam.........,hlm. 21.
[35] Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam........., hlm. 277.
[37] Muktafi Fahal, Achmad Amir Azis,
Teologi Islam.........,hlm. 21.
[38] Harun Nasution, Pembaruan
Dalam........., hlm. 66.
[39] Toto Suharto, Filsafat
Pendidikan Islam (Yogyakarta: ArRuzz, 2006) hlm. 278.
[40] Samsul nizar, Sejarah
Pendidikan Islam Menelusuri Sejarah Pendidikan Islam Era Rasulullah Sampai
Indonesia (Jakarta: Kencan, 2011). hlm. 249-251.
[41]
http://imarotul1991.blogspot.com/2012/10/pemikiran-pendidikan-islam-menurut.html
diunduh tanggal 13 juni 2013
[42]
Toto Suharto. Filsafat Pendidikan Islam.....Hal. 102-104.
[43] http://fadilatama.blogspot.com/2012/01/pemikiran-muhammad-abduh-bidang-ijtihad.html
diunduh Tanggal 14 April 2013.