Sabtu, 19 Januari 2013

Takhrij Al-Hadis Secara Teoritis Dan Aplikatif



Takhrij Al-Hadis
Secara Teoritis Dan Aplikatif





Makalah ini disusun untuk memenuhi revisi tugas mata kuliah Studi Hadis
Dosen pengampu : Dr. Nurun Najwah,M.Ag
JADWAL UJIAN HARI MINGGU 27 JANUARI 2013 JAM 12.30-14.30
Disusun Oleh:
Qiyadah Robbaniyah  (1220411206)

PROGRAM PASCASARJANA PRODI PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013


Takhrij Al-Hadis
Secara Teoritis Dan Aplikatif


PENDAHULUAN
Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dua sumber hukum islam yang menjadi pegangan hidup umat Islam. Allah sendiri yang akan menjadi penjaga Al-Qur'an dari perubahan, penambahan ataupun pengurangan, begitupula dengan As-sunnah (Al-hadist) sebagai penjaga makna atau penjelas al-Qur'an. Maka tidak ada seorangpun di ujung dunia yang membuat hadist dusta kecuali akan terkuak kepalsuanya.
Bagaimana Hadits bisa terjaga?
Hadits terjaga dengan adanya sanad hadits. Dengan sanad itulah para ulama ahli hadits bisa membedakan manakah hadits shahih, hadits dhaif (lemah) dan hadits maudhu’(palsu). Sanad adalah susunan orang-orangyang meriwayatkan hadist. Para periwayat tersebut diperiksa satu persatu secara ketat tentang riwayat hidupnya, apakah ia seorang jujur ataukah pendusta, hafalannya kuat ataukah lemah dan pemeriksaan ketat lainnya. Jika seluruh rawi dalam sanad hadits lulus pemeriksaan maka hadits tersebut berstatus shahih yang wajib kita jadikan pegangan hidup. Dengan demikian tersingkaplah hadits-hadits palsu buatan para pendusta yang sengaja membuatnya untuk merusak agama Islam.

PEMBAHASAN

LANDASAN TEORI
1.    PENGERTIAN
Takhrij secara teoritis menurut bahasa memiliki beberapa makna yaitu berasal dari kata kharaja (خرج) yang artinya nampak dari tempatnya atau keadaaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj (الاخرج) yang artinya menampakkan dan memperlihatkannya. Dan kata al-makhraj (المخرج) yang artinya tempat keluar dan akhraj al-hadist wa kharajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadist kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Mahmud al-Thahhan dalam kitabnya Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid [1], menjelaskan bahwa al-takhrij menurut pengertian asal bahasanya ialah “berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu”. Kata al-takhrij sering dimunculkan dalam berbagai pengertian, dan pengertian yang populer al-takhrij adalah (1) al-istimbat artinya “mengeluarkan” (2) al-tadrib artinya “melatih atau pembiasaan” (3) al-tawjih artinya “mengarahkan atau menjelaskan arah”.
Sedangkan secara terminologi, tajhrij berarti :
عَزْوُ الاحَادِيْثِ الّتِى تُذْكَرُ فِي المُصَنَّفاَتِ مُعَلَّقَةً غَيْرَ مُسْنَدَةٍ وَلا مَعْزُوَّةٍ اِلَى كِتاَبٍ اَوْ كُتُبٍ مُسْنَدَةٍ اِمَّا مَعَ الْكَلاَمِ عَلَيْهَا تَصْحِيْحاً وَتَضْعِيْفًا وَرَدًّا وَقَبُوْلاً وَبَيَانِ مَافِيْهَا مِنَ اْلعِلَلِ وَاِمَّا بِالاِقْتِصَارِ عَلَى الْعَزْوِ اِلَى الاُصُوْلِ  
Mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya) hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-kitab musnad,  baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis-hadis tersebut dari segi sahih atau daif, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-kitab asal (sumbernya)nya.

Dari uraian defenisi di atas, takhrij Hadis dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Mengemukakan hadis pada orang banyak dengan menyebutkan para rawinya yang ada dalam sanad hadis itu.
b.       Mengemukakan asal usul hadis sambil dijelaskan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadis yang diperoleh oleh penulis kitab tersebut dari para gurunya, lengkap dengan sanadnya sampai kepada Nabi Saw. Kitab-kitab tersebut seperti; Al-Kutub al-Sittah, Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, Mustadrak Al-hakim.
c.        Mengemukakan hadis-hadis berdasarkan sumber pengambilannya dari kitab-kitab yang didalamnya dijelaskan metode periwayatannya dan sanad hadis-hadis tersebut, dengan metode dan kualitas para rawi sekaligus hadisnya.
d.       Membahas hadist-hadist sampai diketahui martabat kualitas (maqbul-mardudnya).

2.      TAKHRIJ HADITS DAN URGENSINYA
Takhrij Al-Hadits sebagai sebuah metode dengan memperhatikan tujuannya, mempunyai banyak sekali manfaat. Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi dalam kitabnya Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW[2], menjelaskan beberapa manfaat takhrij hadits diantaranya :
a.    Takhrij memperkenalkan sumber-sumber hadits, kitab-kitab asal dimana suatu hadits berada, beserta ulama yang meriwayatkannya.
b.    Takhrij dapat menambah perbendaharaan sanad hadits-hadits melalui kitab-kitab yang ditunjukinya. Semakin banyak kitab-kitab asal yang memuat suatu hadits, semakin banyak pula perbendaharaan sanad yang dimiliki.
c.    Takhrij dapat memperjelas keadaan sanad. Dengan membandingkan riwayat-riwayat hadits yang banyak itu maka dapat diketahui apakah riwayat itu munqathi’,  mu’dal dan lain-lain. Demikian pula dapat diketahui apakah status riwayat tersebut shahih, dha’if dan sebagainya.
d.   Takhrij dapat memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayatnya. Terkadang kita dapatkan hadits yang dha’if melalui suatu riwayat, namun dengan takhrij kemungkinan kita akan mendapatkan riwayat lain yang shahih. Hadits yang shahih itu akan mengangkat derajat hukum hadits yang dha’if tersebut ke derajat yang lebih tinggi.
e.    Dengan takhrij kita dapat memperoleh pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
f.Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang samar. Karena terkadang kita dapati perawi yang belum ada kejelasan namanya, seperti Muhammad, Khalid dan lain-lain. Dengan adanya takhrij kemungkinan kita akan dapat mengetahui nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
g.    Takhrij dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.
h.    Takhrij dapat menafikan pemakaian “AN” dalam periwayatan hadits oleh seorang perawi mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas ketersambungan sanadnya, maka periwayatan yang memakai “AN” tadi akan tampak pula ketersambungan sanadnya.
i. Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya percampuran riwayat
j. Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karenan kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
k.    Takhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
l. Takhrij dapat memperjelas arti kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
m.  Takhrij dapat menghilangkan suatu “syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat dalam suatu hadits melalui perbandingan suatu riwayat.
n.    Takhrij dapat menghilangkan suatu “syadz” (kesendirian riwayat yang menyalahi riwayat tsiqat) yang terdapat dalam suatu hadits melalui perbandingan suatu riwayat.
o.    Takhrij dapat membedakan hadits yang mudraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
p.    Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi
q.    Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
r. Takhrij dapat membedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan lafal dan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.
s.Takhrij dapat menjelaskan waktu dan tempat kejadian timbulnya suatu hadits.
t. Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadits. Diantara hadits –hadits ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka “asbab al-wurud” dalam hadits tersebut akan dapat diketahui dengan jelas.
u.     Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya percetakan dengan melalui perbandingan-perbandingan sanand yang ada.

3.    SEJARAH TAKHRIJ PENDEKATAN YANG DIGUNAKAN DALAM TAKHRIJ
Para ahli dan peneliti keislaman generasi pertama umat Islam pada mulanya tidak berpikir perlu membuat prinsip-prinsip dasar dan tata aturan mengenai takhrij al-hadits (transfering and transforming of hadith). Argumentasi yang mengalasi pendapat demikian, sebagaimana yang dikemukakan Mahmud al-Thahhan, adalah faktor pengetahuan yang ekstensif dan intensif (ithila` wasi`) yang dimiliki oleh para ahli tersebut terhadap sumber-sumber al-Sunnah. Kemampuan dan pengetahuan yang demikian luas itu memudahkan mereka dalam merujukkan setiap pendapat atau sikap keagamaan tertentu yang membutuhkan alasan syar`i kepada kitab-kitab hadis yang ada ketika itu, bahkan sampai pada tingkat yang paling partikular (juz’iy) dan detil.
Kondisi sebagaimana tersebut di atas berlangsung hingga beberapa kurun waktu. Tetapi seiring perluasan wilayah teritorial umat Islam dengan segala asesoris persoalan yang mengihiasinya, para ahli dan peneliti keislaman pada masa berikutnya merasakan bahwa tingkat pengetahuan dan kemampuan mereka mengenai al-Sunnah demikan tertelikung oleh rupa-rupa keterbatasan. Mencari sebuah komunike profetik yang berasal atau diduga dari Nabi saw – pada masa berikutnya – merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkan melelahkan. Sementara itu, kebutuhan terhadap keputusan syariah mengenai suatu persoalan begitu sangat mendesak, di samping terdapat banyak sekali karya ilmiah yang menjadikan hadis sebagai asas argumentasinya – seperti: tafsir, sejarah, tasawuf, kalam, dan fikih – tidak menjelaskan aspek otentisitas, orisinalitas dan kualitas hadis yang dimaksud. Keadaan inilah yang akhirnya mendorong sebagian ulama hadis mulai memikirkan sekaligus melakukan aneka tindakan ilmiah yang dipandang perlu agar dapat segera lepas dari jerat situasi tersebut.
Usaha para ulama hadis pada akhirnya menghasilkan aneka rumusan tentang prinsip-prinsip dan tata aturan takhrij, yang secara generatif melahirkan berbagai macam karya tulis yang kelak dinamai “Kutub al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya berhasil mengembalikan matan pada transmisinya, tetapi pula menjelaskan aspek orisinalitas dan kualitas redaksional, bahkan bila dianggap diperlukan menerangkan pula kualitas transmisinya.
Secara kronologinya proses takhrijul Hadis dalam perkembangannya melalui fase-fase berikut:
a.         penyebutan hadits-hadits dengan sanadnya masing-masing. Terkadang pengarang menitik beratkan pada masalah sanad atau terkadang pada masalah matan
b.        Penyebutan hadits-hadits dengan sanad milik sendiri yang berbeda dengan suatu kitab terdahulunya. Sanad-sanad pada kitab kedua ini menambah kekuatan hukum tentang sanad kitab pertama dan dapat menambah redaksi matan.
c.         Setelah sunnah-sunnah nabi terkempul dalam kitab-kitab besar, pengertian Takhrijul berarti penisbatan riwayat Hadits kepada kitab-kitab yang ada beserta penjelasan kriteria-kriteria hukum hadits-hadits tersebut. Oleh karena itu pada masa kini dapat kita temui kitab-kitab takhrijul hadits tentang fiqih, tafsir, bahasa, tasawuf, dan lain sebagainya[3].
Kerja takhrij yang dilakukan oleh generasi pertama ahli hadis hingga akhir abad ketiga bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Kerja ilmiah mereka lebih banyak dilakukan dengan melakukan perjalanan sangat jauh ke wilayah-wilayah yang menjadi pusat-pusat tutorial hadis, sekedar untuk mengkonfirmasi atau melakukan klarifikasi atas suatu riwayat yang diterimanya. Sementara itu buku-buku yang dapat dijadikan panduan takhrij belum banyak ditulis. Generasi sekarang sesungguhnya  dapat lebih mudah melakukan kerja takhrij-nya, dan juga penelitian hadis lainnya, yakni dengan merujuk kepada metode serta buku-buku hadis yang telah disediakan oleh generasi awal Islam yang dibuat melalui proses yang demikian panjang, sulit dan melelahkan. Bahkan kecanggihan teknologi lebih memudahkan para pemula melakukan kerja takhrij dengan hanya menggunakan keping CD atau membuka informasi di situs internet.
Hanya saja secara konvesional para pengkaji dan peneliti hadis setelah abad keempat Hijriah dalam melakukan kerja takhrij-nya dapat menggunakan beberapa pendekatan manual di bawah ini:
a.         Pendekatan transmisional, melalui telaah akhir sanad (sahabat Nabi saw);
b.        Pendekatan redaksional, dengan melakukan pencermatan terhadap awal matan atau lafal kalimat tertentu yang tidak populer di lingkungan masyarakat;
c.         Pendekatan kontekstual, yaitu dengan cara mengeksplorasi kandungan materi hadis; dan
d.        Pendekatan deskripsional, adalah dengan melihat tanda-tanda lahir yang mengemuka, baik pada sanad maupun matan suatu hadis.
Pendekatan-pendekatan di atas, pada tataran aplikasinya satu sama lain sesungguhnya saling melengkapi dan menyempurnakan. Sebagai misal, pendekatan transmisi sangat mengandalkan pada penyebutan nama sahabat nabi periwayat hadis; artinya bila di satu hadis tidak disebutkan nama sahabat, maka pendekatan ini tidak dapat digunakan. Jalan keluar yang dapat dilalui agar kerja takhrij tidak terhenti adalah dengan beralih pendekatan, menggunakan pendekatan redaksional, misalnya. Demikian seterusnya.
Selanjutnya setiap pendekatan tersebut menuntut penggunaan metode tertentu sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Berikut ini adalah rinciannya:
a.    Takhrij dengan menggunakan pendekatan transmisional bertumpu pada metode musnady, mu`jamy (syakhshiy) dan athrafy.
b.    Takhrij yang memanfaatkan pendekatan redaksional dan tema berpijak pada metode fihrisiy, mu`jamiy (alfahzi)y, istikhrajiy, istidrakiy dan istiqra’iy mawdhu`iy.
c.    uTakhrij dengan pendekatan deskripsional menapakpijak pada metode metode istiqra’iy isnadiy wa matniy (analisis transmisi dan analisis materi, isi atau muatan).

4.    METODE- METODE DALAM TAKHRIJ HADITS
Mahmud al-Thahhan menjelaskan bahwa setidaknya ada lima metode yang dipergunakan dalam melakukan takhrij hadits, diantaranya adalah :
1.    Al-Takhrij ‘an thariiqi ma’rifati raawi al-hadits min al-sahaabati
التخريج عن معرفة راو الحديث من الصحابة
Dalam menggunakan metode ini seseorang yang akan mentakhrij haruslah mengetahui sanad hadits tersebut. Dalam hal ini yang menjadi pijakannya adalah perawi yang paling tinggi yaitu sahabat-sahabat Rasulullah SAW, atau bisa juga para tabi’in (jika hadits tersebut merupakan hadits mursal). Untuk mempergunakan metode takhrij ini ada banyak kitab yang membantu pelacakan hadits, kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tiga jenis yaitu :
a.    Jenis kitab al-masanid.
Yang dimaksud dengan kitab al-musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan perawi teratas dan menentukan hadits-hadits setiap sahabat sendiri-sendiri. berdasarkan urutan huruf-huruf hijaiyah, berdarkan lebih dahulu masuk islam, berdasarkan kehormatan keturunan. Dalam kitab-kitab musnad ini, jenis shahih, hasan dan dha’if terkumpul jadi satu. Diantara kitab-kitab tersebut adalah: Musnad Abu Hanifah, Musnad Al-Syafi’i, Musnad Abu Dawud al-Thayalisi, Musnad Ahmad bin Hanbal, Musnad Abu Ya’la al-Maushili, Musnad al-Humaidi, dan lain-lain
b.    Jenis kitab al-Ma’ajim
Ialah metode takhrij hadis yang mengandalkan buku-buku mu`jam (buku hadis yang secara sistematis ditulis berdasarkan urut-urutan huruf alfabet, bentuk jamaknya: ma`ajim) dalam melakukan kerja takhrij-nya. Beberapa contoh kitab yang berjenis ini adalah: Mu’jam al-Kabir  karya Abu al-Qasim al-Thabarani (360 H), Mu’jam al-Shaghir karya Abu al-Qasim al-Thabarani, Mu’jam al-Shahaabah karya Ahmad bin Ali al-Hamdani (398 H), Mu’jam al-Ausath karya Abu al-Qasim al-Thabarani, Mu’jam al-Shahaabah karya Abi Yu’la Ahmad bin Ali al-Maushili  (308 H)
c.    Jenis kitab al-athrafat,
 Yang dimaksud dengan kitab al-athraaf adalah salah satu jenis kitab-kitab yang disusun sebagai kumpulan hadits-hadits nabi. Yang dimaksud dengan jenis al-athraaf  ini ialah kumpulan hadits-hadits dari beberapa kitab induknya dengan cara mencantumkan bagian atau potongan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh setiap sahabat. Beberapa contoh kitab yang berjenis al-athraaf adalah: Athraaf al-hahihain karya Imam Khalaf bin Hamadun al-Washithy  (401 H), Athraaf al-Kutub al-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadhly Muhammad bin Thahir bin Ahmad al-Maqdisi (507 H), .Al-Isyraf ‘Alaa Ma’rifati al-Athraaf, karya Abu al-Qasim Ali bin Abi Muhammad al-Hasan al-Dimasyqi (571 H), Tuhfatu al-Asyraf bi Ma’rifati al-Athraaf karya Jamal al-Din Abu al-Hajjaj, Yusuf bin Abdi al-Rahman al-Mizzi (742 H)[[4]].  Athraaf al-shahihin karya imam abu mas'ud Ibrahim bin muhamad bin ubaid al-dimasyqi (400 H)
Kelebihan metode ini:
Dengan menggunakan metode ini akan lebih mudah dan cepat dalam melakukan proses penelusuran atau mentakhrij hadis yang diinginkan.
Kelemahan metode ini:
Jika terdapat persamaan makna pada awal matan hadits dan awal kata hadits yang ingin ditakhrij berbeda maka akan mengalami kesulitan, misalnya matan hadits yang diawali dengan kata “idza ataakum” yang akan ditakhrij, kemudian kita lupa dan hanya mengingat kata-kata “lau ja’akum”, maka hal ini akan menyulitkan dalam melakukan proses takhrij hadits, jadi harus sesuai dengan lafal yang akan ditakhrij [[5]].
Contoh metode takhrij dengan kitab Tuhfatul Al-Asyraf bi ma`rifati Al-Athraf
hadits Jabir bin Abdullah yang berbunyi:

أن رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلي ما يدعوه إلي نكا حها فليفعل

Kita mencari hadits-hadits jabir. Kita dapati jilid kedua tertulis    جودان- أهبان  , artinya jilid kedua ini mencakup hadits-hadits sahabat yang nama-nama mereka diantara أهبان dan جودان. Sementara nama jabir terletak disekitar pengelompokan ini, tentunya nama jabir kita cari pada jilid jilid ini. Lalu kita telusuri seluruh hadits-haditsnya hingga sampai pada hadits yang kita maksud. Kita ketahui bahwa jabir adalah termasuk yang banyak meriwayatkanya, penyusun kitab mengurutkan nama-nama murid-muridnya berdasarkan huruf mu`jam karena penulis sendiri telah mengetahui bahwa tabi`in yang meriwayatkanya dari jabir adalah waqid-al-anshari, maka penulis mencari nama waqid, haditsnya berbunyi

واقد بن عبد الرحمن بن سعد معاذ الأنصارى لأوسى المدني عن جابر 3124 حديث, إذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أنينظر إلي  مايدعوه إلى نكاحها فليفعل, د في النكاح (19) عن مسدد, عن عبد الواحد بن زياد, عن محمد بن إسحاق, عن داود  

Maksudnya adalah bahwa hadits ini diriwayatkan oleh abu daud dalam kitab al-nikah bab ke-19 dengan jalannya sanad seperti ini. Langkah selanjutnya adalah mencari hadist ini dalam sunan abu daud pada kitab al-nikah bab ke-19. Kemudian kita jelaskan bahwa abu daud mengeluarkannya pada kitab al-nikah di bab fi-al-rajuli yandhuru illa al-mar`ati wa huwa yuridhu tazawwajahajuz 6 halaman 96. Lalu kita katakana bahwa al-mizzy menyebutkannya dalam al-tuhfah juz 2 halaman 385. Abu daud berkata; yang dikenal adalah waqid bin amr bin saad bin muadz
Dengan melakukan cara diatas berarti kita telah melakukan takhrij dengan sempurna dari kitab al-tuhfah. Untuk lebuh sempurna lagi kita mentakhrijnya kembali dari kitab-kitab lainya[6].
2.    Al-Takhrij ‘an thariiqi ma’rifati awwalul hafzhi min matn  al-hadits
التخريج عن طريق معرفة أول الحفظ من متن الحديث
Adalah metode takhrij dengan jalan mengetahui lafaz awal suatu matan hadits. Dalam menggunakan metode ini adalah keharusan untuk mengetahui dengan pasti lafal-lafal pertama dari matan suatu hadits. Setelah itu kemudian melihat huruf pertamanya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan metode ini, banyak sekali kitab-kitab takhrij yang dipakai dalam menggunakan metode ini. jenis kitab yang menggunakan metode ini dibagi dalam tiga jenis:
a.  Al-masyhurat ‘ala alsinat al-nas, seperti : Al-Maqashid al-Hasanah fi Bayanin Katsiirin al-Hadits al-Mashurah ‘ala Alsinah al-Nas karya Muhammad bin Abdurrahman al-Skhawi (902 H), Kasyf al-Khafa wa Muzii al-Ilbas ‘amma Isytahara min al-Hadits ‘ala Alsinah al-Nas karya Isma’il bin Muhammad al-Ajluuni (1162 H), Tamyiz al-Thayyib al-Khabits fima Yaduuru ‘ala Alsinah al-Nas karya Abdurrahman bin Ali bin al-Diba’ al-Syabani (944 H), Al-Badru al-Munir fi Gharibi al-Ahaadits al-Basyir al-Nazir, karya Abdul wahhab bin Ahmad al-Sya’rani (973 H) dan lain sebagainya
b. Al-Kitab allati ruttibat al-hadits fiiha ‘ala tartiib huruuf al-mu’jam adalah kitab yang disusun berdasarkan huruf hijaiyah, jenis kitab ini seperti : Al-Jami’ al-Shagir min Hadits al-Basyir al-Nazir, karya Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr al-Suyuthi. (911 H).
c.  Al-Mafaatih atau al-Fahrasat, seperti: Miftah al-Shahihiin karya al-Taukidi, Miftah al-Tartib li Ahadits Tarikh al-Khatib, karya Sayyid Ahmad al-Ghumari[[7]].
Kelebihan metode ini:
a. Metode ini memperpendek masa proses takhrij dengan diperkenalkannya ulama hadits yang meriwayatkannya beserta kitab-kitabnya.
b. Metode ini memberikan manfaat yang tidak sedikit, diantaranya memberikan kesempatan melakukan persanad. Dan juga faedah-faedah lainnya yang disebutkan oleh para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini.
Kelemahan metode ini:
a. Metode ini tidak dapat dipergunakan dengan baik tanpa mengetahui terlebih dahulu perawi pertama hadits yang dimaksud.
b. Terdapat kesulitan-kesulitan mencari hadits diantara yang tertera dibawah setiap perawi pertamanya. Hal ini karena penyusunan hadits-haditsnya diantaranya didasarkan perawi-perawinya yang dapat menyulitkan maksud tujuan[[8]].
Contohnya dengan kitab al-jami` al-kabir
hadits yang dicari berbunyi
نفقة الرجل على أهله صدقة
Dengan memahami pengertiannya, kita berkesimpulan bahwa hadits diatas termasuk kategori hadits-hadits perkataan dan tentunyya disusun menurut urutan huruf hijaiyah, kita buka bab huruf nun (ن) , kemudian kita cari huruf nun (ن),  lalu huruf faa`(ف) serta qaaf  (ق). Hadits ini kita temukan pada jilid pertama. Halaman 857. Dalam halaman itu tertulis
نفقة الرجل على أهله صدقة, حم ت عن أبي مسعود البدري, طب عن عبد الله بن أبي أوفي, والخرائط فى مكا رم الأخلاق عن ابن مغفل
Cara membacanya adalah hadits ini dikeluarkan oleh imam ahmad bin hambal dan imam turmidzi dari abu mas`ud al-badry, imam Tabrany dalam al-kabir dari abdillah bin abi aufa, dan al-kharaithy dalam makarim al-akhlaq dari ibnu mughaffal. Begitulah yang tercantum dalam al-jami` kabir, jilid pertam, halaman 857[9]

3.    Al-Takhrij ‘an thariiqi ma’rifati kalimatin yaqillu dauranuha ‘ala al-alsinati min aiyu juz’in min matni al-hadits
التخريج طريق معرفة كلمة يقل دورانها علي ألسنة من أي جزء من متن  الحديث
Adalah metode takhrij yang didasarkan pada lafal-lafal tertentu dalam matan hadits, terutama lafal-lafal yang gharib atau lafal-lafal yang asing untuk mempercepat proses takhrij. Salah satu kitab yang paling terkenal untuk membantu dalam proses takhrij dengan menggunakan metode ini adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadh al-Hadits an-Nabawi karya A. J. Wensinck seorang guru besar bahasa arab dari Universitas Leiden Belanda (w. 1939 M). kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadh al-Hadits an-Nabawi ini merujuk pada Sembilan kitab induk hadits yaitu : Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Turmudzi, sunan Abu Daud, Sunan Nasa’i, Sunan Ibnu Majah, Sunan Darimy, Muwaththa’ Imam Malik dan Musnad Imam Ahmad[[10]].
Kelebihan metode ini:
a.    Metode ini mempercepat pencarian hadits-hadits.
b.    Penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini membatasi hadits-haditsnya dalam beberapa kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman.
c.    Memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Kelemahan metode ini:
a.    Keharusan mempunyai kemampuan bahasa arab beserta perangkat ilmu-ilmunya yang memadai. Karena metode ini menuntut untuk mengembalikan setiap kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya.
b.    Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat. Untuk mengetahui nama sahabat yang menerima hadits Nabi SAW, mengharuskan kembali kepada kitab-kitab aslinya setelah mentakhrijnya dengan kitab ini.
c.    Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata yang lain[[11]].
CONTOH CARA DALAM MEN TAKHRIJ HADIST

لَا يُؤْمنُ أحَـدَكُمْ حَتَّى أَكُوْنَ أَحَبَّ إلَيهِ مِنْ وَلـَدِه وَوَالـِدِه وَالنـَّاسِ أَجْمَعـِين
tidak (sempurna) iman seseorang sehingga aku lebih ia cintai daripada anak, orang tua dan manusia seluruhnya”
Pada akhir hadits tersebut dicantumkan H.R Bukhori, yang kita tidak diketahui runtutan sanadnya, dan begitupula apakah benar hadits tersebut terdapat dalam kitab Shahih Bukrori?, tentu kita tidak mengetahuinya sebelum kita men-takhrij hadits tersebut. Apabila setelah kita takhrij hadits tersebut terdapat dalam kitab Bukhori, bahkan dalam kitab lainya, tentu kita akan yakin bahwa hadits tersebut merupakan hadits shahih yang memiliki hujjah. Namun, selain kita mengetahui hadits tersebut berada dalam kitab Bukhori dan lainya, tentu kita harus meninjau ulang kembali runtutan sadannya dengan menggunakan salah satu metode Takhrij Hadits, sehingga kita dapat mengetahui seberapa dhobit, tsiqoh, dan ‘adil para perawi (rijal hadits) tersebut.
Dalam hal ini, penulia mengunakan kitab al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz al-Hadits al-Nabawi untuk mengetahui hadits tersebut berada dalam kitab apa saja. Metode yang penulis gunakan dalam mentakhrij hadits yaitu dengan metode takhrij melalui penggalan kata-kata. Untuk mencari hadits tersebut penulis menggunakan kata“ولد”yang menjadi mashdar dari kata“ولد”.
Setalah dicari dalam kitab mu’jam tersebut, ditemukan kata-kata di bawah ini.
خـ : ايمان ۸ , م: ايمان ۷۰, ن:ايمان۱۹, جه: مقدمة ۹, دى: رقاق۲۹
Maksud yang terdapat dalam mu’jam tersebut ialah, bahwa hadits itu bukan hanya terdapat pada kitab bukhori saja.
Namun terdapat pada kitab lainya pula. Oleh karena itu kita terjemahkan maksudnya.
۸خـ : ايمان = Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab Shahih Bukhori bab Iman hadits ke delapan.
مـ: ايمان ۷۰= Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab Shahih Muslim bab Iman hadits ke tujuh puluh.
ن:ايمان ۱۹= Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab Sunan an-Nasai bab Iman hadits ke Sembilan belas.
جـه: مقدمة ۹= Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab Ibnu Majjah dalam Muqoddimah hadits ke sembilan.
دى: رقاق ۲۹= Maksudnya adalah hadits tersebut berada pada kitab ad-Darimy Bab Raqoqi hadits ke dua puluh sembilan.
Adapun hadits lengkap pada masing-masing kitab adalah sebagai berikut:
1.      Dalam Kitab Shahih Bukhori
حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ عُلَيَّةَ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
2. Dalam Kitab Shahih Muslim
حدثنا محمد بن المثنى وابن بشار، قالا: حدثنا محمد بن جعفر. حدثنا شعبة. قال: سمعت قتادة يحدث عن أنس بن مالك؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين
3. Dalam Kitab Sunan an-Nasai
أخبرنا حميد بن مسعدة قال: حدثنا بشر يعني ابن المفضل قال: حدثنا شعبة عن قتادة أنه سمع أنسا يقول: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين.
4. Dalam Kitab Sunan Ibnu Majjah
حدثنا محمد بن بشار، ومحمد بن المثنى قالا: حدثنا محمد بن جعفر، حدثنا شعبة، قال: سمعت قتادة، عن أنس بن مالك قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من ولده ووالده والناس أجمعين))).
5. Dalam Kitab Sunan ad-Darimi
أخبرنا يزيد بن هارون وهاشم بن القاسم قالا : ثنا شعبة عن قتادة عن أنس عن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحب إليه من والده وولده والناس أجمعين

4.     Al-Takhrij ‘an thariiqi ma’rifati maudhu’i al-hadits matnan wa sanadan
التخريج عن طريق معرفة موضوع الحديث متنا و سندا
Adalah metode takhrij dengan cara mengetahui tema hadits. Menurut Mahmud Thahhan metode ini digunakan untuk orang-orang yang mempunyai instink dalam menyimpulkan sebuah tema dari suatu hadits. Adapun kitab yang dapat membantu pelacakan hadits dengan metode ini dapat dibagi dalam tiga jenis :
a. Al-Jawami’, al-mustakhrajat, al-mustadrakat, al-majami’, al-zawa’id, miftah kunuz al-sunnah, (jenis kitab yang membahas seluruh masalah keagamaan), seperti : Al-Jami’ al-shahih karya Bukhari, Al-Jami’ al-shahih karya Muslim, Al-jami’ Abdurrazaq, Al-jami’ al-Tsauri, Al-Mustakhraj ‘ala Shahihi al-Bukhari karya al-Ismai’li (371 H), Al-Mustakhraj Shahihi al-Bukhari karya al-Ghatrifi (377 H), Al-Mustakhraj Shahihi al-Bukhari karya al-Dzuhl (378 H), Al-Mustakhraj Shahihi al-Muslim karya Abu Uwanah al-Isfiraini  (310 H), Al-Mustakhraj Shahihi al-Muslim karya Abu Hamid al-Harawi (355 H)
b. Al-Sunan, al-Mushannafat, al-Muwaththa’at, al-Mustakhrajat a’ala al-Sunnah Adalah jenis kitab yang membahas sebagian besar masalah keagamaan seperti: Sunan Abu Dawud al-Sijistani (275 H), Sunan al-Nasa’I (303 H), Sunan Ibn Majah (275 H), Sunan al-Syafi’I (204 H), Sunan al-Baihaqi (458 H), Sunan al-Daruquthni (385 H), Sunan al-Darimy (255 H), Al-Mushannaf karya Abu Bakr Abdullah bin Muhammad Abu Syaibah al-Kufi (235 H), Al-Mushannaf karya Abu Bakr Abdul Razaq bin Hammami al-Shana’i (211 H)
c. Al-Ajza’, al-Targhib wa al-Tarhib, al-Zuhd wa al-Fadla’il wa al-Adab wa al-Akhlaq, al-Ahkam
Adalah Kitab yang membahas topik-topik tertentu dari masalah keagamaan kitab-kitab jenis ini diantaranya: Juz’ ma rawahu Abu Hanifah ‘an al-Shahabah karya Abu Ma’syar Abdul Karim bin Abdul al-Shamad al-Thabari (178 H), Al-Targhib wa Tarhib karya Zakiy al-Din Abdul Azim bin Abdul Qawi al-Munziri (656 H). Al-Targhib wa Tarhib karya Abu Khafd Umar bin Ahmad al-Ma’ruf  Ibnu Syaibah (385 H), Kitab Zuhd karya Imam Ahmad Ibnu Hanbal (241 H), Kitab Zuhd karya Imam Abdullah bin al-Mubarak (181 H), Kitab Zuhd wa al-Du’a karya Abu Yusuf Ya’kub bin Ibrahim al-Kufi (182 H)
Kelebihan metode ini:
a.    Metode dengan mengetahui tema hadits tidak membutuhkan pengetahuan-pengetahuan lain di luar hadits, seperti keabsahan metode pertamanya, sebagaimana metode-metode sebelumnya, pengetahuan bahasa arab dengan perubahan-perubahan kata dan pengenalan perawi teratas sebagaimana metode sebelumnya. Yang menjadi inti dari metode ini adalah diharuskan kemampuan untuk menentukan tema dalam hadits yang akan ditakhrij.
b.    Metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadits pada para peneliti hadits.
c.    Metode ini juga memperkenalkan kepada para peneliti hadits yang dicarinya dan hadits-hadits yang senada dengannya.
Kelemahan metode ini :
a.    Terkadang untuk menentukan tema hadits seringkali mengalami kesulitan oleh seorang pentakhrij, akibatnya metode ini justru akan mempersulit proses takhrij.
b.    Seringkali terjadi pemahaman antara para penyusun kitan dengan metode ini tidak sepham dengan para pentakhrij yang menggunakan kitab-kitab takhrij dengan metode ini. sebagai akibatnya penyusun kitab meletakkan hadits pada posisi yang tidak diduga oleh pentakhrij hadits. Misalnya, hadits yang semula oleh pentakhrij disimpulkan sebagai hadits peperangan ternyata oleh penyusun kitab diletakkan pada hadits tafsir[[12]].
Contoh takhrij dengan kitab nashbu al-raayah li takhriji ahaadits al-hidayah
Kita akan mentakhrij hadits yang berbunyi:
هو –أي البحر- الطهور ماءه الحل ميتته
Hadits ini kita cari dalam kitab thoharoh. Pada daftar indeks kitab thoharoh. Kita dapati bab  باب الماء الذي يجوز به الطهارة  . bab inilah yang terdekat terdapatnya hadits diatas (juz 1 halaman 95 hadits ke 34). Disitu al-zaila`I menyebutkan para sahabat yang meriwayatkanya, mereka berjumlah tujuh orang, kemudian pembicaraan mengenai periwayatan setiap sahabat, ulama yang mengeluarkannya, kedudukan nilai hadits (shohih dan lain-lain)[13].
5.    Al-Takhrij ‘an thariiqi al-nazari fi haali al-hadits matnan wa sanadan
التخريج عن طريق النظر في حال الحديث متنا و سندا
Adalah metode takhrij dengan cara melihat sifat hadits baik matan maupun sanadnya menggunakan metode takhrij hadits yang terakhir ini haruslah memusatkan perhatian pada sifat hadits yang terdapat pada matan dan sanadnya. Adapun kitab-kitab yang disusun untuk membantu penelusuran hadits dengan menggunakan metode ini diantaranya :
a. Jenis kitab yang didasarkan pada matan atau kitab al-Maudhu’at seperti: Al-Maudhu’ah al-Shugra karya Syekh Ali al-Qari al-Harawi  (1014 H), Tanzih al-Syari’ah ‘an al-Ahadits al-Syanii’ah al-Maudhu’ah karya Abu Hasan Ali bin ‘Iraq al-Kinani (963 H).
b. Jenis kitab al-Qudshiyat, seperti: Misykat al-Anwar fi ma ruwiya ‘an Subhanahu wa ta’ala min al-Akhbar karya Muhyiddin Muhammad Ibnu Ali bin Arabi al-Hatimi al-Andalusi (638 H), Al-Ithaf al-Saniyyah bi al-Ahadits al-Qudsiyyah karya Seykh Abdurra’uf al-Manawi (1031).
c. Jenis kitab yang didasarkan pada sanad hadits,seperti: Kitab Rawayah al-Abaa’ ‘an al-Anbiya’karya Abu Bakr Ahmad Bin Ali al-Khatib al-Baghdadi (463 H), Kitab al-Manah al-Salsalah fi al-Ahadits al-Musalsalah Karya Muhammad bin Abd al-Baqi al-Ayyubi (1364 H) [[14]].
Contohnya
Metode ini memperkenalkan suatu upaya baru yang telah dilakukan para ulama hadits dalam menyusun hadits-hadits berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat membantu sekali dalam dalam proses pencarian hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits-hadits Qudsi .hadits masyhur , hadits mursal, seorang peneliti hadits, dengan membuka kitab-kitab seperti diatas, dia telah melakukan takhrijul hadits 
Kelebihan metode ini:
Dapat mempermudah proses takhrij. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar hadits-hadits yang dimuat dalam karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadits sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit.
Kelemahan metode ini:
Wilayah cakupan metode ini sangat terbatas karena sedikitnya hadits-hadits yang dimuat tersebut. Hal ini akan tampak lebih jelas ketika melihat kitab-kitab takhrij dengan menggunakan metode ini [[15]].

Kesimpulan
Takhrij Hadits sebagai bagian dari ilmu hadits merupakan produk ulama terdahulu adalah juga bagian dari khazanah intelektual dan keilmuan yang patut dilestarikan dan dikembangkan. Mereka (para ulama terdahulu) telah melakukan “ijtihad intelektual” dalam tradisi ilmu hadits sehingga takhrij hadits sebagai bagian kecil dari ilmu tersebut ada dihadapan kita. Karena dengan takhrij hadits telah banyak memberikan manfaat dan faedah sebagaimana dijelaskan pada bagian awal makalah ini, dengan  metode takhrij,  samudra hadits peninggalan Rasulullah SAW. yang begitu luas dan banyak dapat ditelusuri, dilacak dan diteliti dengan mudah oleh siapa saja yang ingin mendapat hikmah dari butiran-butiran mutiara hadits. Metode-metode takhrij hadits dengan kekurangan dan kelebihannya pada masing-masing metode telah saling melengkapi antara metode yang satu dengan yang lainnya dalam proses pelacakan dan penelusuran hadits.
Demikianlah catatan kecil dari penulis tentang “takhrij hadits, urgensi dan metodenya” yang banyak penulis kutip dari ulama-ulama hadits dan para pemerhati hadits. wallahu a’lam bissawaab.


DAFTAR PUSTAKA
Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang
al-Musnad li al-Imam Ahmad bin Hanbal dengan tahqiq oleh Abdullah Muhammad al-Darwisyi, terbitan Dar el-Fikr, Beirut, tahun 1991,
Mahmud al-Thahhan, 1991 M/1412 H, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif
M. Syuhudi Ismail, 1992, Metodologi Penelitian Hadits Nabi, Jakarta: Bulan Bintang
Louis Ma’luf, 1986, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyariq
Said bin Abdillah bin al-Hamid, 2000, Thuruqu Takhrij al-Hadits, Riyadh: Daru Ulum al-Sunnah Linnasir



[1] Mahmud al-Thahhan, 1991 M/1412 H, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif hal. 7-8

[2] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang. Hal. 5-6

[3] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, Metode Takhrijul Hadits, 1994: Semarang, Dina Utama. Hal. 3-4
[4] Mahmud al-Thahhan, 1991 M/1412 H, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif. Hal. 39-49

[5] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang. Hal 17

Hal.91-92[6] Abu muhammad abdul mahdi, 1994, metode takhrij hadits, Semarang, Dina Utama
[7] Mahmud al-Thahhan, 1991 M/1412 H, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif. Hal. 59-70

[8] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang. Hal. 78-79

[9] Ibid . Hal. 37-38
[10] Mahmud al-Thahhan, 1991 M/1412 H, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif. Hal. 81-82

[11] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang. Hal. 60-61

[12] Abu Muhammad Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi, 1994, Thuruq Takhrij Hadits Rasulillah SAW, Semarang: Terjemahan, Dina Utama Semarang. Hal. 122-123

[13] Ibid hal. 154
[14] Mahmud al-Thahhan, 1991 M/1412 H, Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, Riyadh, Maktabah al-Ma’arif. Hal. 129-131

[15] Ibid hal. 122-123

Tidak ada komentar:

Posting Komentar