TAFSIR MAUDHU’I (Kajian Tematik Dalam Al-Quran)
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas revisi mata kuliah
Studi Al Qur'an
Dosen Pengampu: Prof. Dr.
Syihabuddin Qalyubi
Oleh:
QIYADAH
ROBBANIYAH
|
1220411206
|
ROBIAH SAIDAH
|
1220411162
|
JADWAL
UJIAN TANGGAL 27 JANUARI 2013 JAM 10.00-12.00
Manajemen dan
Kebijakan Pendidikan Islam
Program
Pascasarjana Pendidikan Islam
Universitas
Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2013
TAFSIR MAUDHU’I (Kajian Tematik Dalam Al-Quran)
Pengkajian sebuah surat Al-Qur’an sebagai satu
kesatuan yang utuh memang akan menghasilkan penafsiran yang memuaskan, apalagi
di dalamnya dijelaskan misinya secara umum dan khusus, serta keterkaitan antara
tema-tema yang ada sehingga akan nampak keseragamannya. Ulama yang menempuh
metode penafsiran maudhu’i seperti ini diantaranya adalah Al-Alamah, Al-Fakr
Razi yang amat berjasa dalam memulai penafsiran secara maudhu’i ini. Metode ini
juga digunakan oleh DR. Muhammad Mahmud hijazi dalam Tafsir al-Wadhih,
di dalam al-Muwafaqot, As-Syatibhi juga menulis sebuah kajian menarik
tentang persoalan metode maudhu’i ini. Beliau berkata: “satu surat, walaupun
memiliki hukum dan makna yang berbeda, tetapi sessungguhnya memiliki tujuan
yang seragam”.
Dan menjadi kewajiban semua umat Islam
untuk membumikan al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita
semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya
adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya
interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan
kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.
Adapun untuk menghimpun seluruh ayat yang berkaitan
dengan satu tema besar, dengan mengumpulkan ayat-ayat yang serupa maka
digunakanlah metode maudhu’i ini
PEMBAHASAN
A.
Landasan Teori
Kata
maudhu’i yang dinisbatkan pada kata al-maudhu’, yang berarti topik atau
materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Dalam kamus al-Munawir dijelaskan
bahwa kata maudhu’ adalah derivasi dari kata wadha’a yang
berkedudukan sebagai isim maf’ul yang berarti masalah.[1]
Secara semantik, tafsir maudhu’i berarti penafsiran al-Qur’an menurut tema atau
topik tertentu. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan tafsir
tematik.[2]
Yang
dimaksud dengan metode tematik ialah cara mengkaji dan mempelajari ayat
al-Qur'an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai maksud sama,
dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah menyusunnya berdasar
kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai
memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[3]
Metode
tafsir maudhû’iy juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu
menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti,
sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi
serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan
keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir
melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhû’iy, dimana ia melihat
ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu
yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan,
sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul
menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam
dan dapat menolak segala kritik.[4]
1.
Cara Kerja Tafsir Maudhû’iy
Al-Farmawi
di dalam kitab Al-Bidâyah fî al-Tafsir al-Maudhû’iy.[5]. Secara
rinci mengemukakan cara kerja yang h`arus ditempuh dalam menyusun suatu karya
tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
- memilih / menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji secara maudhû’iy (tematik)
- melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
- menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl.
- mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
- menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
- melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
- mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘âm dan khash, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.[6]
- menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap masalah yang dibahas. [7]
2.
Kelebihan dan Kekurangan
Metode Maudhû’iy
Kelebihan Metode Maudhû’iy
a.
hasil tafsir maudhû’iy
memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis,
sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa
al-quran hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
b.
sebagai jawaban terhadap tuntutan
kehidupan yang selalu berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan
terhadap al-Quran.
c.
studi terhadap ayat-ayat terkumpul
dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fashâhah
dan balâghahal-Qurân.
d.
kemungkinan untuk mengetahui satu
permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
e.
tafsir maudhû’iy lebih tuntas
dalam membahas masalah.
Kekurangan
Metode Maudhû’iy
a.
Mungkin melibatkan pikiran dalam
penafsiran terlalu dalam.
b.
Tidak menafsirkan segala aspek yang
dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik
pembahasan saja.
Yang dimaksudkan di sini
ialah mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang
mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat
dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersamaan dalam satu ayat.
Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, misalnya, maka mau tak mau ayat
tentang shalat harus ditinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar ridak
menganggu pada waktu melakukan analisis.
c. Membatasi pemahaman
ayat
Dengan ditetapkannya
judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalah
yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufasir terikat oleh judul itu. Padahal tidak
mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek. Dengan demikian,
dapat menimbulkan kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang digambarkan itu
memang merupakan konsekuensi logis dari metode tematik.[8]
Keistimewaan Tafsir Tematik Menuntaskan Persoalan Masyarakat
Kontemporer
Dari
paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir tematik mempunyai keistimewaan di
dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya,
antara lain :
1.
Menafsirkan ayat dengan
ayat atau dengan hadis Nabi adalah suatu cara terbaik di dalam menafsirkan
Al-Qur’an,
2.
Kesimpulan yang dihasilkan
oleh metode tematik mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca
kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pem bahasan terperinci
dalam satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat membawa kita kepada pendapat
Al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya.
Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup.
3.
Metode ini memungkinkan
seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam
Al-Qura’an, sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan masyarakat.[9]
3.
Bentuk kajian Tafsir Maudhû’iy
Di sini tafsir maudhû’iy mempunyai dua bentuk, yaitu
a) Yaitu membahas
satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang
bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang
dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh
dan cermat.
Menurut M.
Quraish Shihab, biasanya kandungan pesan suatu surah diisyaratkan oleh nama
surah tersebut, selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasulullah s.a.w.
Ia mencontohkan surah al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu
dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari
kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa surah itu
dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya.
Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat di
dalam surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungan
itu.
Tafsir maudhû’iy
dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir
periode klasik, seperti Fakhr ad-Din al-Razi. Namun, pada masa belakangan
beberapa ulama tafsir lebih menekuninya secara serius.
Tafsir yang
menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu
masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di
bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhû’iy.
b) Upaya
mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya itu pada akhirnya akan
mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah
tertentu menurut pandangan al-Quran.
Bahkan
melalui metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan
dibahas dengan tujuan menemukan pandangan al-Quran mengenai hal tersebut.
Bentuk kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah
tafsir maudhû’iy itu diucapkan.
B. Contoh Penafsiran dengan
Menggunakan Metode Maudhu’i
Metode Pertama
1.
Memilih / menetapkan
masalah al-Quran yang akan dikaji secara maudhû’iy (tematik)
Tema = Tujuan Pendidikan Dalam Al-Quran
: Kajian Surat al Furqan ayat 63-77
Kurikulum
di Indonesia saat ini mengacu pada pola pendidikan Barat. Beberapa hal yang
tampak dari perumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan tokoh-tokoh Barat,
bahwa tekanan utama pendidikan diarahkan pada pengembangan kemampuan
intelektual anak didik, dan juga mengasah aspek emosionalnya. Bahkan pendidikan
yang dilakukan sama sekali tidak mengenal nilai-nilai spiritual atau ideal
transendental. Artinya pendidikan yang diterapkan bercorak sekularistis yang
mana nilai-nilai keagamaan tidak mendapatkan tempat dalam proses tersebut. Hal
ini dikarenakan anggapan mereka yang mengatakan bahwa nilai-nilai spiritual
adalah hal yang natural serta manusiawi, dan merupakan urusan masing-masing
individu.
Rumusan
tujuan yang ditawarkan pendidikan Barat tersebut tentu kurang mencakup terhadap
keseluruhan aspek pertumbuhan/perkembangan anak didik yang hendak dibina menjadi
manusia seutuhnya lahir dan batin. Sehingga Pendidikan Islam merumuskan kembali
tujuan pendidikan melalui Surat Al Furqan ayat 63-77 yang tanpa mengabaikan
nilai-nilai keagamaan dan lebih universal dibanding pendidikan Barat.
Pembentukan kepribadian mulia bagi setiap peserta didiknya dan menjadi hamba
Allah yang beriman dan bertakwa.
2.
Melacak dan menghimpun
ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah
dan Madaniyyah
Surat
al-Furqan yang keseluruhan berjumlah 77 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah. Kelompok ayat-ayat yang digunakan
adalah ayat terakhir surat al-Furqan yakni antara ayat 63-77, terdiri dari 15
ayat yang sering disebut dengan ayat-ayat ibad ar Rahman.Berikut
terjemahan surat al-Furqan ayat 63-77, yaitu :
63. dan hamba-hamba Tuhan yang Maha
Penyayang itu (ialah) orang-orangyang berjalan di atas bumi dengan rendah hati
dan apabila orang-orangjahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yangmengandung) keselamatan.
64. dan orang yang melalui malam hari
dengan bersujud dan berdiri untukTuhan mereka.
65. dan orang-orang yang berkata:
"Ya Tuhan Kami, jauhkan azabJahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu
adalah kebinasaanyang kekal".
66. Sesungguhnya Jahannam itu
seburuk-buruk tempat menetap dan tempatkediaman.
67. dan orang-orang yang apabila
membelanjakan (harta), mereka tidakberlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.
68. dan orang-orang yang tidak menyembah
Tuhan yang lain beserta Allahdan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya)kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang
siapayang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat
(pembalasan)dosa(nya),
69. (yakni) akan dilipat gandakan azab
untuknya pada hari kiamat dan Diaakan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan
terhina,
70. kecuali orang-orang yang bertaubat,
beriman dan mengerjakan amalsaleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah
dengan kebajikan. Danadalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
71. dan orang-orang yang bertaubat dan
mengerjakan amal saleh, MakaSesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan
taubat yang sebenarbenarnya.
72. dan orang-orang yang tidak
memberikan persaksian palsu, dan apabilamereka bertemu dengan (orang-orang)
yang mengerjakan perbuatanperbuatanyang tidak berfaedah, mereka lalui (saja)
dengan menjagakehormatan dirinya.
73. dan orang-orang yang apabila diberi
peringatan dengan ayat- ayatTuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai
orang- orangyang tuli dan buta.
74. dan orang orang yang berkata:
"Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepadaKami isteri-isteri Kami dan keturunan
Kami sebagai penyenang hati(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang
yang bertakwa.
75. mereka Itulah orang yang dibalasi
dengan martabat yang Tinggi (dalamsyurga) karena kesabaran mereka dan mereka
disambut denganpenghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya,
76. mereka kekal di dalamnya. syurga itu
Sebaik-baik tempat menetap dantempat kediaman.
77. Katakanlah (kepada orang-orang
musyrik): "Tuhanku tidakmengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu.
(Tetapi bagaimanakamu beribadat kepada-Nya), Padahal kamu sungguh
telahmendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)".
3.
Menyusun ayat-ayat tersebut
secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai
latar belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl.
Asbabun Nuzul ayat 68
tûïÏ%©!$#urwcqããôtyìtB«!$#$·g»s9Î)tyz#uäwurtbqè=çFø)t}§øÿ¨Z9$#ÓÉL©9$#tP§ymª!$#wÎ)Èd,ysø9$$Î/wurcqçR÷t4`tBurö@yèøÿty7Ï9ºst,ù=t$YB$rOr&ÇÏÑÈ
Artinya:“Dan orang-orang
yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allahdan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya)kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak
berzina, barang siapayang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat
(pembalasan)dosa(nya),
Al
Bukhori berkata: Musaddad menceritakan kepada kami; Yahya menceritakan kepada
kami dari Sufyan, ia berkata: Manshur dan Sulaiman menceritakan kepadaku dari
Abu Wa-il dari Abu Maisarohdari Abdullah, berkata (yakni Sufyan ats-Tsauri):
dan telah menceritakankepadaku Washil dari Abu Wa-il dari ‘Abdullah RA, (ia
berkata) :
“aku
bertanya kepada Rasulullah SAW: “Dosa manakah yang paling besar?” Rasulullah
SAW menjawab : “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, sedangkan Dialah yang
telah menjadikan dirimu”. Aku bertanya kembali:” Kemudian dosa apalagi?”. Rasul
menjawab:”Kemudian kamu membunuh anakmu karena khawatir dia akan ikut makan
bersamamu”. Aku bertanya kembali :”Kemudian dosa apalagi?”.Rasul menjawab:”jika
kamu berzina dengan istri tetanggamu.”(‘Abdullah) berkata, dan turunlah ayat
ini membenarkan perkataanRasulullah SAW. “Dan orang-orang yang tidak
menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan
Allah(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.”90
Sebab
turunnya ayat 68 diterangkan dalam hadits riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa
seorang sahabat bertanya kepada Nabi tentang dosa apa yang paling besar yang dilakukan manusia. Nabi menjawab bahwa
dosa besar bagi manusia yang menyekutukan Allah, membunuh jiwa yang hak, dan
melakukan zina. Kemudian Allah menurunkan suratal-Furqan ayat 68 yang
membenarkan jawaban Nabi, yang berisi larangan untuk berbuat syirik, membunuh
jiwa yang hak (benar) dan berzina.[10]
4.
Mengetahui korelasi
(munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
Korelasi ayat lain
dengan ayat 70 Al-Furqan
wÎ)`tBz>$s?ÆtB#uäur@ÏJtãurWxyJtã$[sÎ=»|¹Í´¯»s9'ré'sùãAÏdt6ãª!$#ôMÎgÏ?$t«Íhy;M»uZ|¡ym3tb%x.urª!$##Yqàÿxî$VJÏm§ÇÐÉÈ
Artinya:“Kecuali
orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amalsaleh; Maka itu
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.”Al Bukhori berkata: Utsman bin Abi Syaibah
menceritakan kepada kami, Jarir
menceritakan kepada kami dari Manshur, Sa`id bin Jubair menceritakan kepadaku,
dan ia berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Hakam dari Sa`id bin Jubair, ia
berkata:
“Abdurrahman
bin Abza memerintahkan aku, ia berkata, “tanyakan kepada Ibnu Abbas tentang dua
ayat ini, apa maksudnya : “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah(membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar”[11]dan
“barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja”[12].
Maka aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ia menjawab, “tatkala turun ayat dalam surat
Al Furqan, berkatalah kaum musyrikin Mekkah, “sungguh kami telah membunuh jiwa
yang telah Allah haramkan (membunuhnya) dan kami menyembah tuhan yang lain
bersama Allah dan kami telah berbuat keji (zina).” Maka, Allah menurunkan ayat
: “kecuali orang-orang yangbertaubat”. Adapun ayat yang ada dalam surat
an-Nisa`, (maksudnya) apabila seseorang telah mengenal Islam dan
syariat-syariatnya kemudian ia membunuh, maka balasannya adalah jahannam ia
kekal di dalamnya.Aku lalu menyebutkannya kepada Mujahid dan ia berkata,
‘kecuali orang yang menyesal (bertaubat)’.”[13]
Hadits
ini menjelaskan bahwa barangsiapa yang melakukan hal-hal yang diharamkan oleh
Allah (seperti yang telah disebutkan pada ayat 68) maka balasannya adalah
ditempatkan di neraka jahannam. Namun,kemudian Allah menurunkan ayat 70 yang
menyatakan bahwa hal itu terkecuali bagi orang-orang yang bertaubat kepada
Allah dengan sungguh-sungguh dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
5.
Menyusun tema bahasan di
dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline)
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Batasan Masalah
F. Metode Penelitian
G. Tinjauan Pustaka
H. Sistematika Pembahasan
SURAT AL FURQAN AYAT 63-77
BESERTAPENAFSIRANNYA
A. Deskripsi Surat Al Furqan Ayat 63-77
1. Karakteristik Surat Al Furqan Ayat
63-77
2. Asbabun Nuzul Ayat-ayat
B. Penafsiran Mufassirin atas Ayat 63-77
TUJUAN PENDIDIKAN DALAM SURAT AL-FURQAN
AYAT 63-77
A.Membentuk pribadi yang berakhlak mulia
B. Memantapkan aspek aqidah
C. Menanamkan konsistensi dalam
melaksanakan ajaran agama
D.Menumbuhkan sikap kesederhanaan dan
keseimbangan
E. Mengembangkan aspek intelektualitas
F. Meningkatkan kualitas kesalehan
keluarga dan masyarakat
PENUTUP
A. Kesimpulan
B.
Saran-saran
6.
Melengkapi pembahasan dan
uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin
sempurna dan semakin jelas.
Hadits yang menguatkan
Al Furqan ayat 74
ûïÏ%©!$#urcqä9qà)t$oY/uó=yd$oYs9ô`ÏB$uZÅ_ºurør&$oYÏG»Íhèurno§è%&úãüôãr&$oYù=yèô_$#urúüÉ)FßJù=Ï9$·B$tBÎ)ÇÐÍÈ
Artinya :“Dan orang
orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlahkepada Kami isteri-isteri
Kami dan keturunan Kami sebagai penyenanghati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam
bagi orang-orang yangbertakwa.”
Al-Maraghi
menjelaskan penafsiran ayat ini, bahwa hamba-hambaar-Rahman yang
dimaksud adalah,
“Orang-orang
yang memohon kepada Allah agar
melahirkan keturunan yang taat dan beribadah kepada-Nya semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang
lain. Orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman, apabila melihat
keluarganya sama dengannya, taat kepada Allah, maka dia akan merasa senang dan
gembira, dia mengharapkan mereka dapat berguna baginya di dunia selama hidup
dan matinya serta bertemu dengannya di akhirat. Mereka juga memohon kepada
Allah agar Allah menjadikan mereka para imam yang diteladani dalam menegakkan
panji-panji agama dengan menganugerahkan ilmu yang luas kepada mereka, dan memberi
taufik kepada mereka untuk mengerjakan amal saleh.”
Dijelaskan
pula Quraish Shihab bahwa ayat ini menyatakan hamba-hamba Allah tersebut adalah
mereka yang juga senantiasa berkata yakni berdoa setelah berusaha dengan: wahai
Tuhan kami, anugerahkan buat kami, dari pasangan-pasangan hidup kami yakni
suami atau istri serta anak keturunan kami, kiranya mereka semua menjadi
penyejuk-penyejuk mata kami, dan orang lain melalui budi pekerti dan
karya-karya mereka yang terpuji, dan jadikanlah kami yakni yang berdoa bersama
pasangan dan anak keturunannya.[14]
Dalam
tafsir Munir pun, az-Zuhaily menyatakan bahwa, Mereka adalah orang berdoa
sepenuh hati kepada Tuhan mereka agar diberi anugerah istri-istri sholihah dan
anak-anak yang beriman, shaleh, memberikan petunjuk pada Islam dan melakukan
kebaikan, menjauhkan dari keburukan, mampu menyejukkan mata mereka. Karena
sesungguhnya orang mukmin jika melihat seseorang yang perbuatan mereka
dilandasi taat kepada Allah maka menjadikan penyejuk mata mereka, dan
merekaberdoa pula kepada-Nya agar menjadikannya pemimpin dalam kebaikan,ataupun
pemimpin- pemimpin agama.[15]
Kata
qurrah pada mulanya berarti dingin. Yang dimaksud disini adalah
menggembirakan. Sehingga dipahami bahwa istri yang sholihah dan anak-anak yang
sholih yang dimilikinya tersebut dapat memberikan kegembiraan, menyejukkan
hati, sebab senantiasa dapat memberikan manfaat kepada suami, baik di dunia dan
di akhirat. Yang mana dari istri-istri shalehah tersebut, maka diharapkan akan
lahir anak-anak yang saleh dan shalehah pula.
Kemanfaatan
tersebut bukan hanya didapat dalam kehidupan saja, namun juga akan tetap
mengalir hingga dia sudah meninggal seperti diterangkan Rasulullah SAW. dalam
sabdanya:[16]
Artinya :
“Apabila manusia
meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara yakni,
ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dananak shaleh yang mendoakan kedua
orang tuanya.”
Hadits
ini menerangkan bahwa kemanfaatan yang didapat dari anak-anak yang saleh adalah
mereka yang senantiasa berdoa untuk orangtuanya hingga kematiannya. Sehingga
amal kedua orang tuanya tetapmengalir meskipun sudah meninggal.
Secara
ringkasnya dalam ayat ini menerangkan hamba-hamba ar-Rahman adalah
mereka yang selalu memohon atas dua perkara kepadaAllah, yakni agar Allah
memberi mereka istri dan keturunan yang beribadah hanya kepada-Nya sehingga
terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan agar Allah menjadikan mereka
sebagai para pemberi petunjukdan keteladanan dalam hal kebaikan (urusan-urusan
agama) bagi orangorang yang mau mengikuti petunjuk. Sifat hamba Allah tersebut mengindikasikan
tidak hanya terbatas pada upaya penghiasan diri sendiri. 179 HR. Muslim, Hadits
nomor 1631
7. Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran
terhadap masalah yang dibahas. [17]
Dari seluruh uraian
pendapat para mufassir, maka dapat disimpulkan bahwa al Furqan ayat 63-77 yang
menjelaskan tentang sifat-sifat Ibad ar Rahman, yaitu sebagai berikut :
a. Tawadhu’
b. Membalas kejelekan dengan kebaikan
c. Senantiasa tahajud di keheningan malam
d. Ketakutan mereka terhadap adzab Allah
e. Tidak berlebihan dalam membelanjakan harta
f. Tidak menyekutukan Allah
g. Tidak membunuh
h. Tidak berzina
i. Tidak bersumpah palsu
j. Tidak melakukan perbuatan yang tidak berfaedah
k. Ketenangan dalam berkeluarga dan keturunan yang saleh
l. Senantiasa mengharapkan taufik dari Allah
Sehingga balasan bagi hamba
ar-Rahman tersebut tertuang pada ayat terakhir, yang menjelaskan bahwa
perhatian yang diberikan Allahkepada hamba-hamba-Nya berupa pemberian martabat
tinggi tersebut dikarenakan ibadah yang dilakukannya, bukan oleh sebab lain.
Tanpa beribadah mereka tidak memiliki sedikit bobot dan tidak akan mendapat perhatian-Nya.
Pendidikan memiliki
tujuan, sehingga proses yang dilakukan dapat terarah. Melalui pembahasan surat
al Furqan ayat 63-77 dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan Pendidikan Islam itu
mengarah pada pembentukan sifat-sifat Ibad ar Rahman. Dalam konteks ini
dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Membentuk pribadi yang berakhlak mulia
b. Memantapkan aspek aqidah
c. Menanamkan konsistensi dalam melaksanakan syariat agama
d. Menumbuhkan sikap kesederhanaan dan keseimbangan
e. Mengembangkan aspek intelektualitas
f.
Meningkatkan kualitas kesalehan
keluarga dan masyarakat
Metode Kedua
Kajian Tafsir Tematik: Ar-Radha'ah
Pengertian Ar-Radha’ah
Secara
bahasa Ar-Radha’ah ( perbuatan penyusuan ) memiliki arti
لمص الثدي وشرب لبنه yaitu menghisap Areola
Mamma dan meminum susunya
Adapun dari segi istilah adalah
perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan susu seseorang perempuan atau susu
yang masuk kedalam perut dan mengesani otak seorang anak.
Secara etimologis Ar-Radha’ah adalah
sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang,
bukan pengkhususan isapan susu oleh bayi manusia. Adapun dalam pengertian
terminologis, sebagian ulama fiqh mendefiniskan Ar-Radha’ah sebagai sampainya (
masuknya ) air susu manusia ( perempuan ) kedalam perut seorang anak ( bayi )
yang belum berusia dua tahun 24 bulan.
Dasar Hukum Ar-Radha’ah
a.
Menurut Sumber
Hukum Al-Qur’an
Setidak-tidaknya
ada enam buah ayat dalam al-Qur’ân yang membicarakan perihal penyusuan anak
(ar-radha’ah). Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik
pembicaraan yang berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan hukum
yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat ini,
Ar-Radha’ah juga mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan
ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’ân maupun al-Hadits, kedua-duanya sangat
berarti bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”.
Al-Baqarah
: 233
233.
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi
yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan
pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban
demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Secara
umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk Allah SWT kepada
para ibu agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara sempurna, yakni selama
dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban suami memberi
makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang menyusui dengan cara yang ma’ruf.
Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak (sebelum dua tahun) asalkan dengan
kerelaan dan permusyawaratan suami dan istri. Keempat, adanya kebolehan
menyusukan anak kepada perempuan lain (al-murdhi’ah).
QS.
An-Nisa’ : 23
23.
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan2;
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat
ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak (ar-radha’ah) dapat menyebabkan
ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui (al-murdhi’ah) dan garis
keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya (ar-radhi’).
QS.
Al-Hajj : 2
2.
(ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua
wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan
segala wanita yang hamil, dan kamu Lihat manusia dalam Keadaan mabuk, Padahal
sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.
QS.
Al-Qashas : 7
7.
dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu
khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil).
dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena
Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah
seorang) dari Para rasul.
QS.
Al-Qashas : 12
12.
dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau
menyusui(nya) sebelum itu; Maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku
tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat
Berlaku baik kepadanya?".
Tiga
ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang menyusui anaknya dalam
sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi Musa. Dijelaskan betapa
pentingnya air susu ibu (kandung) untuk anaknya, hingga Nabi Musa kecil dicegah
oleh Allah untuk menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatan
goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknya akan
lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.
QS.
At-Thalaq : 6
6.
tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika
mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya,
dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu
menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Sementara
ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan anak. Pertama,
dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang suami bagi sang
istri muthallaqah (yang sudah ditalak) jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar
kewajiban nafkah yang memang harus diberikan selama belum habis masa ‘iddah. Kedua,
adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang perempuan yang menyusukan
anak orang lain, asalkan dimusyawarahkan secara baik dan adil.
b.
Menurut Sumber
Hukum Al-Hadits (Bilangan dan Kadar Susuan yang dapat Menjadikan Mahram)
عن
عائشة الله ر.ض قالت:قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تحرم المصة أ المصتان
(رواه مسلم)
Dari
Aisyah Mengatakan bahwa?.” Nabi SAW bersabda: “ Sekali susuan atau dua kali
susuan atau sekali hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan
mahram.”(Riwayat Muslim)
Dari
Ummu Fadhl Mengatakan bahwa “Seorang Arab pedalaman datang kepada Nabi yang
ketika itu beliau ada dirumahku, lalu orang itu berkata, “Wahai Nabi! Saya
mempunyai seorang isteri, lalu saya menikah lagi. Kemudian Isteriku yang
meyakini bahwa dia pernah menyusui isteriku yang muda dengan sekali atau dua
kali susuan?.” Nabi SAW
bersabda: “ Sekali hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan
mahram.”(Riwayat Muslim)
عن
عائشة أنها قالت كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس
معلومات فتوفي رسول الله صلى الله عليه و سلم وهن فيما يقرأ من القرآن (رواه مسلم)
Aisyah
RA berkata, semua susuan yang menyebabkan kemuhriman adalah sepuluh kali susuan
seperti yang tersebut di sebagian ayat Al Qur’an . kemudian dinasakh menjadi
lima susuan oleh ayat Al Qur’an. Setelah itu Rasulullah wafat dan ayat-ayat Al
Qur’an tetap dibaca seperti itu.” (Riwayat Muslim)
Dari
Ibnu Mas’ud R.A, dia berkata: Tida penyusuan yang dapat mengharamkan kecuali
penyusuan yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. (Riwayat Abu Dawud)
Dari
Ummu Salamah R.A, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak haram sesusuan
kecuali masuk pada usus, dan anak belum disapih. (Riwayat Tirmidzi. Di
sahihkannya bersama Hakim)
Dari
Ziyad Assahmi, dia berkata: Rasulullah SAW melarang meminta kepada perempuan
yang bodoh untuk menyusui.
( Riwayat Abu Dawud. Hadits ini Mursal karena Ziyad bukan Sahabat)
Dari
beberapa hadis diatas ada beberapa hal yang dapat kita garis bawahi, antara
lain adalah:
a)
Bahwa sekali atau dua kali hisapan atau susuan tidaklah
mengakibatkan terjadinya mahram.
b)
Kedua yang mengakibatkan Mahram adalah tiga kali hisapan
atau susuan. ini berdasarkan hadis yang disampaikan Ummu Fadhl, dan pendapat
ini adalah dari Abu Tsaur, Ibnu Munzir, dan Daud serta Ahmad dalam suatu
riwayat lain.
c)
Bahwa yang dapat mengakibatkan Mahram adalah lima kali
Susuan keatas, karena itu merupakan batas rasa lapar bagi bayi. ini yang
dikemukakan beberapa Ulama dikalangan Sahabat seperti, Ibnu Mas’ud, Ibnu
Zubair, Atha’, dan Thawus, serta ulama Mazhab Yaittu Asy-Syafi’I, dan Ahmad.
ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Aisyah.
d)
Dan Bahwa penyusuan yang mengharamkan juga harus masuk ke
usus dan dapat menguatkan tulang.
e)
Anak tidak boleh disusukan pada perempuan yang kurang
cerdas.
c.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya terdapat unsur-unsur dan
batasan-batasan untuk bisa dikatakan Ar-Radha’ah, yaitu :
a) Adanya
air susu manusia (perempuan);
b)
Air susu itu
masuk kedalam perut seorang bayi;
c)
Bayi tersebut
belum berusia dua tahun.
Sedangkan
untuk kadar susuan yang dapat menjadikan mahram terdapat dua pendapat, yaitu :
a)
Hanafi dan
Maliki berpendapat : Jika dilihat dari tafsir QS. An-Nisa’ : 23, dapat
dikatakan bahwa penyusuan tidak ada batasan yang tegas, karena menurut mereka
yang penting adalah air susu yang diisap itu sampai ke perut anak, sehingga
memberikan energi dalam pertumbuhan anak.
b)
Syafi’i dan
Hambali berpendapat : Jika ditinjau dari hadist riwayat dari Aisyah binti Abu
Bakar, bahwasanya kadar susuan yang bisa mengharamkan nikah adalah tidak kurang
dari sekali atau dua kali hisapan atau susuan.
Bagi para ibu apabila sang ibu tidak
memungkinkan untuk menyusui anaknya, maka hendaklah disusukan anaknya kepada
perempuan lain yang jelas idetitasnya dan baik ahklaknya, dan jika ingin
disusukan anaknya hendaklah diadakan perjanjian sebelumnya, agar tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan[18]
PENUTUP
Secara singkat Tafsir Tematik atau
tafsir maudhu`i dapat diformulasikan sebagai suatu Tafsir yang
berusaha mencari jawaban-jawaban Alquran tetang suatu masalah dengan jalan
menghimpunkan ayat-ayat yang berkaitan dengannya, serta menganalisa melalui
ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah-masalah yang dibahas, sehingga
dapat melahirkan konsep-konsep yang utuh dari Alquran tetang berbagai masalah.
Metode yang relative baru dan dianggap aktual dalam penafsiran Alquran berangkat
dari suatu kesatuan yang logis dan saling berkaitan antara satu sama lainnya.
Jadi tidak ada satupun kontradiksi ayat-ayat Alquran, hal ini semakin jelas sebagaimana
yang ditegaskan pula didalam Alquran itu sendiri. Asumsi dasar ini berkaitan dengan
prinsip yang amat masyhur dikalangan mufassir yaitu
Alquranيفسر بعضه
بعضا yaitu bahwa sebagian ayat
Alqura diTafsirkan dengan ayat yang lain.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Farmawi, Abdul Hayy, 2002, al-Bidayah
fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (penerjemah) Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’I,
Bandung: Pustaka Setia.
Alfatih
Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.
Ahmad
Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, tt: Tafakur, t.t.
David
S. Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa mansûkhuhu,” dalam Andrew
Rippin, Approach to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford:
Clarendon Press, 1988
Khaeruman, Badri, 2004, Sejarah
Perkembangan Tafsir al-Qur'an, Bandung: CV Pustaka Setia
M.
Quraish Shihab, 1999, Membumikan al-Quran, cet. Ke xix , Bandung: Mizan,
Metode
Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. Oleh Suryan A. Jamrah.Jakarta:
Rajawali Pers, 1996.
Munawir, Ahmad Warson, 2002, Kamus
al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif.
Rohimin, 2007, Metodologi Ilmu Tafsir
dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shihab, M. Quraish, dkk, 2001, Sejarah
dan ‘Ulumu al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shihab,
M.Quraish. 1994. Membumikan Al Qur`an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Masyarakat, Bandung,
Syaikh
al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al Wadi’i, as-Shahih al-Musnad min Asbab an
Nuzul, Cet II. terj. Agung Wahyu LC, (Meccah, 1994)
Usman, 2009, Ilmu tafsir,
Yogyakarta: Teras.c
http://irawan-elazzam.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-tematik-ar-radlaah_5097.html
diunduh tanggal 15 januari 2013
[1]Ahmad
Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka
Progresif, Surabaya, 2002, hlm. 1565
[2]Usman,
Ilmu tafsir, Teras, Yogyakarta, 2009, h. 311
[3]Rohimin,
Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2007, hlm, 75
[4]Abd al-Hayy al-Farmawiy. Metode
Tafsir Maudhu’i, h. 36-37.
[5]Ibid., h. 45-46
[6]M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi
Ilmu Tafsir, h. 48
[7]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu
Tafsir, (t.tp.: Tafakur, t.t.), h. 116
[8]Nasruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an,……. hlm. 165-169
[9]M.Quraish Shihab, Membumikan
Al-Qur’an, Hlm 17
[10]Syaikh
al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al Wadi’i, as-Shahih al-Musnad min Asbab
anNuzul, Cet II. terj. Agung Wahyu LC, (Meccah, 1994), hlm. 294-295
[11]QS. Al An`aam/6 : 151
[12]QS. An Nisa`/4: 93
[13]Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin
Hadi al-Wadi`i, op.cit., hlm. 297-298
[14]M.QuraishShihab,
Membumikan Al Qur`an : Fungsi dan Peran Wahyu
dalam
Masyarakat,
Bandung: Mizan. 1994.hal,544-545
[15]Az Zuhailiy,
Wahbah. 1991. Tafsir Al Munir, fi Al Aqidah wa Al Syariah wa al
Manhaj
Jilid X.
Dimasyq: Dar Al Fikr178 hal, 123
[16]HR. Muslim, Hadits nomor 1631
[17]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu
Tafsir, (t.tp.: Tafakur, t.t.), h. 116
[18]
http://irawan-elazzam.blogspot.com/2013/01/kajian-tafsir-tematik-ar-radlaah_5097.html
diunduh tanggal 15 januari 2013
Usaha yang lumayan, cukup bagus.....
BalasHapususaha yang lumayan, bagus ......
BalasHapus