Sabtu, 19 Januari 2013

TAFSIR MAUDHU’I (Kajian Tematik Dalam Al-Quran)



TAFSIR MAUDHU’I (Kajian Tematik Dalam Al-Quran)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas revisi mata kuliah
Studi Al Qur'an
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Syihabuddin Qalyubi




Oleh:
QIYADAH ROBBANIYAH
1220411206
ROBIAH SAIDAH
1220411162

JADWAL UJIAN TANGGAL 27 JANUARI 2013 JAM 10.00-12.00



Manajemen dan Kebijakan Pendidikan Islam
Program Pascasarjana Pendidikan Islam
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2013

TAFSIR MAUDHU’I (Kajian Tematik Dalam Al-Quran)


PENDAHULUAN
Pengkajian sebuah surat Al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh memang akan menghasilkan penafsiran yang memuaskan, apalagi di dalamnya dijelaskan misinya secara umum dan khusus, serta keterkaitan antara tema-tema yang ada sehingga akan nampak keseragamannya. Ulama yang menempuh metode penafsiran maudhu’i seperti ini diantaranya adalah Al-Alamah, Al-Fakr Razi yang amat berjasa dalam memulai penafsiran secara maudhu’i ini. Metode ini juga digunakan oleh DR. Muhammad Mahmud hijazi dalam Tafsir al-Wadhih, di dalam al-Muwafaqot, As-Syatibhi juga menulis sebuah kajian menarik tentang persoalan metode maudhu’i ini. Beliau berkata: “satu surat, walaupun memiliki hukum dan makna yang berbeda, tetapi sessungguhnya memiliki tujuan yang seragam”.
Dan menjadi kewajiban semua umat Islam untuk membumikan al-Quran, menjadikannya menyentuh realitas kehidupan. Kita semua berkewajiban memelihara Al-Quran dan salah satu bentuk pemeliharaannya adalah memfungsikannya dalam kehidupan kontemporer yakni dengan memberinya interpretasi yang sesuai tanpa mengorbankan teks sekaligus tanpa mengorbankan kepribadian, budaya bangsa, dan perkembangan positif masyarakat.
Adapun untuk menghimpun seluruh ayat yang berkaitan dengan satu tema besar, dengan mengumpulkan ayat-ayat yang serupa maka digunakanlah metode maudhu’i ini

PEMBAHASAN
A.       Landasan Teori
Kata maudhu’i yang dinisbatkan pada kata al-maudhu’, yang berarti topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Dalam kamus al-Munawir dijelaskan bahwa kata maudhu’ adalah derivasi dari kata wadha’a yang berkedudukan sebagai isim maf’ul yang berarti masalah.[1] Secara semantik, tafsir maudhu’i berarti penafsiran al-Qur’an menurut tema atau topik tertentu. Dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan dengan tafsir tematik.[2]
Yang dimaksud dengan metode tematik ialah cara mengkaji dan mempelajari ayat al-Qur'an dengan menghimpun ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai maksud sama, dalam arti sama-sama membicarakan satu topik masalah menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat itu. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[3]
Metode tafsir maudhû’iy juga disebut dengan dengan metode tematik yaitu menghimpun ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti, sama-sama membicarakan satu topik masalah dan menyusunnya berdasar kronologi serta sebab turunnya ayat-ayat tersebut. Kemudian penafsir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan. Secara khusus, penafsir melakukan studi tafsirnya ini dengan metode maudhû’iy, dimana ia melihat ayat-ayat tersebut dari seluruh seginya, dan melakukan analisis berdasar ilmu yang benar, yang digunakan oleh pembahas untuk menjelaskan pokok permasalahan, sehingga ia dapat memahami permasalahan tersebut dengan mudah dan betul-betul menguasainya, sehingga memungkinkan baginya untuk memahami maksud yang terdalam dan dapat menolak segala kritik.[4]
1.      Cara Kerja Tafsir Maudhû’iy
Al-Farmawi di dalam kitab Al-Bidâyah fî al-Tafsir al-Maudhû’iy.[5]. Secara rinci mengemukakan cara kerja yang h`arus ditempuh dalam menyusun suatu karya tafsir berdasarkan metode ini. Antara lain adalah sebagai berikut:
  1. memilih / menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji secara maudhû’iy (tematik)
  2. melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
  3. menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl.
  4. mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
  5. menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline).
  6. melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
  7. mempelajari ayat-ayat tersebut secara tematik dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian ‘âm dan khash, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, menyingkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nâsikh dan mansûkh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna yang kurang tepat.[6]
  8. menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap masalah yang dibahas. [7]
2.      Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhû’iy
Kelebihan Metode Maudhû’iy
a.     hasil tafsir maudhû’iy memberikan pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan hidup praktis, sekaligus memberikan jawaban terhadap tuduhan/dugaan sementara orang bahwa al-quran hanya mengandung teori-teori spekulatif tanpa menyentuh kehidupan nyata.
b.     sebagai jawaban terhadap tuntutan kehidupan yang selalu berobah dan berkembang, menumbuhkan rasa kebanggaan terhadap al-Quran.
c.     studi terhadap ayat-ayat terkumpul dalam satu topik tertentu juga merupakan jalan terbaik dalam merasakan fashâhah dan balâghahal-Qurân.
d.     kemungkinan untuk mengetahui satu permasalahan secara lebih mendalam dan lebih terbuka.
e.     tafsir maudhû’iy lebih tuntas dalam membahas masalah.
Kekurangan Metode Maudhû’iy
a.     Mungkin melibatkan pikiran dalam penafsiran terlalu dalam.
b.     Tidak menafsirkan segala aspek yang dikandung satu ayat, tetapi hanya salah satu aspek yang menjadi topik pembahasan saja.
Yang dimaksudkan di sini ialah mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda. Misalnya, petunjuk tentang shalat dan zakat. Biasanya kedua ibadah itu diungkapkan bersamaan dalam satu ayat. Apabila ingin membahas kajian tentang zakat, misalnya, maka mau tak mau ayat tentang shalat harus ditinggalkan ketika menukilkannya dari mushaf agar ridak menganggu pada waktu melakukan analisis.
c.     Membatasi pemahaman ayat
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalah yang dibahas tersebut. Akibatnya, mufasir terikat oleh judul itu. Padahal tidak mustahil satu ayat itu dapat ditinjau dari berbagai aspek. Dengan demikian, dapat menimbulkan kesan kurang luas pemahamannya. Kondisi yang digambarkan itu memang merupakan konsekuensi logis dari metode tematik.[8]
Keistimewaan Tafsir Tematik Menuntaskan Persoalan Masyarakat Kontemporer
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa tafsir tematik mempunyai keistimewaan di dalam menuntaskan persoalan-persoalan masyarakat dibandingkan metode lainnya, antara lain :
1.     Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi adalah suatu cara terbaik di dalam menafsirkan Al-Qur’an,
2.     Kesimpulan yang dihasilkan oleh metode tematik mudah dipahami. Hal ini disebabkan ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Qur’an tanpa mengemukakan berbagai pem bahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu.Dengan demikian ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Qur’an tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban-jawabannya. Hal ini membuktikan bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk hidup.
3.     Metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Qura’an, sekaligus membuktikan bahwa Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.[9]
3.      Bentuk kajian Tafsir Maudhû’iy
Di sini tafsir maudhû’iy mempunyai dua bentuk, yaitu
a)    Yaitu membahas satu surat secara menyeluruh dan utuh dengan menjelaskan maksudnya yang bersifat umum dan khusus, menjelaskan korelasi antara berbagai masalah yang dikandungnya, sehingga surat itu tampak dalam bentuknya yang betul-betul utuh dan cermat.
Menurut M. Quraish Shihab, biasanya kandungan pesan suatu surah diisyaratkan oleh nama surah tersebut, selama nama tersebut bersumber dari informasi Rasulullah s.a.w. Ia mencontohkan surah al-Kahfi, yang secara harfiah berarti gua. Gua itu dijadikan tempat berlindung oleh sekelompok pemuda untuk menghindar dari kekejaman penguasa zamannya. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa surah itu dapat memberi perlindungan bagi yang menghayati dan mengamalkan pesan-pesannya. Itulah pesan umum surah tersebut. Ayat atau kelompok ayat yang terdapat di dalam surah itu kemudian diupayakan untuk dikaitkan dengan makna perlindungan itu.
Tafsir maudhû’iy dalam bentuk pertama ini sebenarnya sudah lama dirintis oleh ulama-ulama tafsir periode klasik, seperti Fakhr ad-Din al-Razi. Namun, pada masa belakangan beberapa ulama tafsir lebih menekuninya secara serius.
Tafsir yang menghimpun sejumlah ayat dari berbagai surat yang sama-sama membicarakan satu masalah tertentu; ayat-ayat tersebut disusun sedemikian rupa dan diletakkan di bawah satu tema bahasan, dan selanjutnya ditafsirkan secara maudhû’iy.
b)   Upaya mengaitkan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya itu pada akhirnya akan mengantarkan mufassir kepada kesimpulan yang menyeluruh tentang masalah tertentu menurut pandangan al-Quran.
Bahkan melalui metode ini, mufassir dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di dalam benaknya dan menjadikannya sebagai tema-tema yang akan dibahas dengan tujuan menemukan pandangan al-Quran mengenai hal tersebut. Bentuk kedua inilah yang lazim terbayang di benak kita ketika mendengar istilah tafsir maudhû’iy itu diucapkan.
B.       Contoh Penafsiran dengan Menggunakan Metode Maudhu’i
       Metode Pertama
1.    Memilih / menetapkan masalah al-Quran yang akan dikaji secara maudhû’iy (tematik)
Tema = Tujuan Pendidikan Dalam Al-Quran : Kajian Surat al Furqan ayat 63-77
Kurikulum di Indonesia saat ini mengacu pada pola pendidikan Barat. Beberapa hal yang tampak dari perumusan tujuan pendidikan yang dikemukakan tokoh-tokoh Barat, bahwa tekanan utama pendidikan diarahkan pada pengembangan kemampuan intelektual anak didik, dan juga mengasah aspek emosionalnya. Bahkan pendidikan yang dilakukan sama sekali tidak mengenal nilai-nilai spiritual atau ideal transendental. Artinya pendidikan yang diterapkan bercorak sekularistis yang mana nilai-nilai keagamaan tidak mendapatkan tempat dalam proses tersebut. Hal ini dikarenakan anggapan mereka yang mengatakan bahwa nilai-nilai spiritual adalah hal yang natural serta manusiawi, dan merupakan urusan masing-masing individu.
Rumusan tujuan yang ditawarkan pendidikan Barat tersebut tentu kurang mencakup terhadap keseluruhan aspek pertumbuhan/perkembangan anak didik yang hendak dibina menjadi manusia seutuhnya lahir dan batin. Sehingga Pendidikan Islam merumuskan kembali tujuan pendidikan melalui Surat Al Furqan ayat 63-77 yang tanpa mengabaikan nilai-nilai keagamaan dan lebih universal dibanding pendidikan Barat. Pembentukan kepribadian mulia bagi setiap peserta didiknya dan menjadi hamba Allah yang beriman dan bertakwa.

2.    Melacak dan menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah yang telah ditetapkan, ayat Makkiyyah dan Madaniyyah
Surat al-Furqan yang keseluruhan berjumlah 77 ayat, termasuk golongan surat-surat  Makkiyah. Kelompok ayat-ayat yang digunakan adalah ayat terakhir surat al-Furqan yakni antara ayat 63-77, terdiri dari 15 ayat yang sering disebut dengan ayat-ayat ibad ar Rahman.Berikut terjemahan surat al-Furqan ayat 63-77, yaitu :
63. dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orangyang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orangjahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yangmengandung) keselamatan.
64. dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untukTuhan mereka.
65. dan orang-orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, jauhkan azabJahannam dari Kami, Sesungguhnya azabnya itu adalah kebinasaanyang kekal".
66. Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempatkediaman.
67. dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidakberlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian.
68. dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allahdan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapayang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan)dosa(nya),
69. (yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Diaakan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina,
70. kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amalsaleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Danadalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
71. dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, MakaSesungguhnya Dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenarbenarnya.
72. dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabilamereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatanperbuatanyang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjagakehormatan dirinya.
73. dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat- ayatTuhan mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang- orangyang tuli dan buta.
74. dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlah kepadaKami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati(Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.
75. mereka Itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang Tinggi (dalamsyurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut denganpenghormatan dan Ucapan selamat di dalamnya,
76. mereka kekal di dalamnya. syurga itu Sebaik-baik tempat menetap dantempat kediaman.
77. Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): "Tuhanku tidakmengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadatmu. (Tetapi bagaimanakamu beribadat kepada-Nya), Padahal kamu sungguh telahmendustakan-Nya? karena itu kelak (azab) pasti (menimpamu)".
3.    Menyusun ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan mengenai latar belakang turunnya ayat atau asbâb an-nuzûl.
Asbabun Nuzul ayat 68
tûïÏ%©!$#urŸwšcqããôtƒyìtB«!$#$·g»s9Î)tyz#uäŸwurtbqè=çFø)tƒ}§øÿ¨Z9$#ÓÉL©9$#tP§ymª!$#žwÎ)Èd,ysø9$$Î/ŸwuršcqçR÷tƒ4`tBurö@yèøÿtƒy7Ï9ºsŒt,ù=tƒ$YB$rOr&ÇÏÑÈ
Artinya:“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allahdan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapayang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan)dosa(nya),
Al Bukhori berkata: Musaddad menceritakan kepada kami; Yahya menceritakan kepada kami dari Sufyan, ia berkata: Manshur dan Sulaiman menceritakan kepadaku dari Abu Wa-il dari Abu Maisarohdari Abdullah, berkata (yakni Sufyan ats-Tsauri): dan telah menceritakankepadaku Washil dari Abu Wa-il dari ‘Abdullah RA, (ia berkata) :
“aku bertanya kepada Rasulullah SAW: “Dosa manakah yang paling besar?” Rasulullah SAW menjawab : “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, sedangkan Dialah yang telah menjadikan dirimu”. Aku bertanya kembali:” Kemudian dosa apalagi?”. Rasul menjawab:”Kemudian kamu membunuh anakmu karena khawatir dia akan ikut makan bersamamu”. Aku bertanya kembali :”Kemudian dosa apalagi?”.Rasul menjawab:”jika kamu berzina dengan istri tetanggamu.”(‘Abdullah) berkata, dan turunlah ayat ini membenarkan perkataanRasulullah SAW. “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah(membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina.”90
Sebab turunnya ayat 68 diterangkan dalam hadits riwayat Bukhari yang menyatakan bahwa seorang sahabat bertanya kepada Nabi tentang dosa apa yang paling  besar yang dilakukan manusia. Nabi menjawab bahwa dosa besar bagi manusia yang menyekutukan Allah, membunuh jiwa yang hak, dan melakukan zina. Kemudian Allah menurunkan suratal-Furqan ayat 68 yang membenarkan jawaban Nabi, yang berisi larangan untuk berbuat syirik, membunuh jiwa yang hak (benar) dan berzina.[10]
4.    Mengetahui korelasi (munâsabah) ayat-ayat tersebut di dalam masing-masing suratnya.
Korelasi ayat lain dengan ayat 70 Al-Furqan
žwÎ)`tBz>$s?šÆtB#uäurŸ@ÏJtãurWxyJtã$[sÎ=»|¹šÍ´¯»s9'ré'sùãAÏdt6リ!$#ôMÎgÏ?$t«Íhy;M»uZ|¡ym3tb%x.urª!$##Yqàÿxî$VJŠÏm§ÇÐÉÈ
Artinya:“Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amalsaleh; Maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”Al Bukhori berkata: Utsman bin Abi Syaibah menceritakan  kepada kami, Jarir menceritakan kepada kami dari Manshur, Sa`id bin Jubair menceritakan kepadaku, dan ia berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Hakam dari Sa`id bin Jubair, ia berkata:
“Abdurrahman bin Abza memerintahkan aku, ia berkata, “tanyakan kepada Ibnu Abbas tentang dua ayat ini, apa maksudnya : “dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah(membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar”[11]dan “barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja”[12]. Maka aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ia menjawab, “tatkala turun ayat dalam surat Al Furqan, berkatalah kaum musyrikin Mekkah, “sungguh kami telah membunuh jiwa yang telah Allah haramkan (membunuhnya) dan kami menyembah tuhan yang lain bersama Allah dan kami telah berbuat keji (zina).” Maka, Allah menurunkan ayat : “kecuali orang-orang yangbertaubat”. Adapun ayat yang ada dalam surat an-Nisa`, (maksudnya) apabila seseorang telah mengenal Islam dan syariat-syariatnya kemudian ia membunuh, maka balasannya adalah jahannam ia kekal di dalamnya.Aku lalu menyebutkannya kepada Mujahid dan ia berkata, ‘kecuali orang yang menyesal (bertaubat)’.”[13]
Hadits ini menjelaskan bahwa barangsiapa yang melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah (seperti yang telah disebutkan pada ayat 68) maka balasannya adalah ditempatkan di neraka jahannam. Namun,kemudian Allah menurunkan ayat 70 yang menyatakan bahwa hal itu terkecuali bagi orang-orang yang bertaubat kepada Allah dengan sungguh-sungguh dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama.
5.    Menyusun tema bahasan di dalam kerangka yang pas, sistematis, sempurna dan utuh (outline)
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Kegunaan Penelitian
E. Batasan Masalah
F. Metode Penelitian
G. Tinjauan Pustaka
H. Sistematika Pembahasan
SURAT AL FURQAN AYAT 63-77 BESERTAPENAFSIRANNYA
A. Deskripsi Surat Al Furqan Ayat 63-77
1. Karakteristik Surat Al Furqan Ayat 63-77
2. Asbabun Nuzul Ayat-ayat
B. Penafsiran Mufassirin atas Ayat 63-77
TUJUAN PENDIDIKAN DALAM SURAT AL-FURQAN AYAT 63-77
A.Membentuk pribadi yang berakhlak mulia
B. Memantapkan aspek aqidah
C. Menanamkan konsistensi dalam melaksanakan ajaran agama
D.Menumbuhkan sikap kesederhanaan dan keseimbangan
E. Mengembangkan aspek intelektualitas
F. Meningkatkan kualitas kesalehan keluarga dan masyarakat
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
6.    Melengkapi pembahasan dan uraian dengan hadis, bila dipandang perlu, sehingga pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas.
Hadits yang menguatkan Al Furqan ayat 74
ûïÏ%©!$#uršcqä9qà)tƒ$oY­/uó=yd$oYs9ô`ÏB$uZÅ_ºurør&$oYÏG»­ƒÍhèŒurno§è%&úãüôãr&$oYù=yèô_$#uršúüÉ)­FßJù=Ï9$·B$tBÎ)ÇÐÍÈ
Artinya :“Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan Kami, anugrahkanlahkepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenanghati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yangbertakwa.”
Al-Maraghi menjelaskan penafsiran ayat ini, bahwa hamba-hambaar-Rahman yang dimaksud adalah,
“Orang-orang yang memohon kepada  Allah agar melahirkan keturunan yang taat dan beribadah  kepada-Nya  semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Orang yang beriman dengan sebenar-benarnya iman, apabila melihat keluarganya sama dengannya, taat kepada Allah, maka dia akan merasa senang dan gembira, dia mengharapkan mereka dapat berguna baginya di dunia selama hidup dan matinya serta bertemu dengannya di akhirat. Mereka juga memohon kepada Allah agar Allah menjadikan mereka para imam yang diteladani dalam menegakkan panji-panji agama dengan menganugerahkan ilmu yang luas kepada mereka, dan memberi taufik kepada mereka untuk mengerjakan amal saleh.”
Dijelaskan pula Quraish Shihab bahwa ayat ini menyatakan hamba-hamba Allah tersebut adalah mereka yang juga senantiasa berkata yakni berdoa setelah berusaha dengan: wahai Tuhan kami, anugerahkan buat kami, dari pasangan-pasangan hidup kami yakni suami atau istri serta anak keturunan kami, kiranya mereka semua menjadi penyejuk-penyejuk mata kami, dan orang lain melalui budi pekerti dan karya-karya mereka yang terpuji, dan jadikanlah kami yakni yang berdoa bersama pasangan dan anak keturunannya.[14]
Dalam tafsir Munir pun, az-Zuhaily menyatakan bahwa, Mereka adalah orang berdoa sepenuh hati kepada Tuhan mereka agar diberi anugerah istri-istri sholihah dan anak-anak yang beriman, shaleh, memberikan petunjuk pada Islam dan melakukan kebaikan, menjauhkan dari keburukan, mampu menyejukkan mata mereka. Karena sesungguhnya orang mukmin jika melihat seseorang yang perbuatan mereka dilandasi taat kepada Allah maka menjadikan penyejuk mata mereka, dan merekaberdoa pula kepada-Nya agar menjadikannya pemimpin dalam kebaikan,ataupun pemimpin- pemimpin agama.[15]
Kata qurrah pada mulanya berarti dingin. Yang dimaksud disini adalah menggembirakan. Sehingga dipahami bahwa istri yang sholihah dan anak-anak yang sholih yang dimilikinya tersebut dapat memberikan kegembiraan, menyejukkan hati, sebab senantiasa dapat memberikan manfaat kepada suami, baik di dunia dan di akhirat. Yang mana dari istri-istri shalehah tersebut, maka diharapkan akan lahir anak-anak yang saleh dan shalehah pula.
Kemanfaatan tersebut bukan hanya didapat dalam kehidupan saja, namun juga akan tetap mengalir hingga dia sudah meninggal seperti diterangkan Rasulullah SAW. dalam sabdanya:[16]
Artinya :
“Apabila manusia meninggal dunia maka terputuslah segala amalnya kecuali tiga perkara yakni, ilmu yang bermanfaat, sedekah jariyah, dananak shaleh yang mendoakan kedua orang tuanya.”
Hadits ini menerangkan bahwa kemanfaatan yang didapat dari anak-anak yang saleh adalah mereka yang senantiasa berdoa untuk orangtuanya hingga kematiannya. Sehingga amal kedua orang tuanya tetapmengalir meskipun sudah meninggal.
Secara ringkasnya dalam ayat ini menerangkan hamba-hamba ar-Rahman adalah mereka yang selalu memohon atas dua perkara kepadaAllah, yakni agar Allah memberi mereka istri dan keturunan yang beribadah hanya kepada-Nya sehingga terwujud kebahagiaan di dunia dan akhirat, dan agar Allah menjadikan mereka sebagai para pemberi petunjukdan keteladanan dalam hal kebaikan (urusan-urusan agama) bagi orangorang yang mau mengikuti petunjuk. Sifat hamba Allah tersebut mengindikasikan tidak hanya terbatas pada upaya penghiasan diri sendiri. 179 HR. Muslim, Hadits nomor 1631
7.    Menyusun kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Quran terhadap masalah yang dibahas. [17]
Dari seluruh uraian pendapat para mufassir, maka dapat disimpulkan bahwa al Furqan ayat 63-77 yang menjelaskan tentang sifat-sifat Ibad ar Rahman, yaitu sebagai berikut :
a.    Tawadhu’
b.    Membalas kejelekan dengan kebaikan
c.    Senantiasa tahajud di keheningan malam
d.   Ketakutan mereka terhadap adzab Allah
e.    Tidak berlebihan dalam membelanjakan harta
f.     Tidak menyekutukan Allah
g.    Tidak membunuh
h.    Tidak berzina
i.      Tidak bersumpah palsu
j.      Tidak melakukan perbuatan yang tidak berfaedah
k.    Ketenangan dalam berkeluarga dan keturunan yang saleh
l.      Senantiasa mengharapkan taufik dari Allah
Sehingga balasan bagi hamba ar-Rahman tersebut tertuang pada ayat terakhir, yang menjelaskan bahwa perhatian yang diberikan Allahkepada hamba-hamba-Nya berupa pemberian martabat tinggi tersebut dikarenakan ibadah yang dilakukannya, bukan oleh sebab lain. Tanpa beribadah mereka tidak memiliki sedikit bobot dan tidak akan mendapat perhatian-Nya.
Pendidikan memiliki tujuan, sehingga proses yang dilakukan dapat terarah. Melalui pembahasan surat al Furqan ayat 63-77 dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan Pendidikan Islam itu mengarah pada pembentukan sifat-sifat Ibad ar Rahman. Dalam konteks ini dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan tersebut adalah sebagai berikut:
a.    Membentuk pribadi yang berakhlak mulia
b.    Memantapkan aspek aqidah
c.    Menanamkan konsistensi dalam melaksanakan syariat agama
d.   Menumbuhkan sikap kesederhanaan dan keseimbangan
e.    Mengembangkan aspek intelektualitas
f.     Meningkatkan kualitas kesalehan keluarga dan masyarakat
Metode Kedua

Kajian Tafsir Tematik: Ar-Radha'ah

Pengertian Ar-Radha’ah
Secara bahasa Ar-Radha’ah ( perbuatan penyusuan ) memiliki arti
لمص الثدي وشرب لبنه  yaitu menghisap Areola Mamma dan meminum susunya
Adapun dari segi istilah adalah perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan susu seseorang perempuan atau susu yang masuk kedalam perut dan mengesani otak seorang anak.
Secara etimologis Ar-Radha’ah adalah sebuah istilah bagi isapan susu, baik isapan susu manusia maupun susu binatang, bukan pengkhususan isapan susu oleh bayi manusia. Adapun dalam pengertian terminologis, sebagian ulama fiqh mendefiniskan Ar-Radha’ah sebagai sampainya ( masuknya ) air susu manusia ( perempuan ) kedalam perut seorang anak ( bayi ) yang belum berusia dua tahun 24 bulan.
Dasar Hukum Ar-Radha’ah
a.         Menurut Sumber Hukum Al-Qur’an
Setidak-tidaknya ada enam buah ayat dalam al-Qur’ân yang membicarakan perihal penyusuan anak (ar-radha’ah). Enam ayat ini terpisah ke dalam lima surat, dengan topik pembicaraan yang berbeda-beda. Namun, enam ayat ini mempunyai keterkaitan hukum yang saling melengkapi dalam pembentukan hukum. Selain enam ayat ini, Ar-Radha’ah juga mendapatkan perhatian dari Nabi Muhammad SAW dalam menjelaskan ayat-ayat tersebut. Baik al-Qur’ân maupun al-Hadits, kedua-duanya sangat berarti bagi kekokohan landasan hukum dan etika “menyusui”.
Al-Baqarah : 233
233. Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Secara umum, ayat ini berisi tentang empat hal: pertama, petunjuk Allah SWT kepada para ibu agar senantiasa menyusui anak-anaknya secara sempurna, yakni selama dua tahun sejak kelahiran sang anak. Kedua, kewajiban suami memberi makan dan pakaian kepada istrinya yang sedang menyusui dengan cara yang ma’ruf. Ketiga, diperbolehkannya menyapih anak (sebelum dua tahun) asalkan dengan kerelaan dan permusyawaratan suami dan istri. Keempat, adanya kebolehan menyusukan anak kepada perempuan lain (al-murdhi’ah).
QS. An-Nisa’ : 23
23. Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan2; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat ini menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak (ar-radha’ah) dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui (al-murdhi’ah) dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya (ar-radhi’).
QS. Al-Hajj : 2
2. (ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu Lihat manusia dalam Keadaan mabuk, Padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.
QS. Al-Qashas : 7
7. dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah Dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena Sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari Para rasul.
QS. Al-Qashas : 12
12. dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; Maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat Berlaku baik kepadanya?".
Tiga ayat terakhir ini menjelaskan kisah para perempuan yang menyusui anaknya dalam sejarah, terutama berkaitan dengan masa kecil Nabi Musa. Dijelaskan betapa pentingnya air susu ibu (kandung) untuk anaknya, hingga Nabi Musa kecil dicegah oleh Allah untuk menyusu kepada perempuan lain. Dan dijelaskan pula kedahsyatan goncangan hari kiamat, bahwa semua perempuan yang tengah menyusui anaknya akan lalai tatkala terjadi kegoncangan hari kiamat tersebut.
QS. At-Thalaq : 6
6. tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.

Sementara ayat ini menjelaskan dua hal penting berkaitan dengan penyusuan anak. Pertama, dalam ayat ini ditekankan adanya jaminan hak upah dari sang suami bagi sang istri muthallaqah (yang sudah ditalak) jika ia menyusukan anak-anaknya, di luar kewajiban nafkah yang memang harus diberikan selama belum habis masa ‘iddah. Kedua, adanya kebolehan dan sekaligus hak upah bagi seorang perempuan yang menyusukan anak orang lain, asalkan dimusyawarahkan secara baik dan adil.
b.        Menurut Sumber Hukum Al-Hadits (Bilangan dan Kadar Susuan yang dapat Menjadikan Mahram)

عن عائشة الله ر.ض قالت:قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: لا تحرم المصة أ المصتان
(رواه مسلم)

Dari Aisyah Mengatakan bahwa?.” Nabi SAW bersabda: “ Sekali susuan atau dua kali susuan atau sekali hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan mahram.”(Riwayat Muslim)

Dari Ummu Fadhl Mengatakan bahwa “Seorang Arab pedalaman datang kepada Nabi yang ketika itu beliau ada dirumahku, lalu orang itu berkata, “Wahai Nabi! Saya mempunyai seorang isteri, lalu saya menikah lagi. Kemudian Isteriku yang meyakini bahwa dia pernah menyusui isteriku yang muda dengan sekali atau dua kali susuan?.” Nabi SAW bersabda: “ Sekali hisapan dan Dua kali Hisapan tidaklah menjadikan mahram.”(Riwayat Muslim)

عن عائشة أنها قالت كان فيما أنزل من القرآن عشر رضعات معلومات يحرمن ثم نسخن بخمس معلومات فتوفي رسول الله صلى الله عليه و سلم وهن فيما يقرأ من القرآن (رواه مسلم)

Aisyah RA berkata, semua susuan yang menyebabkan kemuhriman adalah sepuluh kali susuan seperti yang tersebut di sebagian ayat Al Qur’an . kemudian dinasakh menjadi lima susuan oleh ayat Al Qur’an. Setelah itu Rasulullah wafat dan ayat-ayat Al Qur’an tetap dibaca seperti itu.” (Riwayat Muslim)
                
Dari Ibnu Mas’ud R.A, dia berkata: Tida penyusuan yang dapat mengharamkan kecuali penyusuan yang menguatkan tulang dan menumbuhkan daging. (Riwayat Abu Dawud)

Dari Ummu Salamah R.A, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak haram sesusuan kecuali masuk pada usus, dan anak belum disapih. (Riwayat Tirmidzi. Di sahihkannya bersama Hakim)

Dari Ziyad Assahmi, dia berkata: Rasulullah SAW melarang meminta kepada perempuan yang bodoh untuk menyusui. ( Riwayat Abu Dawud. Hadits ini Mursal karena Ziyad bukan Sahabat)

Dari beberapa hadis diatas ada beberapa hal yang dapat kita garis bawahi, antara lain adalah:
a)         Bahwa sekali atau dua kali hisapan atau susuan tidaklah mengakibatkan terjadinya mahram.
b)        Kedua yang mengakibatkan Mahram adalah tiga kali hisapan atau susuan. ini berdasarkan hadis yang disampaikan Ummu Fadhl, dan pendapat ini adalah dari Abu Tsaur, Ibnu Munzir, dan Daud serta Ahmad dalam suatu riwayat lain.
c)         Bahwa yang dapat mengakibatkan Mahram adalah lima kali Susuan keatas, karena itu merupakan batas rasa lapar bagi bayi. ini yang dikemukakan beberapa Ulama dikalangan Sahabat seperti, Ibnu Mas’ud, Ibnu Zubair, Atha’, dan Thawus, serta ulama Mazhab Yaittu Asy-Syafi’I, dan Ahmad. ini berdasarkan apa yang disampaikan oleh Aisyah.
d)        Dan Bahwa penyusuan yang mengharamkan juga harus masuk ke usus dan dapat menguatkan tulang.
e)         Anak tidak boleh disusukan pada perempuan yang kurang cerdas.
c.         Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasanya terdapat unsur-unsur dan batasan-batasan untuk bisa dikatakan Ar-Radha’ah, yaitu :
a)    Adanya air susu manusia (perempuan);
b)        Air susu itu masuk kedalam perut seorang bayi;
c)         Bayi tersebut belum berusia dua tahun.
Sedangkan untuk kadar susuan yang dapat menjadikan mahram terdapat dua pendapat, yaitu :
a)        Hanafi dan Maliki berpendapat : Jika dilihat dari tafsir QS. An-Nisa’ : 23, dapat dikatakan bahwa penyusuan tidak ada batasan yang tegas, karena menurut mereka yang penting adalah air susu yang diisap itu sampai ke perut anak, sehingga memberikan energi dalam pertumbuhan anak.
b)        Syafi’i dan Hambali berpendapat : Jika ditinjau dari hadist riwayat dari Aisyah binti Abu Bakar, bahwasanya kadar susuan yang bisa mengharamkan nikah adalah tidak kurang dari sekali atau dua kali hisapan atau susuan.
Bagi para ibu apabila sang ibu tidak memungkinkan untuk menyusui anaknya, maka hendaklah disusukan anaknya kepada perempuan lain yang jelas idetitasnya dan baik ahklaknya, dan jika ingin disusukan anaknya hendaklah diadakan perjanjian sebelumnya, agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan[18]

PENUTUP
Secara singkat Tafsir Tematik atau tafsir maudhu`i dapat diformulasikan sebagai suatu Tafsir yang berusaha mencari jawaban-jawaban Alquran tetang suatu masalah dengan jalan menghimpunkan ayat-ayat yang berkaitan dengannya, serta menganalisa melalui ilmu-ilmu bantu yang relevan dengan masalah-masalah yang dibahas, sehingga dapat melahirkan konsep-konsep yang utuh dari Alquran tetang berbagai masalah. Metode yang relative baru dan dianggap aktual dalam penafsiran Alquran berangkat dari suatu kesatuan yang logis dan saling berkaitan antara satu sama lainnya. Jadi tidak ada satupun kontradiksi ayat-ayat Alquran, hal ini semakin jelas sebagaimana yang ditegaskan pula didalam Alquran itu sendiri. Asumsi dasar ini berkaitan dengan prinsip yang amat masyhur dikalangan mufassir yaitu Alquranيفسر بعضه بعضا  yaitu bahwa sebagian ayat Alqura diTafsirkan dengan ayat yang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi, Abdul Hayy, 2002, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, (penerjemah) Rosihon Anwar, Metode Tafsir Maudhu’I, Bandung: Pustaka Setia.
Alfatih Suryadilaga, dkk., Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2005.
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, tt: Tafakur, t.t.
David S. Powers, “The Exegetical Genre nâsikh al-Qur`ân wa mansûkhuhu,” dalam Andrew Rippin, Approach to the History of the Interpretation of the Qur’an (Oxford: Clarendon Press, 1988
Khaeruman, Badri, 2004, Sejarah Perkembangan Tafsir al-Qur'an, Bandung: CV Pustaka Setia
M. Quraish Shihab, 1999, Membumikan al-Quran, cet. Ke xix , Bandung: Mizan,
Metode Tafsir Mawdhu‘iy: Suatu Pengantar, terj. Oleh Suryan A. Jamrah.Jakarta: Rajawali Pers, 1996.
Munawir, Ahmad Warson, 2002, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progresif.
Rohimin, 2007, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Shihab, M. Quraish, dkk, 2001, Sejarah dan ‘Ulumu al-Qur'an, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Shihab, M.Quraish. 1994. Membumikan Al Qur`an : Fungsi dan Peran Wahyu dalam Masyarakat, Bandung,
Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al Wadi’i, as-Shahih al-Musnad min Asbab an Nuzul, Cet II. terj. Agung Wahyu LC, (Meccah, 1994)
Usman, 2009, Ilmu tafsir, Yogyakarta: Teras.c


[1]Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progresif, Surabaya, 2002, hlm. 1565
[2]Usman, Ilmu tafsir, Teras, Yogyakarta, 2009, h. 311
[3]Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007, hlm, 75
[4]Abd al-Hayy al-Farmawiy. Metode Tafsir Maudhu’i, h. 36-37.
[5]Ibid., h. 45-46
[6]M. Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, h. 48
[7]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (t.tp.: Tafakur, t.t.), h. 116
[8]Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur'an,……. hlm. 165-169
[9]M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Hlm 17
[10]Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al Wadi’i, as-Shahih al-Musnad min Asbab anNuzul, Cet II. terj. Agung Wahyu LC, (Meccah, 1994), hlm. 294-295
[11]QS. Al An`aam/6 : 151
[12]QS. An Nisa`/4: 93
[13]Syaikh al-Muhaddits Muqbil bin Hadi al-Wadi`i, op.cit., hlm. 297-298
[14]M.QuraishShihab, Membumikan Al Qur`an : Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Masyarakat, Bandung: Mizan. 1994.hal,544-545
[15]Az Zuhailiy, Wahbah. 1991. Tafsir Al Munir, fi Al Aqidah wa Al Syariah wa al
Manhaj Jilid X. Dimasyq: Dar Al Fikr178 hal, 123
[16]HR. Muslim, Hadits nomor 1631
[17]Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (t.tp.: Tafakur, t.t.), h. 116

2 komentar: